Anak Hijau Bertunas, Mekar di Hati
Kebutuhan manusia untuk mengasuh (nurturing) sebagai bagian dari sifat alami juga akan terpenuhi karena tanaman termasuk makhluk hidup yang kita rawat agar tumbuh dan berkembang.
Pandemi rupanya menyuburkan hasrat pada tanaman hias. Kecintaan ini tercermin dari meroketnya harga tanaman hingga ratusan juta rupiah. Namun, bagi pecinta tanaman sejati, tren bukan segalanya. Dalam proses merawat ”anak-anak hijau” ini, si empunya justru belajar menjalani hidup yang lebih berkesadaran.
Dokter gigi Dyah G Savitri Wirahadikusumah yang akrab disapa Vivi dilanda panik ketika tiba-tiba tanaman Monstera deliciosa miliknya loyo pada Oktober lalu. Tanaman yang merupakan kado ulang tahun dari seorang sahabat itu lantas segera dievakuasi dan dititipkan ke pecinta tanaman lain.
”Sudah frustrasi. Sudah ganti media tanam, sudah nanya kesana kemari, saya nyerah. Sudah hopeless, nekat aja dititipin. Walaupun dia bukan tanaman sultan tapi langsung dibawa nginap semalem di antara tanaman sultan yang lagi dititipin juga,” ujar Vivi, pendiri Medic One Indonesia, sebuah layanan emergency medical services (EMS), Kamis (25/2/2021).
Tanaman ”sultan” seperti disebut Vivi adalah julukan bagi tanaman hias dengan harga selangit. Dititipkan di antara tanaman ”sultan” itu, Monstera deliciosa milik Vivi segera dirawat dengan ganti media tanam dan diberi serum. Seusai dititipkan, tanaman tersebut bisa bertahan hidup, tetapi terlihat hanya sekadar hidup.
Vivi kemudian mencoba belajar tentang habitat asli Monstera deliciosa. Dari proses pengenalan terhadap kelembaban hingga cahaya yang dibutuhkan, ia memutuskan memindahkan posisi pot dari tempat yang awalnya enak dipandang mata ke tempat yang lebih tersembunyi dan lembab menyerupai habitat asalnya di hutan.
Hasilnya, Monstera deliciosa itu terlihat lebih bahagia dengan memamerkan tunasnya. ”Dulu lihat orang ngomong ama tanaman. Tapi tanpa disadari, lama-lama saya ngomong juga. Memang tidak dibuat-buat. Kayak ngecek ke anak. Dan saya rasa ada respons. Saya bukan orang yang tahu metafisika. Ngerasa dirawat, saya merasa jadi tumbuh jauh lebih bagus,” tambah Vivi.
Tak hanya Vivi yang menitipkan tanaman tercintanya ke orang lain yang dinilai lebih pakar, beberapa sahabatnya justru menjadikannya rujukan penitipan untuk tanaman hias jenis keladi. Beberapa sahabatnya bahkan memintanya mengasuh keladi-keladi yang sedang sakit hingga cukup besar dan kuat.
”Kalau sakit, tanaman harusnya ditaruh di green house. Akhirnya belajar bikin green house dari lemari plastik, tanaman yang loyo yang perlu disungkup, saya taruh di situ,” kata Vivi yang tinggal di kawasan Pangkalan Jati, Depok, Jawa Barat.
Nilai kehidupan
Soal titip-menitip tanaman sakit ini, pencinta tanaman yang juga salah satu pendiri bisnis desain taman, Plant Your Plan, Rafii Putra Wedaswara memilih hanya memberi layanan jasa konsultasi.
”Kalau nitip, kadang kita melibatkan perasaan. Dirawat jadi bagus jadi ada rasa memiliki dan susah melepas,” ujar Rafii.
Saking sayangnya pada tanaman hias pula, Vivi sering kali bingung dan tidak tenang jika harus pergi ke luar kota. Relasi yang demikian personal muncul karena persentuhan yang cukup intens dari sejak pertama kali bercocok tanam pada awal pandemi Covid-19. Dari proses merawat tanaman hias pula, Vivi mengaku belajar banyak tentang nilai kehidupan.
”Pandemi terasa enggak enak karena ketidakpastiannya. Dengan hobi tanaman, jadi belajar mempertahankan harapan. Kayak ada yang ditunggu. Pagi lihat dia bertunas. Kayak tahu hari ini personal achievement saya apa? Saya jadi happy dan excited karena ada sesuatu yang baru setiap hari,” tambah Vivi yang menyukai tanaman yang gagah seperti kuping gajah serta tanaman dengan urat kokoh yang dipujanya dengan julukan: ganteng banget!
Pencinta tanaman hias Lewi Cuaca juga menemukan kepuasan dan kegembiraan ketika melihat tanaman ”asuhannya” tumbuh indah maksimal. Hati yang puas dan gembira diyakininya sungguh membantu di masa pandemi seperti sekarang.
”Yang namanya tanaman dan keindahan itu sebetulnya juga bisa menjadi semacam resep obat. Enggak harus chemical, oksigen yang melimpah, tanaman yang sedap dipandang mata, semua juga bisa jadi obat. Saya lagi perjuangkan, janganlah tanaman hias ini sekadar dijadikan tren saat orang lagi stres di rumah saja,” ujar Lewi saat ditemui Kamis (25/2/2021).
Jika hanya mengikuti tren, orang lebih fokus pada jenis dan nilai suatu tanaman hias. Padahal tanaman hias yang bagus tak harus selalu mahal. ”Kalau orang sudah suka tanaman hias, dia tidak akan lagi cuma melihat harganya. Dia akan juga selalu berusaha untuk memeliharanya,” kata Lewi.
Di kantor sekaligus kafe miliknya, Lewi’s Organics Café, di kawasan Pondok Kacang, Tangerang Selatan, Lewi memajang ratusan jenis tanaman hias. Kebanyakan tanaman hias di area kantor dan kafenya itu adalah hasil kawin silang kreasi Lewi yang adalah seorang pemulia tanaman (breeder) alumnus Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung.
Nilai ekonomis
Kawin silang itu menghasilkan pohon dengan corak dan warna daun baru. Beberapa daun memiliki beragam varian warna ”menyimpang” alias variegata. Tanaman hias variegata seperti itu kerap bernilai ekonomis tinggi lantaran dianggap punya keunikan seperti daun yang seharusnya hijau, berubah warna menjadi seolah albino.
Awalnya hobi menanam tanaman hias ini tidak dikomersilkan. Namun, seiring tingginya permintaan, Lewi yang juga pemilik perusahaan agrobisnis berkapasitas ekspor, Profil Mitra Abadi (PMA), ini juga menjual tanaman hias dengan rentang harga mulai dari Rp 200.000 hingga Rp 125 juta per tanaman.
Bagi Penulis dan pencinta tanaman hias Swastika Nohara, kecintaannya pada tanaman hias lebih berpusat pada rasa kepuasan dan kebahagiaan saat berhasil merawat tanaman tersebut sehingga tumbuh dan berkembang dengan baik. Ketika melihat tunas kecil atau daun baru menggulung, dia merasa telah melakukan sesuatu dengan benar.
Ketika tren tanaman hias melanda, Swastika yang mulai memiliki tanaman hias sejak 2016 melirik lagi beberapa belas pot tanaman hias miliknya. Dia pun sering mengunggah ”anak-anak hijau” itu ke media sosial dan mengundang banyak pesan pribadi yang bertanya berbagai hal soal tanaman hias. Dalam sehari, bisa masuk puluhan pesan pribadi meminta rekomendasi, nasihat, dan jawaban atas persoalan tanam-menanam.
Swastika dengan fasih bisa memberikan jawaban lantaran dia selalu mencari tahu tanaman hias yang hendak dirawatnya. ”Saya akan cari di Google tentang nama asli tanaman, bukan nama ala abang-abang lapak tanaman. Dengan begitu, saya tahu seperti apa habitat aslinya dan sebisa mungkin menghadirkannya,” ungkap Swastika, saat dihubungi Senin (22/2/2021).
Untuk memperluas pengetahuan dan berbagi dengan sesama pencinta tanaman hias, Swastika dan teman-temannya membuat wadah bernama Geng Ijo. Selain bertukar pengalaman, kiat, dan koleksi, mereka juga menggelar live sale yang kini marak di Instagram.
”Beberapa koleksi kita lepas. Satu orang 5-10 pot, dikumpulkan jadi banyak lalu dijual lewat live sale. Ramai banget, antusiasmenya luar biasa. Sebagian uangnya kami donasikan,” ujar Swastika.
Merawat tanaman hias, menurut psikolog klinis Dessy Ilsanty, memiliki banyak dimensi yang mendatangkan manfaat positif. ”Kita dilatih menjadi berkesadaran karena merawat tanaman hias, dan berkebun pada umumnya, perlu fokus. Ketika fokus, kita bisa melupakan hal tidak penting lainnya yang cenderung memicu stres. Dengan berkebun, kita tidak jadi overthinking karena perhatian teralihkan untuk hal-hal yang lebih produktif,” paparnya.
Kebutuhan manusia untuk mengasuh (nurturing) sebagai bagian dari sifat alami juga akan terpenuhi karena tanaman termasuk makhluk hidup yang kita rawat agar tumbuh dan berkembang. Dari situ muncul pula rasa kepemilikan, karena kita merasa menjadi sosok yang berguna.
”Ketika merawat tanaman dengan benar, jadi tumbuh dan berkembang, bisa jadi sumber self-esteem. Ada pencapaian yang bisa kita banggakan,” tambah Dessy.
Ada juga pelajaran tentang penerimaan saat merawat tanaman hias. Kita bisa terlatih menerima keadaan di luar kontrol diri. Kita sudah berusaha memberi tanaman yang terbaik, tetapi tetap harus berserah pada kuasa alam. Kegiatan fisik saat berkebun, misalnya badan bergerak, bersentuhan dengan alam, terpapar sinar matahari, juga berdampak pada kesehatan.
Namun, Dessy mengingatkan, ada sisi negatif yang perlu diperhatikan. Misalnya latah memelihara tanaman hias karena tren tanpa diimbangi dengan upaya untuk merawat sebaik mungkin. Kita pun harus pandai-pandai berpindah fokus, tidak boleh terlalu terpaku pada tanaman hias sampai melupakan hal lain yang harus dikerjakan.
Cinta pada tanaman hias hendaknya bervibrasi menumbuhkan energi positif dalam setiap aspek kehidupan.