Bacalah, maka Kamu Tak Sendiri
Membaca buku bukan saja membuat kita tak merasa sendirian, melainkan juga merawat performa otak kita.
Mereka yang menggandrungi literasi menemukan lagi kegembiraannya membaca buku. Waktu yang lebih senggang meleluasakan hobi menikmati bacaan-bacaan yang belum terjamah. Kegemaran pada pustaka ini terbukti bisa menambah kecakapan, menepis kesepian, dan meresapi keindonesiaan.
Ulasan buku Pagi yang Hilang, Jumat (6/3/2021), sungguh gayeng. Pewara siaran langsung lewat media sosial itu, Titan Sadewo (21), membahas antologi 76 puisi karya 21 siswa SMP dan SMA. Di sela-sela ketakjubannya akan permainan metafora, personifikasi, dan makna penyair belia, ia bersenda gurau dengan Mawardah (24).
Diskusi itu digelar komunitas Ngobrol Buku yang berbasis di Medan, Sumatera Utara. Sekonyong-konyong, jeritan bocah meningkahi pemaparan Titan. ”Anak-anak tetangga. Ah, bandel kali,” ujarnya disambut Mawardah, sukarelawan perpustakaan Padepokan Iqro, yang terpingkal-pingkal.
Maklum saja, mereka menggelar bincang-bincang dengan fasilitas yang amat bersahaja, tetapi kaya semangat. Setelah menenangkan kawan-kawan kecilnya, Titan mendeklamasikan ”Selimut Senja” kreasi Zahra Diva. Mawardah tak mau kalah dengan membaca Pagi yang Hilang karya Dini Awaliyah.
Pergelaran mingguan itu berlangsung satu jam hingga pukul 21.15. Seri bertajuk Mengenal Khazanah Sastra Indonesia tersebut sudah diselenggarakan lebih kurang 40 kali sejak Mei 2020. Setiap ditayangkan, jumlah penontonnya berkisar 300-400 orang.
Eka Dalanta (36) juga berkali-kali sudah memandu diskusi novel, puisi, dan cerpen tersebut. Sastrawan, penerbit, hingga peneliti digandeng untuk menggelorakan minat membaca. Sebagai pendiri Ngobrol Buku, sudah tentu ia termasuk yang paling antusias mengejawantahkan ajakan itu.
Waktu luang di rumah lebih banyak sehingga Eka semakin leluasa membaca. Warga Padang Bulan, Medan, Sumut, itu meraih buku-buku yang belum dibukanya. ”Kerjaanku enggak sebanyak saat normal. Aku mikir bagaimana mengisi waktu dengan kegiatan positif,” ujarnya.
Penulis lepas itu lalu melirik lagi daftar bukunya. Tak tanggung-tanggung, pada Januari 2021, misalnya, ia menghabiskan hingga 18 buku. ”Totalnya setebal sampai 4.988 halaman. Waktu Februari lalu, sembilan buku,” ujar Eka yang memiliki sekitar 1.100 buku itu.
Sebelum pandemi, perempuan yang juga bekerja sebagai konsultan lembaga media komunikasi itu hanya membaca tujuh buku per bulan. ”Kebanyakan, aku baca buku sastra. Macam-macam. Jepang, Latin, Korea, tapi kebanyakan Indonesia,” ujarnya.
Ia pun makin gencar menambah koleksinya. Eka bisa membeli hingga 10 buku per bulan sejak pandemi. Sebelumnya, dua buku saja per tiga bulan. ”Teman-teman juga kasih rekomendasi,” ucap Eka yang hobi membaca sejak kecil karena dibiasakan ayahnya.
Buku-buku yang baru ia baca antara lain Negeri Senja dari Seno Gumira Ajidarma, Little Women karangan Louisa May Alcott, dan Pada Sebuah Kapal karya Nh Dini.
”Maknanya buatku, selalu ada teman yang bercerita saat pandemi. Mereka itu tokoh-tokoh buku bacaanku. Bacalah buku, maka kamu tak sendiri,” katanya.
Inspirasi Indonesia
Seniman visual Jay Subyakto pun merasa beruntung punya lebih banyak waktu untuk membaca selama bekerja di rumah saat pandemi. Untungnya, ia sempat membeli banyak buku di pameran Big Bad Wolf pada awal tahun 2020.
”Jika di luar kota dan luar negeri, saya pasti ke toko buku,” ujarnya.
Buku yang ia koleksi umumnya tentang Indonesia, mode, fotografi, film, musik, arsitektur, dan seni rupa. Jay juga lebih banyak membaca buku tentang sejarah hingga seluk-beluk pandemi. Buku, bagi Jay, adalah bagian dari kumpulan kenangan yang menginspirasi. Buku yang menginspirasi Jay tentang Indonesia seperti seri Indonesian Heritage 1-10.
Ketika diminta berbicara di kampus, Jay menemukan generasi muda cenderung tak betah membaca. Akibatnya, mereka gampang terbawa berita bohong. ”Generasi sekarang mencari info lewat medsos sehingga hanya tahu permukaan, tapi tak detail. Buat saya, buku itu harus bisa dipegang. Dibaca. Bukan membaca di gawai,” kata Jay.
Bagi chef Fernando Suryono Sindu, pandemi juga menjadi saat perjumpaan kembali dengan kesenangan membaca. ”Saya mulai baca ketika pandemi. Dapat pelajaran baru. Banyak teknik masak baru yang ternyata saya sudah beli bukunya,” kata chef Nando, sapaannya.
Teknik itu umpamanya fermentasi. Buku tersebut dibeli dua tahun lalu. Buku lain yang dibaca tentang San Francisco Tartine Bakery yang dibeli tiga tahun lalu. Dari buku itu, ia belajar membuat sourdough di semua restoran yang dikelolanya.
Pandemi pun memberi keleluasaan bagi Laras (34) untuk kembali menghidupkan hobi membacanya. Sesaat setelah putrinya terlelap, pegawai swasta itu melahap berbagai buku.
”Jam 9-an (malam) sudah kriyep-kriyep, tuh. Habis dia tidur, aku baca. Kadang di sela kerja dan webinar, aku sempetin baca,” ungkapnya.
Saat pandemi mulai menghantam, ibu satu anak itu membaca ulang buku Agatha Christie. Namun, memasuki bulan puasa, ia bisa bablas terjaga hingga sahur. ”Aku jadi sadar ternyata punya sedikit buku Hercule Poirot. Akhirnya, nyari di marketplace. Murah. Beli, deh, sampai komplet,” tuturnya.
Memborong buku
Tutupnya taman bacaan di sejumlah kota membuat banyak buku dipasarkan di marketplace. Hanya dengan Rp 10.000, ia memperoleh buku incarannya. Walau bekas, buku masih layak dibaca. Alhasil, Laras memborong banyak buku sampai ia tak ingat lagi jumlah buku yang dibelinya sepanjang pandemi.
Novel-novel yang diadaptasi menjadi film juga disasarnya. ”Kan, suka muncul film baru, tuh. Biasanya diadaptasi dari novel. Ya, aku cari bukunya. Kayak Rebecca, aku cari di marketplace. Dapat dong novelnya, bekas dan terbitan tahun 1967. Buluk banget, tapi masih bisa dibaca,” ujarnya.
Saat kerja di luar rumah, mobilitas Laras yang tinggi untuk bertemu klien tak memungkinkannya membaca. Laras merasa membaca buku membantunya tetap waras dan menguatkan ikatan dengan anaknya.
”Kalau WFH (kerja di rumah), habis webinar atau ngontak klien, aku biasanya istirahat 1-2 jam baca komik sama anak. Sekalian pelampiasan, ha-ha-ha. Jadinya, lebih rileks,” ujar Laras.
Pentingnya tetap membaca buku dijelaskan dalam The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains yang ditulis Nicholas Carr dan diterbitkan WW Norton & Company tahun 2011. Ia menjelaskan, paparan internet dalam wujud piksel gawai terus-menerus membuat cara kerja otak dalam bernalar berubah signifikan. Kemampuan kognisi manusia malah mendangkal.
Paparan internet terus-menerus membuat kemampuan membaca secara komprehensif yang dalam, dengan daya fokus yang lama, justru tereduksi. Internet bukannya membuat kognisi otak manusia dengan kecerdasan rata-rata semakin canggih, malah sebaliknya. Manusia modern telah menitipkan kemampuan berpikir kepada mesin atau internet yang penuh distraksi. Oleh karena itu, kembali pada kebiasaan membaca buku secara fisik menjadi penting demi merawat performa otak kita.
Jadi, membaca buku bukan saja membuat kita tak merasa sendirian, melainkan juga merawat performa otak kita.