Digitalisasi dan Inovasi, Industri Mode Menentang Aral
Tahun 2021 diperkirakan masih jadi tahun yang berat bagi industri mode secara global. Sejumlah upaya ”berdamai” dengan kondisi pandemi Covid-19 terus dilakukan, seperti melalui inovasi produk dan digitalisasi.
Oleh
sekar gandhawangi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri mode sempat terpuruk saat pandemi Covid-19. Sejumlah peragaan busana dihentikan, penjualan produk mandek akibat daya beli masyarakat yang melemah. Selama pandemi Covid-19, mode bukan prioritas publik karena uang yang ada dipakai untuk kebutuhan yang lebih primer.
Perlahan, pelaku industri mode bangkit. Mereka yang bangkit mempunyai beberapa kesamaan, yaitu menggunakan teknik berjualan daring dan melakukan inovasi produk sesuai kebutuhan pasar.
Pemilik dan Chief Marketing Officer Geoff Max Footwear, Yusuf Ramdhani, mengatakan, ia telah berjualan daring di salah satu marketplace sejak 2018. Saat pandemi menghadang, ia tidak terlalu kesulitan memindahkan dagangan dari toko fisik ke daring. Jualan daring dilakoni untuk melayani konsumen yang ingin belanja, tetapi khawatir terpapar Covid-19.
”Selain itu, saya pikir diversifikasi produk sesuai kebutuhan pasar itu penting. Mulanya, kami fokus (ke produk) sepatu, lalu kami coba kembangkan ke sandal. Target pasar kami menyukainya karena relate (berkaitan) dengan keadaan saat pandemi,” ujar Yusuf pada pertemuan daring, Selasa (23/2/2021).
Ria Miranda, perancang busana dan direktur kreatif jenama busana RiaMiranda, mengatakan, ia harus mengatur ulang strategi pemasaran selama pandemi. Agar hasilnya optimal, ia meminta saran dari konsumen dengan mengadakan pertemuan daring.
Menurut dia, pelaku industri mode harus melek pada tren yang tengah digandrungi. Ia pun responsif menjawab kebutuhan pasar sesuai tren. ”Misalnya, saat ini ada tren berkebun dan berolahraga. Maka, busana yang sesuai dibuat. Seru sekali ketika realisasi ide baru direspons baik oleh konsumen,” kata Ria yang menjajal teknik penjualan live shopping (belanja melalui siaran langsung).
Tergantung penawaran
Desainer sekaligus Ketua Indonesia Fashion Chamber (IFC) Ali Charisma berpendapat, publik tetap ingin berbelanja walau daya beli tidak sekuat sebelum pandemi. Minat belanja ini sangat dipengaruhi inovasi pelaku industri mode. Semakin menarik penawaran yang diberikan, semakin besar peluang produk terbeli.
Menarik minat publik tidak melulu melalui inovasi produk, tetapi juga bisa dengan pesan yang disisipkan pada produk. Produk yang menuturkan cerita (storytelling) dapat menjalin kedekatan dengan konsumen. Salah satu cerita yang sedang berkembang adalah soal mode berkelanjutan.
”Saat ini, di Indonesia, orang mulai sadar dengan mode berkelanjutan. Di acara pergelaran busana, ada orang-orang yang bertanya soal proses pembuatan produk, apakah karya ini ramah lingkungan atau tidak, dan lainnya,” ucap Ali.
Menurut dia, tren upcycle atau merombak busana lama menjadi baru bakal mempunyai peluang bagus pada tahun ini. Selain cukup mudah, hal ini tidak perlu modal besar. Upcycle bisa jadi tantangan baru industri mode.
Selama pandemi Covid-19, mode bukan prioritas publik karena uang yang ada dipakai untuk kebutuhan primer.
Ali juga memperkirakan bakal ada banyak diskon mode di 2021. Para pelaku industri akan mengeluarkan stok produk lama agar mereka dapat membuat produk baru yang sesuai kebutuhan terkini, seperti membuat pakaian sporty dan santai.
Berdasarkan analisis dari McKinsey Global Fashion Index, keuntungan industri mode merosot 93 persen di 2020 dibandingkan pada 2019. Tahun 2021 pun diprediksi masih akan menjadi tahun yang berat. Namun, ada momentum positif yang bisa dimanfaatkan, seperti pergeseran perilaku belanja publik dari luring ke daring.
Ini sesuai laporan The State of Fashion 2021 oleh McKinsey and Company serta Business of Fashion. Laporan itu memprediksi pertumbuhan digital sebesar 20 persen pada 2021 dibandingkan pada 2020.
”Mengingat kinerja kanal digital yang menonjol, kami perkirakan (penjualan melalui kanal) digital akan tetap menjadi ’raja’ pada tahun ini,” kata CEO Business of Fashion Imran Amed dan kawan-kawan melalui keterangan tertulis.
Prediksi kinerja industri mode di masa mendatang dibagi dalam dua skenario. Pertama, pada skenario optimistis, penjualan barang mode secara global akan turun 0-5 persen di 2021 dibandingkan pada 2019. Skenario ini berlaku apabila virus korona berhasil ditekan dan ada transisi yang relatif cepat ke pemulihan ekonomi. Industri mode diperkirakan mulai pulih di kuartal III-2022.
Pemulihan industri mode di skenario kedua lebih lambat. Di skenario ini, penjualan mode turun 10-15 persen dibandingkan pada 2019. Ini terjadi apabila penyebaran Covid-19 terus meluas. Industri diperkirakan baru bisa pulih di kuartal IV-2023.
Saat ini ada tren berkebun dan berolahraga. Maka, busana yang sesuai dibuat. Seru sekali ketika realisasi ide baru direspons baik oleh konsumen.
Di kedua skenario itu, kondisi sulit industri mode masih bertahan hingga tahun depan. Penutupan toko fisik, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan kebangkrutan diperkirakan masih terjadi.
Sebanyak 20.000-25.000 toko di Amerika Serikat diperkirakan tutup di 2020. Angka ini dua kali lebih banyak dibandingkan pada 2019. Adapun brand Nike menyatakan bakal melakukan percepatan strategi digital. Ini bakal menyebabkan PHK. Brand Zara juga berencana menutup 1.200 toko, kemudian mengalihkan investasi ke toko daring.
”Tidak ada panduan yang sederhana dan baku untuk menghadapi situasi ekstrem yang dihadapi industri ini. Perusahaan mode mesti merancang strategi mereka sendiri agar sesuai prioritas, paparan pasar, dan kemampuan masing-masing. Prinsip kunci mengelola perubahan adalah fleksibilitas dan kelincahan, disertai ketahanan operasional,” tulisnya dalam laman resmi Business of Fashion.