Catatan di Atas Tubuh
Tato adalah tafsir bahwa manusia menggunakan tubuh sebagai ”proyek” untuk mengejar jalan atau gaya hidup tertentu. Proyek ini terkait erat dengan identitas untuk memuat narasi masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Tubuh telah lama menjadi bagian dari ekspresi diri. Salah satu manifestasinya, yang sejatinya purba tetapi bertransformasi menjadi modern, adalah rajah tubuh alias tato. Tato menandai hal-hal yang telah dilalui sang pemilik sepanjang perjalanan hidupnya. Di dalamnya ada cerita tentang keberanian, gugatan, pencerahan, atau sekadar kesukaan.
Muhamad Rizky (31) membagikan foto tato yang dibuatnya tahun 2020 lalu, terpatri di sisi kiri badannya. Bentuknya tengkorak berselubung kerudung hitam, memakai topi tinggi. Dari matanya menguar asap merah. Tangannya memegang topeng berparuh burung. ”Ini plague doctor, untuk mengenang pandemi. Semacam suvenir dari situasi sekarang. Buatku Covid-19 ini nyata, aku lihat dari yang dialami saudara, teman. Tato ini jadi pengingat,” tutur Rizky, Kamis (25/3/2021).
Plague doctor adalah tenaga medis yang menangani pasien saat terjadi pagebluk. Sosoknya terkenal sejak merebak wabah Black Death yang melanda Paris sekitar abad ke-17. Mereka dikenal berkat kostum jubah hitam dengan masker serupa paruh burung. Paruh itu diisi aroma wangi yang kuat untuk mengusir bau busuk dari korban wabah.
Tato bertema pandemi seperti milik Rizky rupanya banyak dibuat orang sebagai catatan atas krisis yang melanda umat manusia saat ini. Laporan Wall Street Journal (20/5/2020) menyebutkan, tato menjadi sarana mengenang pandemi. Seniman tato di sejumlah negara menerima pesanan pembuatan tato bertema pandemi, seperti molekul virus korona, plague doctor, masker, pembersih tangan, perawat, hingga gulungan tisu toilet.
Rizky sebenarnya takut jarum. Semasa imunisasi di sekolah, dia selalu kabur. Tato layaknya uji keberanian bagi dirinya. Sejak ditato pertama kali tahun 2013, kini tersisa punggungnya saja yang masih kosong. ”Aku suka tato karena gambarnya. Memang ada yang suka nyinyir, komentar miring. Tapi, aku buktikan saja, walaupun badan tatoan, aku bisa kerja dengan benar. Bisa beli mobil pakai usaha sendiri, tunai pula,” tutur pemain kibor ini.
Para peneliti tato mengemukakan, sering kali tato bukan semata hiasan tanpa tujuan, melainkan pernyataan diri sebagai individu yang unik dan berbeda dari orang lain. Mulai dari sarana mengenang sesuatu, menghadapi masa krisis atau traumatis, hingga catatan peristiwa yang dialami seseorang.
Catatan peristiwa hidup semacam itu diungkapkan musisi Melanie Subono melalui torehan rajah pada tubuhnya. ”Kalau orang zaman dulu mencatat apa-apa dengan prasasti atau kalau orang punya diary, gue mencatat kejadian penting itu dengan tato. Enggak bisa bilang mana yang favorit karena masing-masing melambangkan kejadian di hidup gue,” ujarnya.
Pertama kali Melanie ditato saat kuliah berupa gambar kupu-kupu karena dia kagum dengan metamorfosis hewan itu dari jelek, semakin jelek, lalu menjadi cantik. Dia punya tato garuda di punggung yang dibuat saat menjadi field commander untuk tim nasional marching Indonesia yang berlaga di kompetisi internasional. Tim itu memenangi beberapa medali.
”Di situ kebanggaan gue sama Indonesia berkali-kali lipat. Nah, kita tahu bulu garuda itu 17-8-45. Aku bikin jumlahnya benar 17 dan 8, tapi yang 45 aku enggak tepat. Sebab, menurut gue, kita belum benar-benar merdeka,” papar Melanie.
Bagi dia, tato itu pembuktian diri yang jauh lebih keras. Tato sekaligus berfungsi sebagai rem dan pengingat bagi dirinya. ”Pembuktian diri gue jadi dobel dibandingkan orang yang enggak punya tato dan citranya dianggap lebih baik. Tapi, gue baik-baik saja. Banyak orang enggak paham apa tato gue, tapi gue bikin tato bukan buat orang paham. Gue punya tato ayat Alkitab, ada deklarasi hak asasi wanita pertama di dunia, lambang suku, burung garuda, hewan-hewan yang gue sayangi seperti gajah, tapak anjing dan kucing, penyu,” imbuhnya.
Narasi waktu
Sosiolog Anthony Giddens (1991) menyebutkan, di era modern, manusia menggunakan tubuh sebagai ”proyek” untuk mengejar jalan atau gaya hidup tertentu. Proyek tubuh (body project) ini terkait erat dengan identitas yang dikonstruksi dengan beragam cara untuk memuat narasi masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Salah satu manifestasi proyek tubuh ini, menurut Medhy Aginta Hidayat dalam bukunya Tubuh Bertato: Budaya Populer dan Identitas Anak Muda (2020), adalah tato. Tradisi tato merupakan bukti nyata dipergunakannya tubuh sebagai media mengekspresikan diri.
Medhy mengutip Anne Nicholas, peneliti sejarah tato, yang menyebutkan tato ditengarai telah ada sejak era Mesir Kuno atau tahun 2000 sebelum Masehi. Diperkirakan berasal dari bahasa Tahiti, tatau, artinya ’penanda tubuh’, tato ditemukan pada banyak suku sebagai tanda tertentu.
Di Indonesia, tradisi tato lekat pada suku Mentawai, Dayak, Papua, Sumba, dan Belu. Di Mentawai, tato atau titi menjadi bagian dari ritual adat untuk memberikan doa demi keselamatan, sebagai penanda wilayah (Bebetei Uma, Bambang Rudito, 2013), juga sebagai pakaian abadi yang dikenakan sampai mati. Bagi suku Dayak Kayaan, tato jadi identitas sosial, simbol kebanggaan, simbol kecantikan, dan cahaya penunjuk jalan saat mati kelak.
Di era modern, tulis Medhy, tato mengalami pergeseran makna. Pada masa Orde Baru, tato berkonotasi dengan kriminalitas saat banyak terjadi penembakan misterius atas orang-orang yang dianggap penjahat (1983-1984). Tato menemukan pemaknaan baru di era 1990-an dengan maraknya budaya Barat yang masuk melalui musik, film, novel, dan mode. Tato seakan kehilangan daya ”magis” sebagai bagian ritual untuk kalangan tertentu, menjadi aksesori tubuh yang bisa dikenakan siapa saja.
Seperti dilansir BBC, sebuah lembaga riset yang berbasis di Berlin, Jerman, mengadakan jajak pendapat terkait tato terhadap 9.000 orang di 18 negara tahun 2018. Mereka menemukan bahwa 46 persen responden di AS punya tato. Angka lebih tinggi terdapat di Italia (47 persen) dan Swedia (48 persen).
Banyak figur publik menorehkan rajah di atas tubuhnya: pesepak bola David Beckham, penyanyi Justin Bieber, hingga Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau.
Sakit tapi berkesan
Sosok Rahung Nasution (46), pembuat film dokumenter, pengelana, dan pegiat kuliner ini, merajah wajah dan kepalanya. Menurut dia, tato di kepala itu paling sakit rasanya, tetapi paling berkesan. ”Saya pernah ditato di Australia pada 2006. Selepas SMA, saya ke Adelaide, ingin ditato wajah Soekarno,” ujar Rahung, yang kini bermukim di Gippsland, Australia.
Penato tak memiliki gambar wajah Soekarno. Rahung mengalihkan ke pilihan acak dan jatuh pada bentuk ikan piranha. Gambar tato awal itu sekarang tertutup motif baru khas masyarakat tradisi di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Adapun bagi penyanyi Cabrini Asteriska Widiantini, tato punya makna perjalanan, keinginan, kesenangan, bagaimana melihat dan memaknai dunia, serta apa yang memotivasi dirinya. Ichyl, sapaan akrabnya, mulai ditato pada 2010 di pergelangan kaki kiri, sekadar sebagai hiasan. Setelah perjalanan spiritual ke Nepal pada 2013 dan 2014, dia membuat tato simbol notasi nada di dada kanan dan kalimat mantra di lengan kiri. ”Notasi itu menggambarkan diriku sebagai musisi. Mantranya dalam bahasa Sanskerta, artinya ’Semoga semua makhluk berbahagia’. Aku dapat kalimat itu saat belajar kelas mantra di Nepal. Isinya bagus dan menusuk hatiku. Ini yang ingin aku wujudkan untuk dunia,” ungkapnya.
Baru-baru ini, Ichyl membuat serangkaian tato berbentuk simbol-simbol, seperti unalome, air dan eter, throat chakra, burung, mata, dan bintang. Semua itu merepresentasikan identitas dirinya sebagai penyanyi, pribadi yang bebas, dan seorang yang ingin mengeksplorasi dunia untuk mencapai pencerahan. ”Aku menyayangi tubuhku sehingga tak ingin merusak atau mengotorinya dengan menempatkan tato banyak-banyak tanpa perhitungan,” ujar Ichyl.
Guru Besar Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta M Dwi Marianto mengatakan, tato kerap mengandung teka-teki dan pertanyaan. Sebagai penanda identitas, ada yang ingin ditunjukkan kepada orang lain lewat tato. Tato juga menunjukkan kuasa seseorang atas tubuhnya.
”Pada masa tertentu untuk suatu kepercayaan tradisi, tato ditujukan sebagai simbol kedewasaan atau keberanian. Sekarang sudah berubah. Tato menjadi bagian dari gaya hidup untuk menunjukkan kita adalah apa yang ditonton,” kata Dwi Marianto.
Pascareformasi 1998, Dwi meriset tato populer yang mulai tumbuh dan marak di kalangan seniman setelah Orde Baru tumbang, terutama seniman di kelompok Taring Padi. Hasil riset dituangkan dalam buku Tato.
”Waktu itu saya bertanya apa enaknya ditato. Ada yang menjawab, nikmatnya seperti merokok. Artinya, tato itu adiktif,” ujar pak dosen yang kemudian menato lengan kirinya. Ia pun mengamini rasa sakit ketika jarum pengantar pigmen permanen itu menusuk lapisan bawah kulitnya, tapi mengundang rasa ingin lagi dan lagi.
Barangkali juga karena sepanjang hidupnya, catatan peristiwa yang ingin diabadikan seseorang tak hanya satu. Selama tubuh masih bisa mencatat, torehan rajah bakal terus menghiasinya.