Mode bertransformasi di masa pandemi Covid-19 ini. Menjadi lebih sederhana, semakin mengutamakan kenyamanan meski tetap bergaya demi menjaga suasana hati.
Oleh
Riana A Ibrahim
·5 menit baca
ARSIP PURANA
Koleksi mini Purana x Agan Harahap 2020
Setahun sudah beragam pembatasan fisik diterapkan dengan asa mengendalikan pandemi Covid-19 yang menghantui. Di tengah keterkungkungan yang mengikat ketat, kehidupan mode tanah air pelan tetap berdenyut. Belakangan pelaku mode menemukan daya dobraknya lewat kesederhanaan yang membebaskan dari siluet longgar serba nyaman.
Siapa yang menyangka piama mampu menemukan tempat lain di luar rumah, bahkan di luar kamar tidur? Bukan hanya piama, terusan longgar sampai sweatpants berpadu kaos atau kemeja kedodoran yang dikelompokkan sebagai jenis baju santai (loungewear) mendadak eksis. Mematahkan prediksi tren mode 2020 yang telah diteropong sejak akhir 2019.
Keharusan berada di rumah saja selama pandemi dan belitan ekonomi memang jadi alasan banyak orang berpikir ulang untuk berbelanja pakaian. Riset McKinsey & Company pada September 2020, tak banyak berubah dengan temuan pada April 2020. Sebagian besar orang di beberapa negara, termasuk Indonesia, memilih mengurangi pembelian pakaian.
Namun, ada derivasi dari perilaku konsumsi ini. Orang-orang masih berburu baju santai. Jika ditelusuri, banyak jenama yang terbukti kebanjiran pesanan karena mengedepankan desain yang nyaman dan mengusung fleksibilitas. Tak hanya di Indonesia, tetapi juga di banyak negara.
Baju santai pun seakan naik kasta. Walau bersiluet longgar dan kadang kedodoran, bukan berarti berkesan lusuh dan serampangan. Spirit bergaya tentu tak bisa dilepaskan jika berkaitan dengan dunia mode. Lagipula tetap trendy di rumah dengan potongan nyaman nyatanya mampu memperbaiki suasana hati yang dilanda bosan sepanjang di rumah saja.
Kompas/Hendra A Setyawan
Pendiri Sare Studio, Cempaka (kanan), melakukan kontrol kualitas produksi home dress alias baju rumah miliknya di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Selasa (30/6/2020). Sare Studio memulai produksi home dress sejak 2015, yang kini menjadi tren di tengah wabah Covid-19.
Salah satu jenama Indonesia yang terus berkreasi dan banyak jadi incaran adalah Sare Studio. Cempaka Asriani dan Putri Andam Dewi membesut baju rumahan berbahan rayon yang adem dengan model piama dan night dress multifungsi.
Atasan piama berbentuk kemeja dengan motif dan warna menarik, tetap cocok dikenakan saat rapat daring. Night dress juga dapat dipadukan untuk dipakai keluar rumah saat ada keperluan mendesak.
Perancang busana Musa Widyatmodjo bahkan menjuluki rancangannya berupa rok terusan longgar dengan sentuhan garis lurik sebagai "daster couture", karena tetap tampil cantik dari pinggang ke atas meski berbahan adem. Serupa dengan desainer Lia Mustafa yang juga beranjak mengembangkan pakaian rumah bermotif batik.
ARSIP LABEL M BY MUSA 03-07-2020
Baju rumahan karya desainer Musa Widyatmodjo.
Koleksi Purana lewat Direktur Kreatif Nonita Respati pada 2020 juga didominasi tampilan seperti jumpsuit, terusan, vest, atasan, kimono two-ways, dan celana. Potongan longgar dengan kemudahan padu padan yang digarisbawahi semangat kenyamanan menjadi benang merah koleksinya.
Jenama lain seperti Cotton Ink, Calla The Label, dan SVH yang memang akrab bermain warna dan motif, tetap pada jalurnya, tetapi juga bereksperimen dengan siluet longgar, baik untuk atasan, bawahan, dan terusan. Cotton Ink bahkan juga menambahkan masker kain bermotif playful yang dapat menyempurnakan penampilan di era normal baru.
Masker memang jadi kebutuhan esensial kini. Bisnis mode pun menyesuaikan keadaan. Di dalam negeri, ada juga ATS The Label yang bermain warna dan motif ceria untuk masker dengan memanfaatkan sisa kain yang ada. Sementara itu, para desainer juga meluncurkan koleksi busana yang sepaket dengan masker.
Mel Ahyar, misalnya, menyandingkan masker cantik dengan koleksi busana yang dirilisnya. Sejalan juga dengan Rama Dauhan. Meski mengambil dari kain untuk pembuatan koleksi busana mereka, kenyamanan masker diutamakan, selain syarat keamanan. Masker besutan para desainer ini bermain motif print, dan menghindari payet atau manik-manik berlebihan yang justru membuat masker tak fleksibel.
ARSIP MEL AHYAR 06-04-2020
Produksi Mel Ahyar
Tak berhenti pada masker, ada juga desainer seperti Anggia yang melebarkan sayap menciptakan pakaian luaran yang aman, tetapi tetap nyaman. Dengan memilih bahan katun tebal, Anggia mendesainnya menjadi gaun terusan kasual yang mirip gamis, blus, atau tunik bergaya androginy sporty.
Terusan panjang yang dibuat longgar dan gombrang ini tahan air. Untuk kesan cantik, dipilih detail berupa perca dan permainan kombinasi motif.
Berkelanjutan
Selain perubahan gaya, perubahan perilaku konsumen karena pandemi juga membawa pada suatu babakan yang sejak lama berusaha digaungkan pelaku mode, yakni mode berkelanjutan. Penggunaan kain sisa, daur ulang, bongkar pasang busana, hingga multifungsi melalui banyak tampilan makin jamak dilakukan para desainer, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Salah satunya, desainer Aldre Indrayana yang menghadirkan konsep daur ulang dari koleksi lama atau busana yang tidak lolos kontrol kualitas dari banyak merek. Aldre memang telah menjalankan konsep upcycled atau daur ulang ini sebelum pandemi. Tak hanya melahirkan koleksi, ia juga bersedia mengubah tampilan busana milik pelanggan agar terlihat baru atau tetap bisa dikenakan.
Padu padan seperti yang dilakukan Purana kini juga makin membudaya. Hanya dengan beberapa item pakaian, tetapi mampu menciptakan banyak gaya. Ini jelas bermanfaat mengurangi limbah busana yang berpotensi merusak alam. Seiring perubahan perilaku di kala pandemi yang mengurangi pembelian pakaian, konsep padu pada kian relevan.
Tak sedikit pula yang jadi makin kreatif. Atasan piama, misalnya, dapat berubah jadi luaran dipadukan dengan kaos tak berlengan. Terusan tak berlengan juga bisa disatukan dengan kaos atau kemeja, atau kemeja dijadikan luaran.
Jenama besar luar negeri pun bergerak ke arah yang sama. Sebut saja Louis Vuitton, Dior, Etro, Fendi, hingga Prada. Lewat panggung pagelaran mode kelas dunia yang kini juga berubah wajah menjadi pertunjukan virtual, kreativitas para desainer diuji tak hanya membesut pakaian tetapi menuangkan dalam konsep presentasi virtual yang tak hanya dapat dihadiri para undangan tetapi juga ditonton lintas negara tanpa mengenal kelas.
Dalam artikel “This is Not The End of Fashion” yang terbit di The New York Times, mode dipandang sebagai penanda kemunculan era baru. Salah satunya kala pandemi. Masa traumatik ini menantang orang bertahan dengan kreatif dan memunculkan gaya baru sebagai pengingat sebuah masa.
Ya, mode memang tengah bertransformasi. Lebih sederhana, lebih longgar. Karena mode untuk diperuntukkan bagi siapa saja.