Penggunaan Ponsel Pintar Dorong Peningkatan Ekonomi Digital
Penggunaan ponsel menjadi salah satu faktor pendukung ekonomi digital. Nilai ekonomi digital di Indonesia pada 2025 diproyeksikan mencapai 124 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.784 triliun.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aminah (52) masih gagap menggunakan smartphone baru yang dibelikan anaknya secara kredit. Ponsel pintar tersebut jauh lebih canggih daripada ponsel tanpa internet yang ia gunakan selama bertahun-tahun. Ibu tiga anak itu masih terkagum pada kecanggihan tiga lensa kamera yang ada dan kecepatan ponsel mengakses internet.
Namun, alasan Aminah memegang ponsel pintar itu bukan hanya untuk gaya. Gawai bernilai jutaan rupiah tersebut diberikan untuk modal memulai usaha sebagai penjual kue daring. Dengan modal tersebut, usahanya diharapkan sang anak bisa lebih tenar dari sebelumnya.
”Anak saya bilang, ini buat modal buka usaha online (daring). Saya pun kemarin diajari download aplikasi dagang, aplikasi Whatsapp, media sosial, bikin e-mail, sampai foto-foto kue yang bagus dan benar untuk di-upload,” katanya saat dihubungi Kompas, Jumat (5/3/2021).
Selama hampir delapan tahun, Aminah hanya berjualan kue di lapak dekat daerah perkantoran di Jakarta Selatan. Ia juga kerap menerima pesanan untuk acara pesta. Namun, usaha dagangnya kini sepi karena adanya berbagai kebijakan pembataaan sosial. Omzet per bulan kini masih 50 persen dari omzet tahun lalu sebelum adanya pembatasan sosial di Jakarta.
Untuk itu, anaknya pun mendukung Aminah untuk berjualan secara daring melalui e-dagang dan media sosial. Memiliki ponsel canggih pun jadi aset untuk memulainya.
Pemerintah pun melihat peranan penting penggunaan ponsel pintar dalam mendukung kegiatan ekonomi digital. Hal ini seperti disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam rapat kerja dengan Kementerian Perdagangan, Kamis (4/3/2021).
Ia menyebut, dari total 272,1 juta penduduk saat ini, populasi ponsel sudah mencapai 338,2 juta. Artinya, setiap satu penduduk Indonesia sudah memiliki satu atau lebih ponsel. Dari keseluruhan ponsel tersebut, 60 persen adalah ponsel pintar, sedangkan 40 persen ponsel tanpa internet (feature phone).
”Ini masih menjadi tantangan. Kalau lebih banyak feature phone yang diubah ke smartphone, potensi ekonomi digital kita akan semakin besar,” ujar menteri perindustrian periode 2016-2019 tersebut.
Sampai 2020, nilai ekonomi digital Indonesia telah mencapai 44 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 633 triliun. Adapun pada 2025, nilainya diproyeksikan naik 23 persen mencapai 124 miliar dollar AS atau Rp 1.784 triliun. Selain dengan peningkatan pengguna internet, ini juga didorong dengan meluasnya pemanfaatan layanan e-dagang, transportasi dan pengantaran makanan daring, media daring, dan perjalanan daring.
Penjualan ponsel
Masa pandemi nyatanya tidak berdampak terlalu signifikan terhadap penjualan ponsel pintar. Laporan global perusahaan riset teknologi informasi Gartner, akhir Februari lalu, yang dikutip Kompas, memang menunjukkan adanya penurunan penjualan sebesar 12,5 persen sepanjang 2020 dan sebesar 5,4 persen di triwulan keempat tahun lalu.
Namun, Direktur Riset Senior Gartner Anshul Gupta melihat, penjualan lebih banyak ponsel pintar berteknologi 5G dan smartphone kelas menengah ke bawah meminimalkan penurunan pasar pada kuartal keempat tahun lalu.
”Bahkan ketika konsumen tetap berhati-hati dengan pengeluaran mereka dan menahan diri untuk membeli barang yang tidak perlu, peluncuran ponsel pintar 5G dan fitur-fitur pro-kamera baru masih mendorong masyarakat untuk membeli ponsel baru atau mengganti ponsel mereka dengan yang lebih berkualitas,” katanya.
Peluncuran seri 5G iPhone 12, misalnya, membantu Apple mencatatkan pertumbuhan dua digit pada kuartal keempat tahun 2020. Apple melampaui Samsung untuk merebut kembali posisi vendor ponsel pintar global nomor 1, yang terakhir disabet pada triwulan keempat 2016. Sementara Samsung mengalami penurunan tahunan sebesar 14,6 persen pada tahun 2020.
Sampai 2020, nilai ekonomi digital Indonesia telah mencapai 44 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 633 triliun. Adapun pada 2025, nilainya diproyeksikan naik 23 persen mencapai 124 miliar dollar AS atau Rp 1.784 triliun.
Samsung bersaing ketat dengan vendor ponsel pintar regional, seperti Xiaomi, Oppo, dan Vivo, yang tumbuh lebih agresif di pasar global. Adapun Huawei mencatatkan penurunan tertinggi di antara lima besar vendor ponsel pintar akibat adanya larangan penggunaan aplikasi Google di ponsel pintar tersebut.
Di Indonesia, ponsel Vivo dan Oppo bersaing ketat menguasai pasar ponsel di Indonesia pada triwulan akhir tahun lalu. Laporan pengiriman ponsel pintar global Canalys mencatat, Vivo menjadi penguasa pasar dengan pangsa pasar 25 persen. Pada periode tersebut, merek ini tak mengalami pertumbuhan ataupun penurunan dari hal pengiriman ponsel pintar. Sementara itu, Oppo dengan pangsa pasar 24 persen mengalami penurunan 9 persen.
Di urutan ketiga, ada Xiaomi dengan pangsa pasar 15 persen yang mengalami penurunan 7 persen. Diikuti Realme yang menempati posisi keempat dengan pangsa pasar 15 persen yang guru 1 persen. Lalu, ada Samsung pemilik pangsa pasar 14 persen yang mengalami penurunan paling dalam sebesar 45 persen.
Miranda Warokka selaku IT & Mobile Marketing Director Samsung Indonesia menyebut, kendati kebutuhan akan ponsel secara umum meningkat selama pandemi, penjualan ponsel Samsung cukup terdampak dengan banyaknya penutupan outlet karena pembatasan sosial. Kondisi ini juga menurunkan pembelian secara kredit menggunakan kartu kredit.
Untuk itu, penjualan daring menjadi salah satu solusi. Baru-baru ini, Samsung melalui unit bisnis Samsung Finance bekerja sama dengan penyedia layanan peminjaman daring Kredivo untuk menghadirkan fasilitas kredit yang menarik, seperti bunga cicilan di bawah 3 persen dan cicilan tanpa uang muka.
”Kerja sama ini agar keputusan membeli masyarakat bisa lebih cepat. Apalagi, saat ini trennya banyak orang berbelanja gawai secara daring,” ucapnya dalam acara peluncuran kerja sama secara virtual, Jumat (5/3/2021).
General Manager Kredivo Lily Suriani mengakui, pandemi pada 2020 tetap meningkatkan permintaan pembiayaan pembelian gawai hingga dua kali lipat, terutama transaksi yang berbasis daring. Hampir 30 persen sampai 40 persen dikontribusi pesta belanja daring nasional, khususnya pada triwulan akhir tahun lalu.
”Di 2021, kami memproyeksikan ada peningkatan hingga 2 sampai 3 kali lipat dari tahun 2020,” ujarnya. Sementara itu, Kredivo memastikan agar rasio kredit macet tetap terjaga dengan memperhatikan kemampuan peminjam.