Kantor Setelah Pandemi Covid-19, Antara Fleksibilitas dan Relasi Sosial
Pascapandemi, para pemimpin perusahaan dihadapkan dilema apakah sebaiknya mengembalikan kerja di kantor atau bekerja di rumah dianggap sudah efektif? Saat ini momentum paling tepat bagi perusahaan memikirkan skema kerja.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Fleksibilitas dalam bekerja akan menjadi kunci dunia kerja di masa pascapandemi Covid-19. Sistem kerja hybrid atau campuran antara rumah dan kantor menjadi pilihan. Namun, setiap perusahaan perlu mencari solusi yang tepat untuk dapat menumbuhkan hubungan sosial dan kolaborasi antarkaryawan dalam skema ini.
Chief operating officer Salesforce Bret Taylor mengatakan, saat ini adalah momentum paling tepat bagi perusahaan di seluruh dunia untuk memikirkan kembali bagaimana skema kerja yang paling tepat. Dengan dimulainya proses vaksinasi di berbagai belahan dunia, diskursus mengenai kembalinya dunia kerja ke kantor mulai bermunculan.
Facebook mulai membuka kembali kantornya di Silicon Valley meski dengan kapasitas terbatas. Google dan Microsoft juga mengambil langkah serupa.
“Selama ratusan tahun kita autopilot tentang workplace. Tetapi dalam setahun terakhir, kita dipaksa untuk bekerja dari rumah. Lalu sekarang, kita diberi kesempatan untuk membangun dari mentah, skema kerja yang dapat memanfaatkan ruang kantor paling efektif. Ini salah satu momen yang penting dalam sejarah umat manusia,” kata Bret dalam diskusi yang digelar terbatas di platform Clubhouse dan dipublikasikan untuk umum pada Sabtu (27/3/2021) waktu barat AS atau Minggu waktu Indonesia.
Bret mengatakan, dalam survei terakhir yang dilakukan terhadap sekitar 60.000 karyawannya menunjukkan bahwa 72 persen orang ingin kembali ke kantor. Jumlah ini meningkat dari 23 persen dibandingkan angka pada Juni 2020.
Sebagian fungsi kantor adalah projection of power. Kita punya gedung tinggi dengan logo kita. Ini adalah tempat untuk menjamu pelanggan, pusat budaya kita, sebuah tempat untuk ditunjukkan ke calon karyawan kita, juga tempat munculnya kolaborasi-kolaborasi spontan
Namun, perlu diperhatikan bahwa sebagian besar yang ingin kembali ke kantor menginginkan hanya 2-3 hari di kantor dalam sepekan. Sebagian besar pun memilih Rabu dan Kamis sebagai hari ke kantor.
“Ini yang akan mengubah wajah dunia kerja. Bagaimana kita bisa membuat 2-3 hari ini menjadi efektif? Saya kira perlu sebuah formalitas dan mekanisme yang rigid untuk bisa memastikan penggunaan ruang kantor selama dua hari ini efektif,” kata Bret.
Hasil survei Salesforce juga menunjukkan bahwa faktor umur berpengaruh pada pilihan untuk bekerja dari rumah atau kantor. Bret mengatakan, karyawannya yang generasi Z dua kali lebih ingin kembali ke kantor ketimbang generasi baby boomer maupun generasi X.
Secara teknis, menurut Bret, setiap perusahaan akan perlu semacam sistem perangkat lunak yang dapat digunakan untuk mengatur penggunaan ruang kantor secara lebih efektif.
CEO Wordpress Matt Mullenweg mengatakan, untuk menemukan solusi, para pemimpin perusahaan perlu menghindari dikotomi bekerja di kantor dan jarak jauh. Cara pandang ‘digital first’ menurutnya yang harus dipegang. Dengan teknologi dan implementasi yang tepat, dilema jarak jauh maupun di kantor akan tidak terlalu menjadi soal.
“Selama ini, skema bekerja kita sangat terpaku dengan interaksi fisik. Investasi perusasahaan untuk aspek ini pun sangat besar; seperti sewa gedung dan bikin ruang konferensi. Tetapi akan sedikit perusahaan yang mau mengeluarkan dana yang sepadan untuk infrastruktur digital yang dapat membantu produktivitas karyawan mereka,” kata Matt.
Sebagian besar yang ingin kembali ke kantor menginginkan hanya 2-3 hari di kantor dalam sepekan. Sebagian besar pun memilih Rabu dan Kamis sebagai hari ke kantor
Wordpress pernah dalam beberapa tahun melakukan skema kerja terdistribusi secara penuh. Biaya untuk sewa kantor dialihkan untuk rapat beberapa kali dalam setahun, mempertemukan sejumlah karyawannya yang ada di seluruh dunia.
Menurutnya, bagi yang sudah pernah merasakan kenikmatan fleksibilitas dalam bekerja, akan susah untuk kembali ke jadwal rigid perkantoran.
CEO PagerDuty Jennifer Tejada juga menemukan tendensi menuju fleksibilitas kerja di perusahaannya. Dalam survei terakhir, hanya 54 persen karyawan yang ingin bekerja di kantor.
Menurutnya, yang kini juga perlu diperhatikan adalah bagaimana tetap menjaga hubungan sosial dan emosional antar karyawan yang bekerja secara jarak jauh sekaligus lintas skema kerja.
“Dari survei kami terlihat bahwa para karyawan rindu akan tradisi dan acara di kantor. Nah di sistem hybrid nan fleksibel kelak itu bagaimana memenuhi hal ini? Ini yang harus kita cari,” kata Tejada.
Eksperimen
Namun secara sosiologis, keputusan mengenai skema bekerja sebaiknya tidak diambil hanya berdasarkan data survei keinginan karyawan. Sosiolog dan penulis Zeynep Tufekci mengatakan bahwa survei tidak dapat secara holistik merekam apa yang benar-benar diinginkan oleh karyawan.
Menurutnya, dorongan untuk segera kembali bekerja di kantor bisa jadi terpengaruh oleh rasa nostalgia semata. Ada kemungkinan, begitu benar-benar bekerja di kantor, karyawan akan kembali menyadari hal-hal negatif bekerja di kantor yang mungkin selama ini terlupakan.
Oleh karena itu, akan lebih baik—jika memungkinkan—bagi pemimpin perusahaan untuk menggelar ‘eksperimen’ yang dilakukan paralel. Perlu dibuat dua atau lebih kelompok untuk masing-masing menjalankan skema kerja yang diinginkan.
Eksperimen dilakukan dengan mengatur sebuah kelompok karyawan yang bekerja hybrid dengan menitikberatkan bekerja dari rumah dan ada kelompok karyawan yang condong di kantor. Dari hasil penelitian ini mungkin bisa didapatkan hasil yang paling tepat.
“Manusia itu sangat adaptabel. Kalau keputusan yang diambil hanya berdasar data survei, ya sebetulnya mau enggak mau, efektif atau tidak, para karyawan akan mengikuti itu. Tetapi kalau kita benar-benar ingin mencari cara yang paling tepat, perlu ada eksperimen,” kata Zeynep yang juga associate professor di University of North Carolina, AS.
Pasar tenaga kerja
CEO Slack, Stewart Butterfield meyakini ada faktor lain yang akan berpengaruh pada keputusan antara bekerja dari rumah atau kantor. Faktor ini adalah mekanisme pasar tenaga kerja.
Sejauh ini, ia melihat bahwa dengan sistem bekerja jarak jauh, pihaknya sudah melihat keuntungan dengan meluasnya kolam talenta (talent pool) untuk mencari calon karyawan.
“Kami juga telah merekrut orang dari kota di mana kami tidak punya kantor di situ. Ini sudah salah satu bentuk keputusan yang tidak bisa dianulir kelak. Kita tidak bisa memaksa orang pindah (ke kota yang ada kantor Slack) begitu pandemi selesai,” kata Butterfield.
Manusia itu sangat adaptabel. Kalau keputusan yang diambil hanya berdasar data survei, ya sebetulnya mau enggak mau, efektif atau tidak, para karyawan akan mengikuti itu. Tetapi kalau kita benar-benar ingin mencari cara yang paling tepat, perlu ada eksperimen
Namun, ia juga melihat bahwa kantor tidak sekedar memiliki fungsi tempat bekerja bagi karyawan. Namun juga sebuah upaya proyeksi kekuatan ke dunia luar.
“Sebagian fungsi kantor adalah projection of power. Kita punya gedung tinggi dengan logo kita. Ini adalah tempat untuk menjamu pelanggan, pusat budaya kita, sebuah tempat untuk ditunjukkan ke calon karyawan kita, juga tempat munculnya kolaborasi-kolaborasi spontan,” kata Butterfield.