Beberapa tampilan yang berasal dari rancangannya pada era 1980-an hingga 2000-an dihidupkan kembali dalam koleksi kali ini.
Oleh
Riana A Ibrahim
·5 menit baca
Sudah bukan rahasia, wastra Nusantara mencerminkan kemajemukan negeri ini. Kekayaan budaya yang membentang dari Sabang hingga Merauke dengan aneka kisah leluhur di baliknya. Itu semua menjadi pengingat kita untuk terus menjaga warna-warni keberagaman yang memancarkan keindahan. Selayaknya wastra yang membaurkan banyak corak.
Desainer Samuel Wattimena melalui pagelaran bertajuk ”An Exotic Journey to Nusantara” yang ditampilkan secara virtual pada Sabtu (27/3/2021) kembali mengangkat ragam wastra yang menjadi ciri khasnya. Diinisiasi oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia di Korea Selatan, Samuel memamerkan koleksi retropeksinya sepanjang 42 tahun berkarya.
Beberapa tampilan yang berasal dari rancangannya pada era 1980-an hingga 2000-an dihidupkan kembali dalam koleksi kali ini. Dari batik, lurik, sarung Bugis, tenun ikat, hingga kain endek yang kaya motif dan penuh warna dipadupadankan juga dengan koleksi perhiasan yang juga bertajuk Nusantara, bekerja sama dengan The Palace.
Ketertarikannya dengan wastra Nusantara telah menggelora sejak menjejak dunia mode seusai memenangi Lomba Perancang Mode pada 1979. ”Dari awal, saya memang selalu terpukau dengan Nusantara. Apa yang saya buat juga selalu berupaya mengangkat kekayaan Nusantara ini dan berdasarkan rekaman yang saya lihat, misal mbok-mbok di pasar, karena saya ini autodidak, enggak pernah sekolah mode secara formal,” ujar Samuel saat berbincang pada Senin (29/3/2021).
Kendati demikian, tiap desain berbahan kain tradisional yang dihasilkannya selalu memiliki rasa Ibu Kota. ”Ini karena saya lahir di Jakarta, jadi rasanya tetap Ibu Kota. Ini juga memberi warna tersendiri bagi tiap desain saya. Koleksinya selalu klasik with traditional twist yang umumnya memang di bahan,” ungkap Samuel.
Semakin mendalami wastra Nusantara, ia menemukan beragam jenis dan makna dari kain-kain yang berasal dari banyak daerah. Oleh karena itu, ia tak ragu dan kian berani untuk menyatukan ragam wastra lintas pulau dalam satu tampilan. ”Jangan takut untuk menggabungkan wastra karena masing-masing memiliki kekuatan. Misal atasan batik, bawahan kain endek. Kenapa enggak? Eklektik saya menyebutnya,” jelas Samuel.
Hal itu terbukti dalam sejumlah tampilan yang dihadirkan secara virtual berlatar interior sebuah gedung tua di Jakarta. Para modelnya, baik perempuan maupun laki-laki, melenggang dengan paduan yang menarik. Semisal blazer tenun ikat dengan bawahan batik. Ada juga blazer tenun Tanimbar dengan detail bordir bunga Tasik, bawahannya mengenakan sarung khas Nusa Tenggara Timur dipadu dengan sirkam rambut NTT dan kipas dari Fiji.
Untuk pria, salah satunya terlihat dari paduan atasan endek polos Bali dengan detail bordir khas Tasikmalaya dan olahan sisa kain, bawahannya celana tenun khas Nusa Tenggara Barat. Kemudian aksesorinya tas rotan ala Cirebon. Apabila biasanya batik selalu bertemu batik, atau tenun hanya dengan tenun, Samuel jelas keluar jalur, tapi justru apik, dinamis, dan memberi napas baru bagi perkembangan wastra.
”Walau digabung-gabungin seperti ini tetap Nusantara. Jangan menyeragamkan keberagaman. Itulah kebinekaan. Ini juga merupakan bentuk pertahanan budaya. Budaya akan menguatkan kita,” ujar Samuel yang meyakini upaya ini bermanfaat untuk pelestarian kain-kain tradisional dan ragam detail khas dari tiap daerah di Indonesia.
Pada kesempatan ini, Samuel juga membesut pakaian tradisional Korea Selatan, yakni hanbok, dengan wastra. Hanbok ini merupakan koleksi baru darinya. Keputusannya untuk membuat hanbok karena pergelarannya kali ini melibatkan pihak dari Korea Selatan sehingga dibutuhkan cara untuk membuat wastra Nusantara ini tetap terasa dekat.
Semula ada kekhawatiran dalam mengkreasikan hanbok berbahan wastra ini. “Ini kan khasnya mereka, awalnya tentu takut nanti enggak pas atau enggak sesuai. Sampai melihat ada Blackpink (grup musik asal Korsel) yang memakai hanbok dan ternyata eksploratif sekali. Yang terpenting ada pada siluetnya dan mereka ini nyaman sekali mengenakan pakaian tradisionalnya itu,” tutur Samuel.
Bahan untuk hanbok ini dipilih batik dan lurik dipadu dengan perca kain yang dipilah, lalu disatukan sesuai dengan detail yang diinginkan dalam desain. Tak disangka, sambutannya cukup hangat.
Ini juga menjadi ajakan bagi generasi muda di Indonesia untuk peduli dan bangga dengan wastra Nusantara. Selama ini ada keengganan mengenakan wastra karena identik dengan suasana formal. Padahal, dengan padu padan yang sesuai, wastra dapat menembus batasnya. ”Perlu diingat juga, local is a new global. Karena itu, penting dikelola dengan baik, ditambah kebanggaan anak muda terhadap produk lokal,” ujar Samuel.
Berkelanjutan
Tidak hanya bertujuan terus memopulerkan wastra, pertunjukan peragaan busana ini juga memiliki visi tentang mode berkelanjutan (sustainable fashion) untuk keberlangsungan lingkungan hidup. Atas dasar ini, Samuel bersemangat untuk membuat karyanya bereinkarnasi lewat konsep upcycled dan recycled.
”(Sebanyak) 80 persen merupakan koleksi lama, tapi gayanya ditata ulang agar tetap masuk ke masa kini. Jadi, ada yang atasannya koleksi 1990-an dipadu dengan bawahan koleksi 2004. Kalau tetap setnya dibikin seperti asli, misalnya tampilan 1985, enggak di-styling lagi ya enggak masuk. Sisanya koleksi baru,” ungkap Samuel.
Ia menyadari, mode menjadi salah satu penyumbang terbesar limbah lingkungan. Karena itu, gerakan slow fashion, yang terus memberi nyawa baru pada koleksi lama, sangat didukungnya. Selain itu, proses kreasi juga diupayakan ramah lingkungan, seperti penggunaan pewarna alam.
”Apalagi di tengah pandemi begini, semestinya kita lebih bijak dalam menggunakan sesuatu, termasuk untuk busana. Ini juga berguna untuk menjaga lingkungan kita yang akan terus ditinggali generasi selanjutnya,” ujar Samuel.
Untuk itu, sekitar 15 persen karya barunya pun memanfaatkan kain perca dan sisa kain agar tidak menciptakan limbah baru yang berasal dari dunia mode.
Samuel juga bertekad tak akan berhenti untuk terus mengangkat wastra Nusantara demi memperteguh semangat kebinekaan. Ya, karena berbeda itu niscaya.