Meminimalkan Candu Selancar Gawai
Harus ada perubahan cara pandang dari upaya pembatasan atau pelarangan penggunaan gawai menjadi bagaimana memanfaatkan gawai untuk hal yang positif.
Pembelajaran jarak jauh membuat kehidupan digital menjadi keniscayaan bagi anak-anak di masa pandemi Covid-19. Jika dulu pembatasan atau bahkan penolakan gawai riuh didengungkan, anak-anak kini harus semakin mengakrabi aktivitas digital. Memanfaatkan gawai untuk hal yang positif lantas menjadi pilihan demi terhindar dari candu negatif gawai.
Berhubung putrinya gemar menggambar, Puji Rahayu (39), warga Tangerang Selatan, mengikutkan anaknya itu ke kelas-kelas daring yang berhubungan dengan dunia gambar. Sebelum pandemi, Milea (11), putrinya, menggunakan gawai hanya pada sore hari seusai sekolah. Penggunaannya dibatasi dengan sistem yang mati dengan sendirinya saat waktu habis.
Kini, penggunaan gawai tentu meningkat untuk belajar jarak jauh. ”Sekolah lewat gawai. Kadang ketemu teman-temannya lewat Zoom. Otomatis pakai gawai terus. Akhirnya sekalian aku ikutkan ke les-les lepas daripada mainan enggak jelas atau nonton yang enggak bisa dikontrol,” ujar Puji yang harus bekerja dari rumah semasa pandemi, Rabu (17/3/2021).
Milea mengambil beberapa kelas, seperti desain grafis, menggambar cat air, menggambar desain, hand lettering, fotografi, dan videografi. Awalnya, Milea ikut di Kelas Motret yang berlangsung sepekan via aplikasi Whatsapp dengan biaya Rp 100.000. ”Dia ambil kelas kids photography untuk beginner, lanjut intermediate, lalu advance. Di Kelas Motret dia juga pernah ikut kelas basic dan advance digital design,” ujar Puji.
Setelah itu dia mendaftarkan Milea di Mungilmu untuk menyalurkan hobi menggambar. Dengan harga paket Rp 75.000, Milea mendapat dua kali pertemuan via Zoom. Jadilah kini Milea sibuk menekuni laptop atau tablet untuk menggambar, menerapkan pengetahuan yang ia dapat di kelas-kelas daring tersebut.
Bahkan, Milea membuat karya desain logo pesanan teman-temannya. Ada logo nama atau logo gambar, ada juga gambar karakter di dalam logo tersebut. ”Untuk logo biasa, seperti nama, ongkosnya Rp 5.000. Yang agak rumit bisa Rp 40.000. Dia kerjakan desain yang mudah di sore hari, 1-2 jam. Desain rumit bisa dicicil beberapa hari. Lumayan, dapat uang jajan,” kata Puji.
Milea pun sekarang lebih sering menggunakan gawai untuk berbagai hal terkait hobi menggambar. Ketika berselancar sendiri di dunia maya, Milea, misalnya, mencari lebih jauh tentang cara membuat layer atau membuat font kreatif. ”Kalau enggak, ya, cari penjelasan seputar pelajaran yang dia belum terlalu paham saat dijelaskan guru di kelas daring,” ujarnya.
Titik bosan
Pengamat pendidikan dan sains, Indra Charismiadji, mengatakan, harus ada perubahan cara pandang dari upaya pembatasan atau pelarangan penggunaan gawai menjadi bagaimana memanfaatkan gawai untuk hal yang positif. Problem pemakaian gawai saat ini, lanjutnya, lebih terletak pada penggunaannya yang melulu hanya untuk keperluan hiburan. ”Padahal, gawai itu multitasking device karena bisa dipakai untuk belajar, berkomunikasi, dan banyak hal,” ujarnya.
Jika sekadar dipakai untuk hiburan, kecanduan gawai menjadi tak terhindarkan. Namun, ketika gawai dipakai berkarya, otomatis anak-anak akan mengalami titik lelah dan bosan jika harus terus menerus di depan gawai. ”Kuncinya, kalau dipakai untuk hal bermanfaat, otomatis akan berhenti sendiri dan akan mencari hiburan dari yang lain (selain gawai). Kita tidak terlatih menggunakan gawai sebagai alat berkarya,” tambah Indra.
Memperbanyak kegiatan positif bagi anak-anak secara daring juga dilakukan oleh ibu empat anak, Pramita Anindya (34). Pada awal 2021, putra sulungnya, Banyu (10), tiba-tiba meminta untuk mengikuti kursus bahasa Mandarin secara daring. Alasannya, Banyu bosan terus-menerus bermain gim. Sepekan kemudian hingga kini, Banyu sibuk mempelajari bahasa Mandarin setelah kelas sekolah daringnya selesai.
Bagi dua adik Banyu, yakni Athala (6) dan Amira (4), Mita menemukan kelas bermain daring yang fokus pada berbagai aktivitas di rumah. Athala juga ikut kelas menggambar dan kini lebih sibuk corat-coret di kertas dan sesekali di kanvas yang dikirimkan dari kelas menggambarnya tersebut.
”Lama-lama berhenti sendiri mereka main gawai karena capek katanya,” kata Mita yang merasa sedikit lega meski sesekali aktivitas main gim dan menonton Youtube tetap dilakukan anak-anaknya.
Pada awal pandemi, Mita tidak mengalami kesulitan karena anak-anak masih patuh pada jadwal penggunaan gawai yang diterapkan. Akan tetapi, memasuki bulan keempat pandemi, anak-anak mulai merasa bosan menghabiskan waktu di rumah.
”Dari Lebaran, kan, enggak mudik. Anak-anak juga protes, kok, mainnya itu-itu terus. Akhirnya lari ke handphone. Yang gede jadi ngegame terus. Adik-adiknya nonton Youtube di laptopku. Sampai yang nomor dua enggak mau sarapan sendiri kalau enggak nonton Youtube,” tuturnya.
Jadwal yang disusun pun tak berjalan lagi. Terkadang Mita dan suaminya berusaha bersikap tegas untuk mengembalikan penerapan jadwal, tetapi justru memunculkan konflik. ”Yang nangis lah. Yang teriak-teriaklah. Bapaknya pusing, aku juga pusing jadinya. Mana adiknya yang paling kecil ikut nangis. Wis kayak pasar. Ha-ha-ha,” ungkapnya.
Semua buku yang ada di rumah pun telah tuntas dibaca. Bahkan, belanja buku kemudian jadi kebiasaan baru. Akan tetapi, begitu paket buku sampai, dalam sehari saja buku itu bisa diselesaikan kedua anaknya yang telah lancar membaca. ”Sekali belanja itu bisa enam buku. Jadi, ya, seminggu sudah pada laporan kalau bukunya selesai,” kata Mita.
Aspek sosial
Karena sangat asyik dengan gawai, Salim Shahab (45) khawatir melihat anak-anaknya yang berusia 13 tahun dan 10 tahun menjadi sangat ”kecanduan”. ”Mereka jadi terus lihat (gawai), dan kita sebagai orangtua semakin khawatir karena kemudian kita melihat banyak sekali sisi negatifnya. Misalnya narasi-narasi yang dipakai. Kalau dulu kaget bilang ’astagfirullah’. Sekarang ’what the hack’. Hal-hal seperti itu, kan, bikin kaget. Apa yang jadi ’kiblat’ dia sekarang? Apa ’agama baru’ dia sekarang,” ujar Salim.
Begitu pula dengan aspek kehidupan sosial anak-anaknya. ”Hari ini lihat status, lalu lihat apa lagi. Mau shalat lihat lagi. Ini yang aku mikir, kalau dimarahi terus bahaya, enggak dimarahi aku takut. Makanya aku jadi polisi. Ketika dia tidur aku lihat apa yang dia lihat. Kan energi kita habis untuk itu,” papar Salim yang mengaku sampai kerap menangis menghadapi situasi sulit seperti itu. Begitu pula sang anak yang menjadi lebih sering ditegur dan dimarahi.
Tak ingin situasi itu terus berlangsung, Salim dan sang istri lalu mencoba mencari berbagai jalan keluar. Mulai dari membelikan banyak buku fiksi untuk dibaca, mereka juga mendorong agar penggunaan gawai menjadi lebih produktif.
”Paling tidak itu bisa melarikan dia dari gawainya. Aku juga suruh dia buat karya, aku iming-imingi hadiah. Ya, alhamdulilah dia lagi membuat komik, sudah sampai 40 halaman, juga mulai buat channel edukasi di Youtube. Itu yang lumayan mengobati kekhawatiranku,” kata Salim.
The New York Times dalam artikel berjudul ”Children’s Screen Time Has Soared in the Pandemic, Alarming Parents and Researchers” pada 17 Januari 2021 mengutip data dari Qustodio, sebuah perusahaan yang melacak penggunaan puluhan ribu perangkat oleh anak-anak usia 4-15 tahun di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, misalnya, anak-anak menghabiskan rata-rata 97 menit sehari di YouTube pada bulan Maret dan April, naik dari 57 menit pada bulan Februari, dan hampir dua kali lipat penggunaan tahun sebelumnya. Tren serupa juga ditemukan di Inggris dan Spanyol.
Artikel tersebut juga menyebut banyak anak di bawah usia 10 tahun menghabiskan waktu berjam-jam untuk gim seperti Fortnite, dan aplikasi seperti TikTok dan Snapchat. Sebuah aplikasi bernama Roblox, yang populer di kalangan anak-anak usia 9-12 tahun di Amerika Serikat, memiliki rata-rata 31,1 juta pengguna per hari selama sembilan bulan pertama tahun 2020 atau meningkat 82 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Anak-anak beralih ke layar karena mereka mengatakan tidak memiliki aktivitas atau hiburan alternatif yang kemudian menjadikan dunia digital sebagai tempat mereka berkumpul dengan teman.
Agar kehidupan sosial anaknya tak terganggu, Salim berinisiatif menggelar pengajian anak seminggu dua kali di kawasan rumahnya di Pasar Rebo, Jakarta Timur, dengan menerapkan protokol kesehatan. Salim melihat anaknya menjadi lebih bersemangat karena bisa bersosialisasi dengan anak-anak sebayanya. Sementara untuk anak keduanya, Salim dan istrinya mendorong untuk aktif membuat dan berjualan kue.
Solusi itu meredakan kekhawatiran Salim atas jeratan candu gawai terhadap anak-anaknya. Dia tetap berharap pemerintah mulai mempertimbangkan untuk membuka sekolah tatap muka. Misalnya dengan membuka sekolah seminggu tiga kali, membatasi jam pelajaran atau dengan mekanisme lain yang memungkinkan. Dia juga amat berharap anak-anaknya bisa kembali menikmati masa kanak-kanak yang normal.
Namun, apabila situasi tidak segera berubah, Salim berniat memasukkan anaknya ke boarding school seperti pesantren atau pindah ke kota yang telah memulai uji coba sekolah tatap muka seperti di Banyuwangi, Jawa Timur. ”Walaupun jauh dari anak melawan nuraniku atau di tempat baru aku harus beradaptasi lagi, tidak apa-apa,” kata Salim.
Seperti dikutip The New York Times, Keith Humphreys, profesor psikologi di Universitas Stanford yang juga seorang ahli kecanduan dan mantan penasihat senior Presiden Barack Obama tentang kebijakan narkoba, memprediksi akan ada periode penarikan dari layar digital yang epik yang akan dialami anak-anak ketika pandemi berakhir.
Namun, sebelum pandemi benar-benar berakhir dan anak-anak masih harus terpapar gawai secara luar biasa, mencari sisi positif pemanfaatan gawai menjadi salah satu cara yang perlu dipertimbangkan orangtua.