Merayakan "Supernova 1991"
Nirvana dan Kurt Cobain telah mengontekstualisasikan bunyi baru yang selama ini ada dalam jagad tetapi disingkirkan jauh-jauh dari budaya pop dan gemilang bisnis rock. Dia bom supernova 91
Karya-karya besar bertubi-tubi meledak sepanjang tahun. Tepat di jantungnya, satu dentuman dahsyat membuat tatanan lama kolaps sekaligus menciptakan ”normal baru”. Rock pun kembali bercahaya dan menemukan makna baru. Dan tahun ini adalah perayaan 30 tahun sejarah itu ; ”supernova 1991”.
Pencinta musik rock, akan selalu mengingat tahun 1991 sebagai supernova, sebuah periode yang penuh dengan ”ledakan” album-album kolosal dari berbagai musisi rock di Amerika dan Eropa sebagai barometer rock ”dunia. Itu semua menjadi teman seperjalanan mereka yang tumbuh bersama rock di tahun 1991. Bahkan barangkali, warnanya masih berjejak dalam kehidupan masa kini.
Dan tak terasa, tahun ini adalah perayaan 30 tahun periode tersebut. Namun pandemi Covid-19 membuat momentum itu hampir lewat begitu saja. Krisis multidimensi yang ditimbulkan pandemi telah melanda dan ”menjarah” nyaris semua kegiatan di seluruh ruang kehidupan, mulai dari yang paling privat dalam keluarga hingga meluas ke lingkungan tempat tinggal, tempat kerja, daerah, bangsa, sampai komunitas global.
Masyarakat terpaksa dan dipaksa stagnan dengan berbagai rutinitas baru dalam ruang lingkup yang amat terbatas. Masyarakat misalnya, stagnan dengan urusan bekerja dari rumah. Stagnan tidak bisa bersosialisasi di ruang-ruang publik. Stagnan dengan kran pendapatan yang mampat. Stagnan menjadi pengangguran. Pokoknya serba stagnan dengan ”penjara sosial” pandemi ini.
Namun justru karena stagnasi itu barangkali, masyarakat jadi bisa sejenak untuk kembali bernostalgia ke tahun 1991. Memutar ulang ”the good old days” tentu sah-sah saja dan barangkali bisa menjadi wahana melupakan sumpek pandemi sekalipun hanya sesaat.
Dan siapa tahu perjalanan ke belakang itu memberi sesuatu yang membantu kita untuk melalui hari-hari pandemi yang sulit dan panjang ini, apa pun itu bentuknya. Kalau pun perjalanan itu tidak memberi apa pun selain nostalgia musik belaka, tak soal juga.
Jadi mari mundur sejenak. Jika anda punya koleksi kaset atau CD dari tahun 1991 yang sudah lama terlupakan, memutarnya kembali dan menjelajahi grafis kertas sampulnya menjadi ”ritual pembuka” yang sempurna. Atau jika ”artefak” itu sudah raib atau rusak, memutar versi MP3-nya pun bukanlah perbuatan dosa bukan?
Membuka supernova 1991 adalah Queen, band asal Inggris, dengan album Innuendo yang dirilis 4 Februari. Tak butuh waktu lama bagi album studio ke-14 itu untuk memuncaki tangga album terpopuler di Inggris dan sejumlah negara Eropa lainnya. Ini merupakan album terakhir yang dirilis Queen saat Freddie Mercury, sang vokalis, masih hidup. Freddie meninggal pada 24 November 1991.
Per 12 Maret, R.E.M. merilis album Out Of Time. Singelnya, ”Loosing My Religion”, cepat mendaki dan akhirnya bertengger di posisi ke-4 pada Billboard Hot 100, tangga lagu terpopuler di Amerika Serikat (AS).
Masih di bulan yang sama, pecinta rock tiba-tiba dihentak gemuruh Sepultura melalui albumnya, Arise. Band asal Brazil itu menggedor dominasi band-band trash metal AS maupun Eropa dan tiba-tiba menjadi raksasa metal dunia yang berdiri sama tinggi dengan Metallica, bahkan jauh lebih gahar.
Arise adalah potret dunia saat itu dalam perspektif anak-anak muda dari negara berkembang di Amerika Latin. Arise berteriak tentang dunia yang semakin tua, ugal-ugalan, kian gandrung pada tribalisme dan perang, serta berjalan mundur ke belakang. Kebencian, terorisme, dan dekadensi moral berderap menghimpit generasi muda hingga menyisakan kedangkalan. ”I see the world, old. I see the world, dead,” teriak Max Cavalera sang vokalis dalam lagu ”Arise”.
Sehari setelah Arise diluncurkan, giliran Mr Big merilis Lean Into It, 26 Maret. Album studio ke-2 kuartet asal Los Angeles, AS itu, sering dianggap sebagai album terbaik dalam katalog album-albumnya. Tak ingin ketinggalan, White Lion, band hardrock asal New York, AS, juga merilis album terbaiknya, Mane Attraction, 2 April.
Dua minggu kemudian, Temple of The Dog, merilis album semata wayang dengan nama band itu sendiri sebagai tajuknya. Smashing Pumpkins dengan Gish, Skid Row dengan Slave to The Grind, dan Van Halen dengan For Unlawful Carnal Knowledge melanjutkan estafet berikutnya pada Mei-Juni.
Memasuki Agustus dan September, kalau boleh disebut klimaks, adalah klimaks rock tahun 1991. Album-album besar padat merayap di periode ini. Dimulai Pearl Jam dengan Ten, Tesla dengan Psychotic Supper, dan disambung Europe dengan Prisoners in Paradise.
Selanjutnya, Metallica melalui Black Album per 12 Agustus, disusul Guns N’Roses melalui album ganda, Use Your Illusion per 17 September, ”meledakkan” pasar. Kedua band asal Los Angeles itu mendulang sukses komersial dengan album tersebut.
Black Album dan Use Your Illusion menorehkan catatan besar dalam sejarah musik rock dunia. Namun sejarah yang benar-benar besar baru tercatat pada 24 September dengan nama depan Nirvana dan nama belakang ”Nevermind”.
”Smells Like Teen Spirit” adalah single pertama album Nevermind. Lewat lagu kebangsaan generasi X itu, Nirvana menjadi tsunami yang menyapu dan merubah lanskap musik rock AS hingga kemudian memicu efek berantai perubahan ke seluruh dunia. Era hair metal band yang merajai dekade 1980-an digusur oleh grunge atau Seattle sound. Di hari yang sama, Soundgarden merilis badmotorfinger dan Red Hot Chili Peppers merilis Blood Sugar Sex Magik.
Akhirnya menutup tahun 1991, U2 merilis Achtung Baby, Ugly Kid Joe merilis As Ugly As They Wanna Be, dan Michael Jackson merilis Dangerous. Beberapa musisi rock veteran juga merilis album di tahun itu seperti Jeff Beck, Genesis, Yes, Stevie Ray Vaughan, Ozzy Osborne, Sting, Rush, dan David Lee Roth.
Dan masih banyak lagi band-band rock lainnya yang mengisi tahun 1991. Sebut saja The Cult, Saigon Kick, Bad English, McAuley Schenker Group, Savatage, Great White, Roxette, XYZ, dan Danger Danger. Tak sedikit pula pendatang baru dari Album Oriented Rock (AOR) ikut meramaikan, seperti Harem Scarem, Storm, Tyketto, dan Roxus.
Dari zona metal, ”api” rock tak pernah padam. Band-band metal terus menggempur publik rock dengan rilis album-albumnya. Di antaranya adalah Motorhead, Running Wild, Gamma Ray, Helloween, Heaven’s Gate, Crimson Glory, Overkill, Morbid Angel, Iced Earth, Metal Church, Massacre, Carcass, Suffocation, Entombed, Pestillence, dan Bathory. Demikian pula dengan band-band punk seperti Screeching Weasel, Leatherface, NOFX, Rogues, Pitbull, Superchunk, Pegboy, Rhythm Collision, dan Down By Law.
Ah, betapa itu semua menjadi katalog surgawi bagi para pecinta rock di seantero bumi. Benar-benar parade album rock dalam karnaval ekstravaganza sejak awal hingga akhir tahun 1991.
Era baru
Ketika Dangerous-nya Michael Jackson menggapai puncak tangga album Billboard 200 di awal 1992, industri musik telah mengantisipasinya. Namun tak seorang pun menyangka ”raja baru” akan datang tak lama kemudian.
Pada 11 Januari 1992, Nevermind menggusur Dangerous dari puncak tangga album Billboard 200. Nirvana melengserkan Michael Jackson, Raja Pop, dari status quo singgasananya. Nirvana menggempur stagnasi raja-raja 1980-an.
Tom Petty, musisi veteran AS, berpendapat, Nirvana dengan Kurt Cobain sebagai vokalisnya adalah band paling istimewa di antara band-band lain di era itu. ”Nirvana bagi saya adalah hal paling signifikan sejak The Beatles,” kata Tom di salah satu dokumentasi MTV.
Jurnalis Ernesto Assante dalam bukunya, Legends of Rock, menyatakan, Nirvana dan Kurt Cobain telah mengkontekstualisasikan bunyi baru yang selama ini ada dalam jagad tetapi disingkirkan jauh-jauh dari budaya pop dan gemilang bisnis rock. Tak hanya melalui gestur definitif dan finalnya, Cobain juga melalui lagu dan liriknya, berjuang keluar dari segala klise yang dijejalkan oleh iklan dan konsumerisme kapitalisme.
”Cobain secara agung sekaligus tragis telah menjadi manifesto musim yang luar biasa ; awal sebuah era baru untuk musik, era kebangkitan rock. Rock sebagai bahasa pembebasan,” tulis Ernesto.
Pengajar mata kuliah Cultural Studies Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Anton Novenanto, Selasa (02/03/2021), menyatakan, perubahan besar di jagad rock pada tahun 1991 tidak bisa direduksi hanya sebagai dinamika dalam dunia musik saja. Sebagai produk budaya, rock merupakan resonansi dari dinamika yang tengah terjadi di masyarakat.
”Dominasi kapitalisme tidak saja soal ekspansi modal tetapi juga penyeragaman budaya global. Maka orang bereksperimen soal identitas. Orang mencari budaya alternatif yang tidak sesuai dengan budaya populer, salah satunya lewat musik,” kata Anton.
Sejarah mencatat, akhir dekade 1980-an adalah awal sebuah perlawanan terhadap stagnasi tatanan global yang dibentuk oleh persaingan hegemoni dua ideologi besar dalam perang dingin. Tembok Berlin yang menjadi lambang ”pertempuran” antara kedua ideologi itu, kapitalisme dan komunisme, akhirnya ambrol pada 9 November 1989. Runtuhnya tembok kokoh sepanjang 155 kilometer yang membagi Jerman Barat dan Jerman Timur selama 28 tahun tersebut menjadi awal reunifikasi ”kembar” Jerman.
Angin perubahan itu terus bertiup ke timur, menggempur stagnasi tahta sosialis, Uni Soviet. Negara yang mencakup 85 subyek federal selama 69 tahun itu, akhirnya bubar jalan. Pada 25 Desember 1991 malam, bendera Uni Soviet diturunkan dari Istana Kremlin dan diganti dengan bendera Russia. Ini menjadi awal efek domino disintegrasi negara tersebut. Uni Soviet, negara adidaya dengan luas wilayah terbesar di dunia, dengan kekuatan ekonomi terbesar ke-2 di dunia, dan dengan kekuatan militer terbesar di dunia, di luar dugaan, selesai!
Efek Nirvana
Bambang Barohmad (43), pelaku industri kreatif di Yogyakarta, mengaku, tahun 1991 adalah tahun yang benar-benar mewarnai kehidupan masa remaja dan mudanya. Meski saat itu masih kelas 1 SMP, ia sudah aktif mendengarkan musik-musik rock di radio.
Ia juga membeli kaset-kaset yang saat itu masih dibanderol Rp 5.000 - Rp 6.000 per biji. Nevermind-nya Nirvana dan Ten-nya Pearl Jam, ia beli di awal 1992.
”Pertama kali dengar Smells Like Teen Spirit (single dari Nevermind) tahun 1991. Saat itu masih SMP kelas 1. Sebelumnya, saya suka musik metal seperti Guns and Roses, Metallica, dan Sepultura. Tapi ketika mendengar Nirvana, saya merasa ini lebih mewakili semangat remaja dan anak muda jaman itu,” kata Bambang.
Dalam musik Nirvana dan band-band grunge lain, ayah dua anak itu merasakan semangat perlawanan dan pemberontakan terhadap stagnasi. Ini mewakili perasaan Bambang serta remaja dan anak-anak muda di era itu.
”Lebih dari sekadar musik. Tahun 1991 itu juga seperti soundtrack kehidupan. Sadar atau tidak sadar, itu telah memengaruhi hidup saya sampai hari ini. Pengaruh dalam gaya berpakaian, gaya hidup, cara pandang, dan juga ideologi ; ”Do It Yourself”. Bahkan profesi yang saya geluti di industri kreatif sekarang ini pun ada kaitannya dengan pengaruh 1991,” kata lulusan Fakultas Sastra UGM angkatan 1996 itu, Rabu (03/03/2021).
Bagus ”Netral” mengingat tahun 1991 sebagai tahun yang penuh dengan peluncuran album-album rock fenomenal. Genre musiknya juga sangat variatif, mulai dari punk, grunge, hardrock, glam metal, heavy metal, sampai thrash metal. Yang jelas semuanya berakar di rock.
Namun yang menonjol dari itu semua, bagi vokalis sekaligus pembetot bas band Netral itu, adalah Nirvana dengan Nevermind-nya. Sebab, itulah yang mengubah lanskap industri musik dunia di era 1990-an, termasuk Indonesia.
Demam Nirvana dan band-band grunge lainnya di Tanah Air memicu kemunculan band-band alternatif di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan kota-kota besar lain di Indonesia. Gelombang alternatif rock di AS benar-benar memengaruhi warna musik, tema lirik, penampilan panggung, dan berbagai atribut lain band-band rock di Indonesia. Band-band Tanah Air seperti Netral, Pas Band, dan Puppen adalah beberapa ”anak sulung” dari tahun 1991.
”Musik rock di Indonesia setelah 1991 menjadi lebih hidup. Konser-konser menjamur dan akhirnya banyak band yang merilis album. Gelombang musik alternatif itu memberikan masyarakat banyak pilihan. Ini lebih bagus, lebih demokratis, karena musik rock tidak monopoli standar lama saja,” kata Bagus.
Setelah Nirvana, Bagus berpendapat, belum ada lagi ”ledakan” dahsyat di AS atau Inggris sebagai barometer rock dunia. Band-band yang muncul kemudian, sekalipun banyak yang bagus, tetapi levelnya tidak serevolusioner Nirvana.
”Untuk pemusik di Tanah Air masa kini, ya terus berkarya dan bereksplorasi saja. Karya seni itu kan bebas. Musiknya mau bagaimana, bebas. Liriknya mau nyerempet ke politik atau persoalan sosial, bebas. Yang mau kehidupan sehari-hari atau cinta, juga bebas. Pokoknya bebas saja,” kata pria bernama lengkap Bagus Dhanar Dhana itu.
Marzuki Kill The DJ, menyatakan, tahun 1991 adalah chaos di dunia musik untuk mencari keseimbangan baru. Nirvana dan band-band grunge lain dengan etos mendobrak status quo merupakan arus perubahan yang akhirnya membentuk keseimbangan baru di industri musik dunia.
Dalam situasi itu, kesadarkan kolektif dari gerakan pendobrak menjadi vital. Sebab perubahan besar itu tidak bisa dilakukan sendiri melainkan harus menjadi gerakan kolektif sehingga berdampak dan akhirnya menciptakan keseimbangan baru.
Pola chaos yang mencari keseimbangan baru tersebut, Marzuki melanjutkan, pada dasarnya merupakan siklus peradaban manusia. Bahkan lebih dasar lagi, itu adalah siklus alam.
”Orang banyak lupa dengan teori chaos. Segala sesuatu yang teratur pada titik tertentu akan chaos. Saat chaos, orang-orang harus menyusun sesuatu yang baru untuk sampai pada keteraturan baru yang pada saatnya nanti juga akan menemukan chaos baru lagi. Demikian seterusnya,” kata Marzuki.
Pandemi yang tengah terjadi, dalam refleksi Marzuki, adalah juga siklus chaos. Oleh karena itu, kesadaran kolektif untuk menemukan keseimbangan baru sebagaimana terjadi dalam rock tahun 1991 menjadi penting. Kesuksesan menangani persoalan pandemi misalnya, tidak bisa dilakukan sporadis dan parsial melainkan sangat bergantung pada kesadaran kolektif masyarakat.
Merayakan 1991, pertama-tama memang urusan nostalgia. Namun sekali lagi, tak ada salahnya jika perjalanan ke belakang itu kemudian memberi sesuatu yang membantu kita melalui hari-hari pandemi yang sulit dan panjang ini.
Kalau sesuatu itu berarti menemukan kembali gairah perlawanan atau pemberontakan terhadap stagnasi, jadilah demikian. Kalau sesuatu itu berarti kesadaran atas chaos yang sedang mencari keseimbangan baru, jadilah pula demikian. Yang pasti, masyarakat butuh pandemi ini segera berakhir agar kehidupan bisa kembali. Dan sikap mental terbaik dalam situasi ini, bukan pasif dan reaktif, melainkan proaktif.
Atau kalau merayakan 1991 cukup sebatas urusan nostalgia musik tanpa harus dikait-kaitkan dengan pandemi atau embel-embel lainnya, pun jadilah demikian. Jadilah tahun 1991 apa adanya ; supernova ”ledakan” album-album kolosal dengan dentuman perubahan dahsyat di jantungnya yang menciptakan ”normal baru”. Dengan itu, rock kembali bercahaya dan menemukan makna baru.
Dan akhirnya yang terpenting dari itu semua adalah bahwa supernova 1991 telah mewarnai perjalanan hidup kita, pecinta rock di Indonesia yang tumbuh bersamanya. Sebab hidup itu, sebagaimana Kurt Cobain sampaikan pada wawancara dengan majalah Rolling Stone di 1992, tidak sekadar soal rock.
”Aku tidak menyalahkan umumnya anak-anak punk rock usia 17 tahunan yang mengecapku sebagai pengkhianat (karena menjadi tenar). Aku memahaminya. Dan mungkin ketika tumbuh nanti, mereka akan menyadari, ada hal-hal lain dalam kehidupan ini dari hanya sekadar menjalani identitas rock and roll-mu selurus-lurusnya,” kata Cobain. Salam 1991.