Anak, Orangtua, dan Jeratan Gawai
Peningkatan penggunaan gawai, kerap dikaitkan dengan kecemasan, depresi, obesitas, sikap agresif, sekaligus kecanduan pada medium itu sendiri. Situasi ini tak hanya mencemaskan orang tua, namun juga para ahli.
Sekolah daring dan pembatasan aktivitas selama pandemi Covid-19 berdampak terhadap ‘konsumsi’ gawai pada anak-anak. Situasi yang sulit, membuat orang tua kerap tak berdaya hingga terpaksa ‘merelakan’ anak-anaknya terperangkap jerat gawai.
Ketika dunia dikepung pandemi Covid-19, seluruh aktivitas berpindah ke rumah, termasuk sekolah. Anak-anak yang semula belajar di sekolah, harus beralih mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) melalui gawai.
Kondisi yang mengharuskan mengurangi keluar rumah, menjadikan aktivitas anak-anak di luar jam sekolah makin terbatas. Gawai, lagi-lagi menjadi ‘pelarian’. Di saat bersamaan, orang tua yang juga bekerja, tak bisa terus mengawasi aktivitas sang anak. Pelonggaran terhadap konsumsi gawai, tak bisa dielakkan.
Puji Rahayu (39), meski telah berupaya mengatur penggunaan gawai anak-anaknya, seringkali harus menyerah. Selama masa pandemi, Puji bekerja dari rumah, sedangkan suaminya bekerja di kantor.
Anak Puji yang berusia 11 tahun, meski berkegiatan dengan gawai, bisa lebih mandiri. Tetapi tidak demikian halnya dengan anak yang lebih kecil, Kinanti (4). “Saat awal pembatasan sosial, aku masih idealis. Pembatasan gawai tetap berlaku. Lama-lama, lantaran enggak ada tanda-tanda pandemi selesai, ditambah enggak ada yang bantu menjaga anak, jadilah pemakaian gawai lebih longgar,” tutur Puji, Rabu (17/3/2021) di Tangerang Selatan.
Setelah sekolah daring, Kinanti kadang masih bermain masak-masakan, lalu makan dan tidur siang. “Setelah itu dia nonton televisi. Ya, isinya HP juga, TV Android,” ujar Puji.
Puji kadang merasa bersalah, ‘menyerahkan’ anaknya pada gawai, sementara dia harus menyelesaikan pekerjaan kantor dari pagi hingga petang, kadang sampai malam. Belum lagi urusan pekerjaan rumah. “Lama-lama aku enggak sanggup. Kadang merasa bersalah, tapi gimana, aku tak berdaya,” imbuhnya.
Yosefa Imi (39) juga menghadapi situasi serupa. Selama pandemi, dia bekerja di kantor setiap hari hingga pukul 17.00. Anaknya, Edgar (6), sekolah dari rumah, ditemani suaminya yang bekerja dari rumah.
Sebelum pandemi, Edgar hanya boleh bermain dengan gawai setelah sekolah dan istirahat siang, selama 1-2 jam. Karena PJJ, pengunaan gawai meningkat pesat. Selain untuk sekolah, juga untuk menonton Youtube atau main gim.
Di semester satu, Edgar hanya diberi tugas lewat aplikasi. Tetapi ia baru bisa mengerjakan setelah Imi pulang kerja. “Jadi, pagi waktunya ‘luang’ banget. Akhirnya nonton TV dan main gawai,” katanya. Suaminya, lantaran harus bekerja, hanya bisa memastikan Edgar mandi dan makan.
Saat mulai pertemuan Zoom di semester dua, Edgar memanfaatkan jeda waktunya untuk bermain dengan mainan. Lama-lama ia bosan. “Pernah aku hentikan gawai seminggu. Hanya boleh untuk pelajaran. Seminggu itu dia isinya hanya ‘menghitung hari’,” keluh Imi.
Subitul Eriyana (43) pun terpaksa ‘melonggarkan’ aturan penggunaan gawai anak-anaknya. Sebelum pandemi, aturan penggunaan gawai sangat ketat. Kedua anaknya, usia 15 dan 7 tahun, tak memiliki telepon genggam. Mereka hanya boleh meminjam dari mama dan papanya, itu pun hanya di akhir pekan atau hari libur, maksimal 2 jam. Subitul tak mau anak-anaknya terpapar konten negatif.
Sejak pandemi, anak-anaknya, masing-masing menggunakan telepon genggam dan komputer untuk keperluan sekolah. Sering kali, usai sekolah, penggunaan gawai masih berlanjut. “Dengan adanya pandemi, anak-anak tak banyak aktivitas. Dan aku juga tak selalu di rumah. Jadi sering kebablasan,” keluh Subitul.
Meski tak menutup mata terhadap kebutuhan gawai anak-anaknya di masa pandemi, Subitul mencoba tetap membuat ‘pagar’. Dia membatasi penggunaan paket data. Koneksi internet nirkabel sudah lebih dulu dicabut. Dia juga jadi polisi gawai, mengecek jejak penggunaan gawai anak-anaknya. “Mau tidak mau,” katanya.
Siasat ekstra
Pada anak berkebutuhan khusus, tantangannya semakin besar. Tasya Nuarta (38) misalnya, harus ekstra bersiasat menghadapi anaknya, Teuku Amaradhi Wiphasya (9) yang mengidap cerebral palsy (hemiparesis dan hemianopsia).
Di awal pandemi, Amar yang menderita stroke sejak di kandungan dan mengalami kerusakan pada sebagian otaknya, sempat tantrum karena tugas daring menumpuk. Dari pagi hingga pukul 14:50, Amar harus belajar jarak jauh. Tugas yang menumpuk membuatnya belajar hingga pukul 21:00.
Sesekali ada jeda istirahat di jam sekolah, tetapi ia harus belajar dengan aplikasi yang begitu banyak hingga harus mengetik di depan komputer. Keterbatasan fisik membuat Amar hanya bisa mengetik satu tangan.
Di sela jam pelajaran yang padat paparan gawai, Amar bisa tiba-tiba mengeluh pusing lalu muntah. “Amar sampai bilang: aku ini bodoh! Karena frustasi. Kita lalu rapat bersama tim individual educational program dari sekolah. Lalu, ada pendampingan khusus dengan guru special need dan psikolog sekolah,” ujar Tasya.
Solusi ditemukan dengan memberi pendampingan tambahan bagi Amar. Untuk belajar spelling, dia diminta membentuk hurufnya menggunakan tepung sehingga lebih menarik. Sekolah juga mengajari meditasi. “Tiap kali kesal, Amar ingat pelajaran itu,” tambah Tasya.
Namun, Tasya tetap khawatir. Salah satunya pada kecakapan Amar karena bagian otak yang mengatur itu turut terdampak. “Berusaha memperbanyak bicara buat nambah memori tambahan untuk mengaktivasi memori kata,” ujarnya.
Berdasar survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terhadap 25.264 anak dari 34 provinsi di Indonesia, selama pandemi, sebanyak 76,8 persen anak diizinkan menggunakan gawai selain untuk keperluan belajar. Mereka menggunakan gawai untuk chatting, menonton Youtube, mencari informasi, media sosial, dan lain sebagainya. Mengutip artikel The New York Times, Children\'s Screen Time Has Soared in the Pandemic, Alarming Parents and Researchers, selama masa lockdown di Amerika Serikat, banyak anak menghabiskan waktu dengan bermain gim dan media sosial seperti Fortnite, Roblox, aplikasi seperti Tik Tok dan Snapchat.
Peningkatan penggunaan gawai, kerap dikaitkan dengan kecemasan, depresi, obesitas, sikap agresif, sekaligus kecanduan pada medium itu sendiri. Situasi ini tak hanya mencemaskan orang tua, namun juga para ahli. Anthony Miller dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Toronto Kanada, mengungkapkan, paparan frekuensi radio merupakan ancaman bagi anak-anak. Sering bermain gawai, juga berdampak negatif pada fungsi otak anak seperti gangguan belajar serta penurunan kognitif.
Begitu pun dengan ancaman konten negatif. Di Indonesia, berdasar temuan KPAI, 55 persen anak melihat tayangan dan iklan tak sopan melalui gawai, diperlihatkan atau dikirimi gambar tak sopan, 34,6 persen dikirimi foto tidak sopan, ditipu 25 persen, dan dikirimi video tidak sopan 23,1 persen.
Terkait hal itu, Ketua KPAI Susanto menuturkan, literasi orang terdekat anak harus menjadi perhatian untuk memastikan pantauan pada anak-anak. “Kita bisa saja meyakini anak aman karena di rumah, tapi ternyata, karena tak terpantau, rentan terpapar konten-konten membahayakan,” ujar Susanto.
Selain itu, juga peran guru dan platfrom media sosial. Komunikasi yang mengarah pada kejahatan harus dicegah. “Jangan hanya menyerahkan pada kontrol internal anak. Tapi juga peran korporasi, peran manajemen. Harus juga perbaiki sistem proteksinya agar anak tak rentan terpapar saat menggunakan gawai,” tutur Susanto.
Momen belajar
Bagi anak yang menjalani pendidikan homeschooling, kedisiplinan dan atmosfer belajar di tengah keluarga menjadi kunci, termasuk dalam penggunaan gawai. Seperti yang dilakukan Asrie Nadya (37), yang menjalankan pendidikan homeschooling bagi Makkiken (8), anak keduanya.
“Makkiken diberi kebebasan menggunakan gawai hanya Sabtu dan Minggu. Lamanya dibatasi 30 menit, boleh dibagi 10 menit sebanyak tiga kali pada Sabtu dan Minggu,” ujar Asrie.
Disiplin dan tak terlalu mengonsumsi gawai membuat Makkiken lebih terkontrol. Saat bermain dengan sebayanya, di mana acapkali gawai menjadi hal tak terpisahkan di antara mereka, Makkiken sering menghindar, karena tahu bukan saatnya main gawai. Pengalaman itu dituangkan dalam Jurnal Kemenangan Makkiken.
“Ketika menulis di Jurnal Kemenangan, ada refleksi dan komunikasi. Jurnal Kemenangan untuk menuangkan kemenangan-kemenangan hari itu dalam menghadapi potensi-potensi yang buruk,” ujar Asrie.
Menurut Buku Mind Power for Children karya John Kehoe dan Nancy Fischer, aktivitas belajar sebenarnya tak harus dipahami secara formal ketika sesi belajar daring atau saat anak-anak mengerjakan tugas. Tanpa harus dicari-cari, orangtua bisa menemukan celah momen tertentu yang bisa menjadi saat untuk belajar. Momen tersebut kerap kali “menyaru” dalam aktivitas sehari-hari.
Intinya adalah saat anak dalam kondisi reseptif, yakni bisa memberi perhatian penuh, siap mendengarkan, siap menerima “injeksi” pengetahuan. Menurut Michele Borba yang dikutip di buku tersebut, momen terbaik untuk mengajar atau mendidik biasanya justru bukan waktu yang direncanakan.
Psikolog remaja dan dewasa Ifa Hanifah Misbach mengungkapkan, sejumlah penelitian menunjukkan anak yang aktif menggunakan gawai memang jauh lebih tenang. Namun, jika dibiarkan akan berdampak buruk, terutama pada kecerdasan tubuh mereka. Di usianya, anak harus banyak bergerak untuk mempelajari dan mengeksplorasi lingkungan mereka.
“Kalau stres akibat anak terkungkung di rumah saat pandemi, orang tua harus cari solusi. Salah satunya dengan mengajak mereka bermain bersama atau aktivitas lain secara fisik. Bukan malah membiarkan main gadget lebih lama. Dari situ koneksi atau bonding secara emosional akan terbentuk,” ujar Ifa.
Solusi lain, mengajak anak mengembangkan kemampuan imajinasi mereka. “Kunci utamanya, antara anak dan orang tua, keduanya harus sama-sama lepas gadget lebih dahulu. Cari waktu-waktu untuk bisa bermain dan mengobrol bersama,” ujar Ifa.
Di masa pandemi, orang tua dituntut menguasai keterampilan baru seperti menjadi pelatih emosi dan menciptakan beragam kreativitas di rumah. “Walau melelahkan, tapi bukan tak mungkin. Manusia pada dasarnya cerdas dan mampu survive,” ujar Ifa.