Seniman Tato, Tarian Jemari di Kanvas Hidup
Menato sama halnya dengan melukis. Bedanya, kanvasnya hidup. Lukisan berdimensi datar, sementara tubuh manusia multidimensi. Lebih sulit, tetapi lebih menantang. Begitu kata penato.
Tubuh, bagi para seniman tato, serupa kanvas. Di sana tertuang kreasi, ekspresi, sekaligus apresiasi atas keunikan dan keindahan seni rajah tubuh. Tak sekadar profesi, ada esensi dalam sebentuk tato yang mendorong mereka untuk terus menggerakkan jemari, mengukir cerita dan makna di atas kulit.
Baru pada pertengahan Maret 2021 ini, Aman Durga Sipatiti bisa membuka kembali studio tato miliknya di Berlin, Jerman, setelah penutupan wilayah total untuk kedua kalinya akibat pandemi Covid-19. Sebagai seniman tato tradisional Indonesia, kliennya banyak datang dari luar kota atau luar negeri. Pandemi membuat orang masih segan bepergian.
”Dibandingkan dengan tattoo artist lain, tentu pendapatanku lebih sedikit karena klienku sangat spesifik. Aku cuma fokus di bidangku, tato tradisional dari Indonesia,” ujar Durga, Senin (29/3/2021), saat dihubungi via surat elektronik dan aplikasi percakapan.
Durga menuturkan, sekitar tahun 2006-2007, belum ada seniman tato Indonesia yang total fokus di tato tradisional atau tribal, atau di kalangan peneliti tato dunia dikenal dengan traditional revival. Lantaran hobi traveling dan gemar motif ornamen sejak muda, dia pun tertarik pada tato Mentawai dan Dayak, salah satu yang tertua di dunia.
Latar belakang studi desain dan seni rupa mendukung ketertarikannya itu. Dia pun menjelajahi Mentawai dan Kalimantan, menemui suku-suku asli di pedalaman, dan belajar langsung dari mereka. ”Perjalanannya enggak gampang. Namun, sebenarnya siapa pun bisa belajar tato Mentawai dan Dayak. Orangtuaku Jawa, aku lahir dan besar di Jakarta. Yang menentukan adalah kemauan, juga kemampuan,” ungkapnya.
Yang terpenting, apakah masyarakat adat bisa menerima kita sebagai penato dan apakah kita mau menyerahkan kulit tubuh untuk ditato dengan motif-motif tradisional suku mereka mengikuti pakem atau ciri khas seperti kakek nenek moyang mereka.
Ada beragam simbol, motif, desain, penempatan di bagian tubuh, pengukuran, formula, hingga filosofi dan makna dari tato tradisional itu. Semua simbol, pola gambar, dan ornamen dekoratif yang digoreskan di kulit pada tato Mentawai dan Dayak menyimbolkan elemen-elemen alam, hutan rimba, binatang, kehidupan keseharian, serta alat dan perlengkapan sehari-hari. Tato bisa berfungsi sebagai kamuflase ketika mereka di hutan, menyatu dengan alam.
”Tato mereka memberikan kekuatan, proteksi diri terhadap energi negatif dari luar dan perlindungan keselamatan, jauh dari roh-roh jahat. Tato sebagai identitas bagi orang Mentawai dan Dayak yang terus dicoba dilengkapi di tubuh agar kelak mereka bisa dikenali roh-roh leluhur di alam setelah mati dan berkumpul kembali,” papar Durga.
Tidak terungkap
Sayangnya, banyak motif itu tidak terungkap karena dulu tidak terdokumentasikan sebelum punah oleh zaman, peradaban, kolonialisasi, penyebaran agama baru, dan tersingkir oleh sistem yang diciptakan para penguasa yang berbeda-beda sejak dulu sampai sekarang.
Dari situlah, Durga menginisasi proyek Mentawai Tattoo Revival. ”Intinya tugasku untuk mengompori generasi muda, Mentawai khususnya, agar mau menggeluti tato tradisional mereka. Aku ke Pulau Siberut, membuat titi (tato dalam bahasa Mentawai) untuk orang-orang tua, yaitu sikerei (dukun) dan istrinya. Itu untuk menstimulasi ketertarikan generasi muda,” katanya.
Media asli tato adalah kulit manusia. Apabila motif-motif tua, tradisional, atau asli itu tidak diaplikasikan ke kulit manusia, akhirnya publik hanya bisa melihat dari foto, video, film, internet, buku, atau koleksi museum. Bukan tato namanya jika hanya ada di secarik kertas atau selembar foto.
Salah satu esensi tato, lanjut Durga, adalah pengorbanan. Melalui proses sakit untuk menjadi indah, untuk merasa diri lengkap. Apalah artinya tato jika tidak ada proses itu yang dirasakan di kulit manusia?
Tato yang bentuk ataupun maknanya multidimensi itu jugalah yang mendorong Nadya Natassya untuk menggeluti profesi seniman tato. Ada unsur seni yang ekspresif dan apresiatif di dalamnya yang dengan tegas mendefinisikan seorang sebagai seniman tato, bukan sekadar ”tukang” tato.
Nadya, pemilik Sidespace Tattoo Parlour di Cilandak, Jakarta Selatan, mulai terjun di dunia tato sekitar tahun 2006-2007. Ketika itu, jangankan perempuan, pria seniman tato pun masih bisa dihitung dengan jari. Bisa dibilang Nadya adalah salah satu pionir perempuan seniman tato di Indonesia.
Diawali dengan membuat tato pertama ketika kuliah pada 2005 setelah mengantongi izin orangtua, dia melihat seniman yang menatonya, lalu berpikir: seru, nih. Terlebih latar belakang Nadya adalah desainer grafis dan akrab dengan dunia seni lukis.
”Akhirnya, aku belajar ke seniman tato setahun. Iseng saja awalnya karena aku masih kerja desainer produk di perusahaan retail. Pulang kantor, menato. Itu capek banget. Akhirnya aku pilih salah satu, berhenti kerja, fokus di sini,” tutur Nadya, yang mendirikan Sidespace pada 2018.
Ada unsur seni yang ekspresif dan apresiatif di dalamnya yang dengan tegas mendefinisikan seorang sebagai seniman tato, bukan sekadar ’tukang’ tato.
Bagi Nadya, menato sama halnya dengan melukis. Bedanya, kanvasnya hidup. ”Lukisan itu dimensinya flat, sementara tubuh manusia multidimensi. Strukturnya berbeda, tipe kulitnya berbeda. Lebih sulit, tetapi lebih menantang,” imbuhnya.
Dari segi estetik, aliran gambar, penempatan juga harus diperhitungkan, terlebih tato besar, seperti di seluruh lengan atau kaki. Dilihat dari depan, samping, hingga belakang alirannya harus seimbang dan menyatu.
Tipe kulit juga mengharuskan Nadya berpikir cepat untuk menggunakan jarum dan tinta yang sesuai, terutama untuk tato berwarna. Kulit yang lembab lebih mudah ditato dibandingkan dengan kulit kering.
Vibran
Dia menjajal segala gaya tato, lalu lama-lama menemukan gaya sendiri. Sebagai desainer grafis, Nadya memadukan gambar tato dengan gaya desain grafis dan ilustrasi. Dia dikenal memakai palet warna yang khas, yakni merah, hitam, dan biru. Paduan gambar dan warna itu menghasilkan tato yang vibran di atas kulit.
Berkat ketekunan dan kreativitasnya, jadwal Nadya kini sudah penuh sampai enam bulan ke depan. Sebelum berhenti kerja, antrean malah bisa sampai setahun.
Menato sama halnya dengan melukis. Bedanya, kanvasnya hidup. Lukisan itu dimensinya flat, sementara tubuh manusia multidimensi. Strukturnya berbeda, tipe kulitnya berbeda. Lebih sulit, tetapi lebih menantang,
Adapun bagi Ferdy Ansjah (41), menato membuat dia bertemu banyak orang berikut perilaku mereka yang turut memperkaya pengalaman hidupnya. Dari menato pula dia belajar tentang apresiasi, terhadap diri, waktu, orang lain, juga seni tato itu sendiri. Tak sedikit orang yang meremahkan dan menganggap seniman tato sebagai tukang tato belaka.
Rabu (24/3) sore itu, dia baru saja menyelesaikan tato seorang klien setia di studio tato miliknya, Lawless Tattoo, di Kemang, Jakarta Selatan. Sempat tutup sepekan saat awal pandemi, studio tato itu justru semakin ramai.
”Waktu awal pembatasan sosial itu sempat drop sebentar, setelah itu malah ramai. Tahun lalu lebih ramai dibandingkan tahun ini. Sehari aku bisa menato tujuh orang setiap hari, kecuali Senin. Tahun ini paling 3-4 orang. Tatonya juga makin gede. Mungkin pada stress semua, terus minta ditato,” tutur Ferdy terbahak.
Ferdy mengenal tato dari teman-teman sepermainan. Dia bahkan mendapatkan tato pertamanya tahun 1992 saat masih SMP. Lantaran ditantang teman, dia pun memberanikan diri ditato. ”Bingung mau gambar apa. Karena saya suka madu, jadi gambar tawon dibungkus madu itulah yang digambar,” kata Ferdy, menunjukkan tato tawon di dekat ibu jari kanannya.
Awalnya, Ferdy membuka studio tindik tahun 1999. Lalu pada 2003 dia mulai belajar menato dengan melihat temannya menato. Dari belajar menggambar motifnya, lalu mencoba menato teman-temannya. Dia pun memantapkan diri terjun di dunia seni rajah tubuh. Ferdy menyukai gaya oriental Jepang dengan motif yang solid, seperti ombak, lotus, ikan koi, dan burung phoenix.
”Menato memang harus lebih sabar dibandingkan melukis. Biasanya tato harus kelar saat itu juga, kecuali yang sebadan penuh. Lining dulu, baru filling, gradasi, lalu warna,” paparnya.
Selama belasan tahun menato, ada saja pengalaman unik yang kadang bikin kesal, kadang menghibur. ”Ada orang Belanda, minta tato gambar kapal VOC. Ditatonya di Indonesia, oleh orang Indonesia. Saya tanya, sejarahnya tahu, kan? Itu kapal penjajah. Dia tahu, tetapi dia suka saja gambar kapal tua begitu. Jadinya saya ketawa, dia ketawa,” cerita Ferdy.
Ada juga klien yang teriak-teriak dan pingsan saat ditato. Ada pelanggan pria yang baru ditato setengah, datang istrinya menyuruh pulang karena tidak boleh ditato.
Dinamika jagat tato membuat Durga, Nadya, ataupun Ferdy menyatakan akan bersetia menorehkan rajah hingga fisik tak lagi memungkinkan. Lewat tangan-tangan mereka, beragam cerita akan terus tertoreh secara permanen di tubuh manusia.