Memutus Rantai ”Coronasomnia”
Indikasi gangguan tidur umumnya bergejala menetap minimal dua pekan. Meski berhasil tidur, badan terasa lelah dan tak segar saat bangun. Ini biasanya berkelindan dengan gangguan kecemasan dan depresi. Perlu cari solusi.
Pandemi Covid-19 memorak-porandakan rutinitas harian. Perubahan drastis ritme kehidupan memicu lonjakan kasus gangguan tidur, terutama insomnia. Saking banyaknya pengidap insomnia selama pandemi di seluruh dunia ini, para ahli menjulukinya sebagai ”coronasomnia” atau ”Covid-somnia”.
Lampu kamar sudah dalam posisi mati. Ruangan gelap. Hanya ada suara desir penyejuk ruangan. Wangi lavender dari bejana elektronik aromaterapi menguar. Namun, Wishnu Prabowo (35) tak kunjung terlelap meski sudah merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Matanya tidak juga mau terpejam.
Jauh sebelum pandemi, Wishnu bukan orang yang sulit tidur. Ia memiliki jadwal tidur rutin. ”Jam 10 atau jam 11 malam udah bisa tidur. Jam 6 pagi atau sebelumnya juga selalu udah bangun karena setelah itu, kan, harus siap-siap untuk kerja. Tapi masuk masa pandemi ini, tiba-tiba kacau semua,” ujar Wishnu, Kamis (8/4/2021).
Wishnu tak seorang diri. Pasien yang mengeluhkan insomnia akibat tekanan hidup selama pandemi banyak dijumpai dokter ahli tidur di Klinik Gangguan Tidur dan Mendengkur RS Mitra Keluarga Kemayoran, Jakarta, Andreas Prasadja. Sebelum pandemi, perbandingan pasien insomnia dan henti napas relatif sama. Namun, selama pandemi, pasien insomnia melonjak hingga 70 persen.
BBC pada 25 Januari 2021 melaporkan sebuah studi yang dilakukan Universitas Southampton pada Agustus 2020 yang menunjukkan bahwa jumlah orang yang mengalami insomnia di Inggris meningkat. Sebelumnya satu dari enam orang mengalami insomnia, menjadi satu dari empat orang. Di China, tingkat insomnia naik dari 14,6 persen jadi 20 persen selama puncak karantina wilayah. Kata ’insomnia’ juga lebih banyak dicari di Google pada 2020 dibanding sebelumnya.
Bagi Wishnu, rutinitasnya masih sempat terjaga di awal pandemi. Namun, beberapa bulan kemudian, ketika mulai terbiasa bekerja dari rumah dan beban pekerjaan sedikit demi sedikit berkurang karena bidang yang digelutinya sangat terdampak oleh pandemi, agenda harian Wishnu yang selama ini menggeluti bidang event organizer pun berantakan.
Bulan puasa tahun lalu merupakan titik awal perubahan. Jika biasanya ia tidur lalu bangun untuk ikut sahur bersama keluarga, kali ini ia justru sulit tidur hingga sahur. ”Setelah sahur pun tidak langsung bisa tidur. Waktu itu, pukul 06.00 baru bisa tidur. Tapi enggak lama terus bangun lagi dan enggak bisa tidur lagi. Terus begitu,” ungkap ayah satu anak ini.
Pikiran liar
Ia pun menghabiskan waktunya dengan menonton film sambil berharap tertidur. Namun, yang terjadi, ia justru melahap berbagai film dan berepisode film. Sesekali ia juga bermain gim untuk mencoba membuang pikiran yang tak menyenangkan. Wishnu sempat merasa putus asa karena tiba-tiba sekitar dua hari sama sekali tidak tidur.
”Kepikiran anak juga. Kepikiran istri juga punya faktor komorbid. Terus pekerjaan kepikiran juga ini enggak ada event, aku mesti gimana. Semua numpuk jadi satu. Itu berulang-ulang kalau udah rebahan niatnya mau merem, malah muncul pikirannya dan liar ke mana-mana,” tuturnya.
Ia menyangka hal ini akan bisa segera tuntas dalam beberapa hari. Namun, ternyata gangguan tidur itu terus menetap hingga saat ini. Banyak hal dilakukannya dari olahraga berat, tidak lagi mengonsumsi kopi di atas pukul 18.00, tidak makan berat jika di atas pukul 19.00, hingga istrinya memberikan aromaterapi lavender yang dikatakan mampu membantu kesulitan tidur. ”Berhasil sehari dua hari saja. Besoknya balik lagi enggak bisa tidur,” katanya.
Coronasomnia juga sempat menghinggapi pengajar yoga anak berkebutuhan khusus, Uci Duck Himura (39). Pada awal masa pandemi, insomnia yang dulu pernah dideritanya kembali kambuh. Selama sepuluh hari, ia kesulitan tidur nyenyak. ”Nggak bisa tidur. Tidur cuma dua jam, beli smart watch yang bisa ngitung deep sleep. Pernah cuma 15 menit deep sleep,” tambahnya.
Salah satu pemicu insomnia yang dialami adalah situasi di lingkungan rumah yang tiba-tiba sepi di awal pandemi. ”Biasanya ramai di depan rumah. Ini lebih sepi dari libur Idul Fitri. Saya malah jadi lebih alert. Nggak bisa tidur, melek melulu. Sekarang, tidur sudah lebih enak, bangunnya lebih segar,” ujar Uci, yang segera berusaha menghilangkan gangguan insomnia itu dengan yoga yang telah ditekuninya sejak 2013.
Gangguan insomnia yang masih terus dialami di masa pandemi turut dirasakan penyanyi juga pegiat seni rupa kontemporer, Monica Hapsari (37). ”Di masa pandemi ini gangguan insomnia masih saya rasakan. Hari ini saya baru bisa mulai tertidur setelah subuh, dan biasanya nanti terus berubah,” ujar Monica, Kamis (8/4/2021) sore di Jakarta.
Monica sangat mewaspadai Covid 19. Mungkin saja itu menambah beban insomnianya. Akan tetapi, ia merasakan gangguan tidur akibat otak yang sulit dijinakkan itu sejak 2011. Ia bercerita, otaknya tidak bisa berhenti memikirkan segala sesuatu. Seketika, misalnya, ia memikirkan tentang piramida di Mesir. Otaknya mengajak berpikir tentang apa saja yang ada di dalam piramida itu.
Bantuan ahli
Ketika menghadapi insomnia pertama kali, Monica datang ke psikolog dan psikiater. Obat penenang didapatnya, tetapi sejak dua tahun terakhir Monica merasa lebih nyaman dan berhenti meminum obat penenang.
Berbeda dengan Monica, penulis buku yang berdomisili di Bandung, Jawa Barat, Zaky Yamani (42), masih harus mengandalkan konsumsi tiga jenis obat dari psikiater yang membantunya bisa tidur sejak empat tahun terakhir.
Gangguan tidur yang diderita Zaky tergolong berat karena merupakan gejala dari gangguan kejiwaan, yaitu depresi, paranoid, dan post traumatic stress disorder. Awalnya, Zaky sama sekali tidak bisa tidur selama dua hari lalu berlanjut menjadi satu pekan. Meskipun sempat pulih dari gangguan tidur, insomnia itu datang lagi dan makin lama makin parah.
Karena pikiran tidak bisa beristirahat, emosinya menjadi tak stabil, sangat sensitif, dan mudah marah. ”Puncaknya pada 2016. saya hampir dua bulan tidak tidur. Itu mulai merusak banyak hal di diri saya secara fisik hingga sosial. Rasanya capek banget. Lalu saya menjalani pengobatan. Karena pakai obat, kalau malam cepat tidurnya,” kata Zaky, yang menjadikan kegiatan menulis sebagai pelepas stres.
Saat ini, Zaky berusaha terus menjaga kualitas tidurnya dengan tidak bekerja hingga larut malam. ”Dengan penyakit kayak gini jadi harus mengevaluasi diri. Kalau emosi tidak stabil menarik diri dulu. Ini karena apa? Mungkin kimiawi otak saya sedang nggak seimbang. Saya selalu menasihatkan teman yang masih on kalau malam. Malam itu tidur. Jangan terlalu mengikuti semangat, secara fisik lama-lama akan terganggu,” tambahnya.
Di masa pandemi, menurut Andreas, kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan tidur justru cenderung meningkat. Pasien tak lagi datang setelah gangguan tidurnya sangat berat. Banyak pasien baru dengan keluhan insmonia tahap awal sehingga belum ”kecanduan obat”.
Andreas menyebut hampir 70 persen orang mengaku pernah mengalami gangguan tidur. Jika tidak ditangani dengan baik, gangguan tidur bisa mempengaruhi kesehatan fisik, seperti gangguan metabolisme, jantung, dan pembuluh darah. ”Bukan hanya menjaga makan dan olahraga. Kesehatan tidur juga menentukan kualitas kehidupan,” ujar Andreas.
Selain gangguan kesehatan fisik, insomnia juga bakal memengaruhi produktivitas kerja hingga keselamatan seseorang seperti ketika sedang berkendara. ”Bekerja banyak menggunakan otak. Kemampuan mental atau performa otak kita dibangun saat tidur dan lebih spesifik lagi saat tidur lelap. Tidur itu justru langkah cerdas meningkatkan produktivitas, bukan kemalasan,” tambahnya.
Kepala Divisi Geriatri Departemen Psikiatri Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (RSCM-FKUI) Martina Wiwie S Nasrun menyampaikan, seseorang perlu mengetahui lebih mendalam sebelum menyimpulkan mengenai insomnia.
”Kadang orang itu tidak bisa tidur sehari dua hari langsung bilangnya insomnia. Ada juga karena tidak tidur sesuai waktu yang diinginkan, misalnya anjuran WHO 6-8 jam, lalu tidak mencapai itu, dia bilang insomnia. Padahal, itu berbeda, itu adalah fear of not having enough sleep bukan pure insomnia,” kata Martina.
Jika memang terindikasi gangguan tidur, umumnya gejala menetap minimal dua minggu hingga seterusnya. Apabila berhasil tidur, badan saat bangun tetap terasa lelah dan tidak segar. Ini biasanya berkelindan dengan gangguan kecemasan dan depresi. Hal ini harus diputus rantainya karena seperti lingkaran setan.
Ketika gangguan cemas mulai muncul dan terus berkembang, gangguan tidur ini akan mengikuti. Kurang tidur membuat kecemasan makin bertambah. Karena itu, rantai ini pun perlu diputus dengan memperbaiki kualitas tidur.