Semprotkan Dulu Parfummu...
Selain nilam dan gaharu, Indonesia juga dikenal produsen parfum dunia sebagai penghasil minyak asiri cengkeh, pala, cendana, akar wangi, hingga ambergris. Tak heran identitas Indonesia kerap dijadikan nama parfum dunia.
Dalam botol mewah menawan, racikan wangi oriental dikemas dengan nama "Gajah Mada”. Inilah parfum keluaran Lubin, butik parfum di Perancis yang berdiri sejak tahun 1798. Dahulu kala, Josephine berlangganan parfum di situ. Ia adalah istri Napoleon Bonaparte, sang kaisar Perancis.
Nama parfum Gajah Mada menjadi bentuk rekognisi dunia terhadap Indonesia sebagai pemain penting di industri parfum global. Hanya saja, baru kini jenama parfum lokal muncul meruyak di Tanah Air.
Dalam situs Lubin tertera, parfum Gajah Mada yang diluncurkan tahun 2019 merupakan karya perfumer alias perancang parfum Delphine Thierry. Ia terinspirasi dari sosok Gajah Mada, panglima perang di era Kerajaan Majapahit. Aroma parfum Gajah Mada menguarkan wewangian eksotis yang lapis-lapis di antaranya bunga kamboja (frangipani), nilam (patchouli), cendana (sandalwood), dan resin benzoin.
Itu baru di Perancis. Lain lagi di London, Inggris. Sebuah butik niche perfume lainnya, yaitu Molton Brown, tahun 2011 sempat mengeluarkan parfum koleksi terbatas bernama ”Singosari”. Nama Kerajaan Singasari di Jawa Timur itu diambil untuk mengapresiasi minyak nilam dari Jawa.Sang perfumer, Jennifer Jambon, terinspirasi dari jalur rempah di masa lampau yang mencakup wilayah Indonesia. Parfum Singosari ini menguarkan aroma yang tergolong kekayuan dan berempah atau woody spicy.
Rumah butik dari Italia, Ermenegildo Zegna tak ketinggalan. Tahun 2012 silam mereka mengeluarkan dua parfum bernama ”Javanese Patchouli” dan "Indonesian Oud”. Kedua parfum itu tentunya mengandung nilam dan oud (gaharu) dari Indonesia. Gaharu dihasilkan dari beberapa daerah di Indonesia, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua (Merauke). Gaharu yang harganya bisa menembus Rp 1 miliar per kilogramnya, mengutip bussinesinsider.com, dijuluki kayu dewa.
Setelah sekian lama menjadi produsen dan eksportir penting minyak asiri bagi dunia, munculnya berbagai produk turunan minyak asiri, seperti parfum dari industri lokal Indonesia, sebenarnya sudah dirindukan Pembina Dewan Atsiri Indonesia (DAI) Anton Apriyantono sejak lama. Baru lima tahun terakhir, berbagai jenama parfum lokal kreasi anak muda Indonesia bermunculan, bahkan justru kian semarak selama pandemi. Kompas mencatat, setidaknya kini ada 70 jenama parfum lokal.
”Sekarang saatnya industri lokal makin kreatif untuk memproduksi produk turunannya, seperti parfum, dan kita harus bisa bersaing secara global,” ujar Anton, yang juga pernah menjabat Menteri Pertanian pada periode 2004-2009.
Selama ini, parfum internasional yang mengambil identitas Indonesia sebagai nama prouduk sebenarnya masih banyak. Mulai dari nama Sumatera, Kalimantan, Bali, sampai Makassar kerap kali dijadikan nama parfum. Begitu pula dalam deskripsi produk di situs produsen, Indonesia senantiasa hadir. Tengok saja parfum keluaran Chanel, yaitu Coco, karya perfumer kondang Jacques Polge, tercantum ”Indonesian patchouli” dalam aroma dasarnya (base notes).
Nilam primadona
Nilam atau patchouli aromanya kerap dideskripsikan sebagai earthy, hangat, eksotis, sensual, juga menenangkan. Kandungan nilam, juga gaharu, termasuk mengindikasikan kualitas unggul sebuah parfum. Parfum sultan kalau istilah gaul sekarang. Anton menerangkan, minyak nilam (Pegostemon cablin Benth) memang jenis minyak asiri primodona dari Indonesia. Negeri ini menjadi pemasok minyak nilam terbesar di dunia. Minyak ini berfungsi penting sebagai pengikat atau agen fiksatif dalam parfum.
Dalam situs Direktorat Jenderal Perkebunan pada Kementerian Pertanian, 12 April 2020, menyebutkan, Indonesia menguasai 95 persen pasar dunia untuk produk minyak nilam. Dibandingkan komoditas ekspor minyak asiri lainnya, minyak nilam menduduki komposisi sebesar 85 persennya.
Mengenai volume ekspor, Anton menengok catatan Badan Pusat Statistik (BPS). BPS menggunakan penggolongan secara sistematis (Harmonized System/HS) 2 untuk ekspor produk minyak asiri dan resinoda, preparat wewangian, kosmetika atau rias yang tercatat pada Desember 2020 mencapai 8,36 juta kilogram. Itu setara dengan nilai 68,67 juta dollar ASt.
Selain nilam dan gaharu, Indonesia juga dikenal menghasilkan minyak asiri cengkeh, pala, cendana, akar wangi atau vetiver, hingga ambergris. Butik niche perfume eksklusif Les Indemodables di Perancis, misalnya, mengeluarkan parfum bernama ”Escale En Indonesie” yang disebutkan mengandung ambergris dari Sumatera, Indonesia. Ambergris, material parfum yang sangat bernilai tinggi ini, merupakan hasil sekresi dari saluran pencernaan paus sperma yang dikeluarkan melalui anusnya.
Menilik sejarah panjang jauh ke belakang, kamper dan kemenyan dari Sumatera Utara tercatat pernah menjadi komoditas amat berharga melampaui emas. Kemenyan atau resin benzoin berasal dari tanaman styrax, yang di Tapanuli disebut haminjon. Resin benzoin itu sampai hari ini juga merupakan bahan baku parfum.
Dalam laporan penelitian Ichwan Azhari berjudul ”Politik Historiografi Sejarah Lokal: Kisah Kemenyan dan Kapur dari Barus, Sumatera Utara” yang dimuat dalam jurnal Sejarah dan Budaya Universitas Negeri Medan Nomor 1 Tahun 2017 menyebutkan catatan penting. Barus di Sumut pernah menjadi kota kuno yang sejak dua ribuan tahun lalu telah dikenali oleh para pedagang Timur Tengah yang memburu kemenyan dan barus.
Keberadaan Barus juga dicatat oleh Claudius Ptolemaeus pada 160 Masehi dalam naskah atlas Geographia yang menyebut Barus sebagai Barousai. Kamper dan kemenyan/benzoin kala itu komoditas amat berharga yang menjadi bagian dari pengobatan kuno dan keperluan spiritual.
Aroma, wewangian, begitu pula parfum, bermain di wilayah sistem limbik otak manusia, termasuk amygdala dan hippocampus, area saraf yang mengelola emosi hingga kesadaran spiritual. Dalam jurnal ilmiah Scientia Pharmaceutica diterangkan, aroma atau wewangian secara signifikan mampu memodulasi aktivitas gelombang otak dalam berbagai tingkatan frekuensi. Frekuensi theta, misalnya, berperan dalam meregulasi kesadaran spiritual, juga memori manusia. Oleh karena itu pula, aroma dan kenangan senantiasa saling terkait..
”Parfum itu buatku menarik, olfaktori (saraf penciuman) yang jarang sengaja dimanja. Biasanya orang memanjakan indera penciuman itu tidak sengaja. Misal lagi minum teh, tercium aromanya. Lagi di gunung, tercium aroma segar. Nah, parfum itu bisa recreate those moments,” kata Debora Mahatmasari, pengulas (reviewer) parfum yang memiliki kanal khusus ulasan parfum di Youtube, The Olfaxtory.
Jenama lokal
Antusiasme pada wewangian, termasuk parfum, kini memunculkan banyak pengulas parfum, seperti Debora atau biasa disapa Deb, di berbagai platform media sosial. Di Facebook, misalnya, sejak 2016 dibuka grup komunitas pencinta parfum bernama Indonesian Fragrance Community (IFC) dengan lebih dari 3.000 anggota saat ini.
Penjualan parfum di tataran global juga menunjukkan peningkatan. Gejala yang anomali, mengingat parfum bukan komoditas esensial di tengah perekonomian dunia yang melesu. Seperti diulas dalam portal gaya hidup voguebusiness.com juga businessoffashion.com, parfum menjadi bintang komoditas yang tak disangka-sangka selama pandemi. Meskipun banyak butik parfum menutup tokonya secara fisik, penjualan parfum malah meroket secara daring.
Mungkin karena fungsi wewangian yang bisa memodulasi frekuensi otak tadi, dengan parfum orang ingin menyetel suasana hatinya menjadi lebih kondusif dalam menghadapi situasi pandemi ini.
Pencinta parfum juga cenderung mengoleksi parfum, seperti juga Deb yang intensif mengoleksi parfum setidaknya tiga tahun terakhir, termasuk juga yang berjenama lokal. Dengan hidungnya yang terlatih itu, Deb yakin kualitas berbagai parfum lokal kini bisa sejajar dengan parfum butik internasional yang telah mapan. Bahkan, ada segelintir jenama parfum lokal yang ia anggap bisa dikategorikan artisan.
Pengulas parfum lainnya di media sosial, Lygia, juga berkeyakinan serupa. Lygia sendiri sempat bekerja sebagai perfumer di sebuah fragrance house atau perusahaan wewangian internasional di Indonesia. Lygia yang baru saja pindah mukim di Paris juga sempat mengambil pendidikan master sains dan teknologi di bidang parfum dan kosmetik di ISIPCA & University of Padova di Perancis. Menurut dia, sayangnya saat ini masih sangat jarang orang Indonesia yang menjalani profesi sebagai perfumer/nose atau perancang parfum.
”Yang menentukan bagus tidaknya parfum enggak hanya masalah kreativitas. Parfum adalah karya seni sekaligus sains. Kalau enggak punya right tool akan memegaruhi kualitas juga,” kata Lygia yang juga sarjana Kimia dari Institut Teknologi Bandung.
Sebagai perfurmer, Lygia hafal di luar kepala aroma dari sekitar 800 bahan baku mentah, seperti minyak esensial yang diekstrak dari bahan alami dan minyak sintetis berupa molekul kimia. Untuk mempertajam indera penciumannya, ia terbiasa membaui dan menghafalkan setiap raw material sebelum memformulasikannya sesuai permintaan klien.
Gelombang baru
Tren parfum dunia, kata Lygia, juga mulai melirik ke parfum berbahan alami. Di era industrialisasi, parfum dunia selama ini sebagian besar memang lazim menggunakan campuran molekul sintetis, selain minyak alami. Namun, material mentah natural ini juga menghadirkan tantangan tersendiri, karena bisa membawa alergen yang bisa menimbulkan reaksi alergi.
Gelombang baru dalam industri parfum dunia kini juga mengusung isu berbagai aspek, mulai dari prinsip transparansi kandungan (ingredients), keberlanjutan, parfum lintas jender, hingga aspek keamanan bahan baku bagi kesehatan. Penggunaan bahan alami, misalnya, belum tentu selaras dengan keberlanjutan alam, mengingat untuk memperoleh 1 kilogram minyak mawar, misalnya, bisa memerlukan 4 ton kuntum bunga. Hal itu tentunya memakan sumber daya energi yang besar.
Sementara bahan sintesis, sepanjang tergolong aman, justru bisa menjadi lebih ramah lingkungan. Berbagai pertimbangan aspek itulah yang lalu memunculkan mazhab clean beauty belakangan ini, yang juga menyeret dunia parfum.
Sebuah film dokumenter yang pernah ditayangkan di Netflix berjudul Stink! (2015), misalnya, menggugah kesadaran masyarakat konsumen soal potensi gangguan terhadap kesehatan akibat bahan-bahan tertentu yang terkandung dalam aneka produk kosmetik, personal care, dan wewangian. Lembaga nonprofit, seperti EWG, juga telah 20 tahun lebih berkampanye di isu serupa.
Meskipun, hingga kini di tataran global, isu tersebut masih tarik-menarik di antara berbagai pihak, seperti asosiasi produsen, organisasi pengawas, dan konsumen. Yang pasti, di lingkup clean beauty, termasuk safe fragrance, kian semarak bermunculan jenama-jenama baru yang sukses merebut pasar internasional. Seperti yang juga disampaikan Lygia, di Indonesia saat ini tren tersebut belum menjadi tuntutan dari pasar parfum dalam negeri.
”Mereka (konsumen dalam negeri) belum menuntut sesuatu yang lebih dalam di parfum mereka, seperti ingin wangi yang lebih eksotis atau kualitas yang 90 persen natural dan ramah lingkungan. Belum ada demand yang lebih dalam lagi. Yang penting wanginya enak saja,” kata Lygia.
Beberapa jenama parfum mancanegara yang mengusung safe fragrance ataupun natural misalnya Clean, Phlur, Skylar, Abel, Henry Rose, Kai, Brumee, Hermetica, Bastille, Heretic, dan Tsi-La Organic. Jenama Heretic dari Amerika Serikat, misalnya, bereksperimen dengan menggunakan minyak CBD atau cannabidiol dari tanaman ganja (Cannabis sativa) untuk salah satu parfumnya, Dirty Grass. Bahan nonpsychoactive ini memberi kedalaman aroma yang unik dalam profil aroma Dirty Grass.
Kendati masih segelintir, di Indonesia, sudah mulai ada parfum lokal yang bermain di lingkup natural fragrance ataupun safe fragrance. Sebuah jenama parfum dari Aceh bernama Fakhrul Oud, misalnya, berupaya hanya mengusung bahan-bahan alami dalam berbagai produk parfumnya. Meskipun harganya cukup tinggi dibandingkan rata-rata jenama parfum lokal lainnya saat ini, Fakhrul Oud cukup sukses merebut perhatian pencinta parfum di dalam negeri.
Dari tujuh parfum Fakhrul Oud yang pernah dicoba Kompas, nyaris seluruhnya memang terhidu halus tekstur aromanya serta tak terjejak ”noise” hingga di lapis aroma dasar.
Jenama lokal lainnya yang menyatakan bermain di lingkup safe fragrance, misalnya, Sensatia Botanicals dari Bali. Jenama ini selama 20 tahun terakhir hanya memproduksi produk perawatan kulit dan rambut. Baru pada Desember 2020 mereka mengeluarkan tiga koleksi parfum, yakni Aurum (Au), Neptunium (Np), dan Osmium (Os).
Kunti Puspita Sari, Manajer Penjulan dan Pemasaran Sensatia Botanicals, mengatakan, ketika pengadaan pasokan bahan baku serba terbatas di masa pandemi karena kendala logistik, bahan baku lokal untuk membuat parfum justru lebih memungkinkan ketersediaannya.
Sensatia Botanicals selama ini pun berkomitmen memproduksi aneka produk perawatan yang bebas dari bahan-bahan yang berpotensi mengganggu kesehatan. Misalnya bebas dari senyawa phthalates yang bisa menjadi hormone disruptor, sulfate, paraben, dan lain-lain. Dengan demikian, koleksi parfum mereka pun selaras dengan komitmen tersebut.
I Nyoman Parta Wijaya, Head Pharmacist di Sensatia Botanicals, mengungkapkan, ia sengaja menciptakan wangi yang unik. Yang berbeda dengan selera lazim di pasaran. Aurum, misalnya, menghantarkan lapis-lapis aroma cempaka, kenanga, melati, cistus, cendana, hingga biji kapasan. Ketika dihidu terbit rasa tenteram bagaikan tengah berada di spa di sebuah resor. Atmosfer tenteram itu yang mungkin saat ini begitu dirindukan kaum urban di tengah pandemi yang menekan perasaan.
Kini, ketika hatimu tertimpa insiden baper gara-gara pandemi, dengarkanlah musik jazz, lalu semprotkan parfum di tubuh. Anggaplah itu nasihat dari sastrawan kita, Seno Gumira Ajidarma, yang melahirkan karya sastra monumental Jazz, Parfum, dan Insiden di tahun 1996.