Wajah Televisi di Era Pandemi
Tantangan sebenarnya justru terletak pada bagaimana para penyelenggara acara, terutama pranatacara dan peserta, bisa tetap berupaya menghidupkan acara mereka. Hal itu bukan perkara mudah
Kini, tampil atau menonton televisi maknanya seolah berpiuh. Konsep-kopsep lama harus ikut beradaptasi dengan pengertian baru karena kehadiran yang tidak selalu fisik. Di ruang-ruang virtual, insan pertelevisian mencoba tetap mengakrabkan diri dengan audiens. Inilah wajah televisi di era pendemi.
”Hei, sekarang kalian penonton di rumah bisa menonton para penontonku di layar kaca saat mereka tengah menonton diriku, yang tengah berbicara dan menonton mereka dari pesawat televisi di acara ini. Well, ini benar-benar sebuah normal baru,” gurau pranatacara sekaligus komedian tenar Amerika Serikat, Ellen DeGeneres disambut gelak penonton.
Di studio tempat pengambilan gambar “The Ellen DeGeneres Show”, NBC Studios in Burbank, California, Amerika Serikat, terpasang puluhan unit televisi LED berlayar besar di hadapan Ellen. Setiap layar menampilkan video sosok audiensnya secara daring dan real time. Layar-layar LED itu berderet rapi di area, yang biasa menjadi tempat duduk penonton saat hadir langsung.
Walau tak hadir secara fisik di studio para audiens acara Ellen tetap bisa berinteraksi, merespons, atau bahkan berbincang bersama pranatacara, layaknya mereka tengah ada di studio. Mereka bahkan bisa bercanda dan juga menjawab pertanyaan kuis berhadiah, yang menjadi bagian dari acara.
Adegan pranatacara berinteraksi dengan audiens atau narasumber virtualnya lewat layar LED di studio sudah menjadi semacam kenormalan baru. Tak hanya di acara talkshow live, juga di diskusi politik dan ekonomi, olahraga, ajang pencarian bakat, hingga pertunjukan komedi. Semua sama-sama digelar di studio masing-masing dengan tanpa penonton akibat pandemi.
Kerumunan manusia memang menjadi sesuatu yang tabu saat ini lantaran dikhawatirkan memicu klaster penularan baru. Tak hanya itu, proses syuting pun digelar dengan protokol kesehatan ketat dan jumlah kru yang sangat dibatasi. Tes antigen sebelum dan sesudah syuting juga sudah menjadi rutinitas semua pihak yang terlibat.
Namun, tantangan sebenarnya justru terletak pada bagaimana para penyelenggara acara, terutama pranatacara dan peserta, bisa tetap berupaya menghidupkan acara mereka. Hal itu bukan perkara mudah. Langkah yang dilakukan “The Ellen DeGeneres Show” hanya lah salah satu kiat, yang bisa saja ditiru. Namun di belakangnya ada konsekuensi lain seperti biaya produksi yang membengkak.
Layar wajah penonton
Beberapa stasiun televisi di tanah air juga punya kiat-kiatnya sendiri. Acara “Stand Up Comedy Indonesia (Suci) IX” di Kompas TV, misalnya. Mereka juga mencoba menghadirkan audiens virtual di studio lewat sebuah layar raksasa, yang ditempatkan menghadap panggung kecil tempat para komika kontestan beraksi. Layar itu menampilkan 100 wajah penonton via aplikasi zoom, yang sebelumnya mendaftar lewat akun media sosial Suci IX.
“Kalau stand up comedy pastinya sekarang jauh lebih berat karena enggak ada yang bantu tertawa. Padahal, buat komika ketawanya penonton itu indikator berhasil enggaknya mereka. Kalau ketawanya sampai pecah mereka (komika) juga ada boost moralnya,” ujar Suparno, sang produser acara, Selasa (16/3/2021).
Mengutip BBC.com, salah satu penelitian di University College London menyebut pemirsa merasa sebuah lelucon jauh lebih lucu ketika diikuti suara orang lain tertawa. Dengan begitu menurut Sophie Scott, profesor ilmu saraf kognitif, yang memimpin penelitian, tawa adalah sinyal yang sangat penting bagi manusia dan selalu memiliki makna tersendiri.
“Sebetulnya bisa membantu tapi videonya sering ada jeda antara saat saya selesai ngomong dengan saat mereka tertawa. Jadinya malah nge-distract dan bikin bingung ketika mau lanjut ke materi berikut,” ujar Gilang Herlambang (19), Rabu (24/3/2021), salah seorang komika peserta SUCI IX asal Lumajang, Jawa Timur.
Sementara itu suasana syuting tanpa penonton di studio Menara Kompas, Jakarta, Selasa (16/3/2021) malam, terasa sepi. Di masa normal para penonton, kebanyakan dari para pendukung masing-masing kontestan, rajin datang meramaikan suasana. Saat ini hanya ada para kontestan, juri, pembawa acara, dan kru acara. Mereka inilah yang kemudian membantu menghidupkan suasana dengan ikut tertawa atau bereaksi saat ada materi komika dirasa lucu.
Tambah pranatacara
Strategi lain diterapkan stasiun televisi Indosiar di acara andalannya, “Liga Dangdut Indonesia (Lida) 2021”. Menurut Harsiwi Achmad, Direktur Surya Citra Media (SCM), pihaknya melibatkan sepenuhnya para juri, pranatacara, dan semua pihak, yang terlibat di atas panggung untuk meramaikan dan menghidupkan suasana sebagai pengganti ketiadaan penonton.
“Makanya kami akan membuat semeriah mungkin dengan seadanya jumlah orang di atas panggung. Kami juga menambah host dengan memanggil Ruben Onsu serta jebolan Stand Up Comedy Academy, Arafah (Rianti) SUCA,” ujar Siwi per telepon, Selasa (16/3/2021).
Ruben dan Arafah akan bergabung dengan sejumlah pranatacara sebelumnya seperti Irfan Hakim, Ramzi, Gilang Dirga, Rizky Billar, Rara Lida, dan Jirayut Dangdut Academy Asia (DAA). Ruben dipilih lantaran dinilai sudah sangat akrab dengan beberapa nama juri seperti Soimah Pancawati, Nassar, dan Inul Daratista.
“Mereka, kan, sudah berteman jadi Ruben pasti gampang diterima untuk bisa memberi warna baru. Dia dikenal lincah berbalas tuturan dan gurauan ke sesama penghibur. Levelnya juga sudah sama dengan Ramzi, Irfan Hakim, dan Gilang Dirga. Sebagai host senior kami jelas pilih Ruben,” tambah Harsiwi.
Adapun Irfan Hakim merasa seolah mendapat peluru tambahan untuk bertempur dengan kehadiran Ruben. Irfan menjanjikan penampilan total habis-habisan untuk memeriahkan suasana. Sebelumnya acara kompetisi penyanyi dangdut ini kerap menghadirkan para pendukung, yang kebanyakan berasal dari daerah asal peserta masing-masing. Mereka biasanya hadir lengkap dengan membawa beragam aksesori, foto, gambar, spanduk, serta yel-yel dukungan.
“Saya lebih memilih tidak mendatangkan penonton demi kewaspadaan bersama terhadap Covid 19. Ketimbang membahayakan semuanya termasuk juga kru saya nanti,” ujar Harsiwi.
Tanpa penonton
Pendekatan lebih sederhana dilakukan pihak program acara talkshow “Kick Andy”. Mereka “mensubstitusi” ketiadaan penonton dengan membuat alur acaranya jauh lebih intim, termasuk dengan menghadirkan narasumber yang lebih talkative, selain tentu saja kepiawaian pranatacara, Andy F Noya, dalam mewawancara mereka.
Hal itu disampaikan Eksekutif Produser gelar wicara (talkshow) “Kick Andy”, Rina Rahmadani, Kamis (25/3/2021). Menurut Rina, menyikapi dampak pandemi pihaknya juga mengupayakan sejumlah penyesuaian dan adaptasi seperti berpindah ke studio lebih kecil sejak September 2000 lalu dan mengubah jadwal pengambilan gambar. Proses syuting rekaman tak lagi dilakukan setiap pekan, melainkan dalam satu waktu diupayakan ada lebih dari satu kali tema yang direkam.
Salah satu narasumber untuk episode 20 yang tayang Desember lalu, Megandika Wicaksono, menceritakan sejumlah pengalamannya. Saat diundang berbagi kisah, Megandika memuji kehebatan sang pembawa acara, yang mampu menghidupkan suasana termasuk dengan sejumlah guyonannya dan bahkan ikut bernyanyi.
Di acara itu Megandika bercerita tentang kegiatannya bersama rekan wartawan lain membangkitkan semangat anak-anak Panti Asuhan, yang kemudian dibukukan berjudul Di Tepi Serayu Aku Merindu. Walau proses wawancara terkesan akrab dan intim, protokol kesehatan tetap dilakukan dengan ketat seperti penempatan kursi yang cukup berjarak antara dirinya dan Andy.
Sementara itu, walau tak lagi bisa menonton langsung ke studio bersama teman-teman kampusnya akibat pandemi, Rakasya Abina mengaku akan tetap setia menonton acara kesayangannya itu. Rakasya mengaku senang menonton langsung karena bisa bertemu dengan pranatacara kesayangannya dan juga berfoto dengan narasumber terkenal lain.
Pelaku dan penonton hiburan televisi tengah beradaptasi dengan mengurangi kerumunan: tetap menghibur dan terhibur di masa pendemi.