Menuju Indonesia Wangi
Impian para pelaku usaha parfum lokal ini tentu patut diapreasi. Pengulas parfum Debora Mahatmasari mengakui parfum lokal yang pernah dicobanya diyakini mampu bersaing di kancah global.
Siapa yang suka parfum? Tak sekadar harum, ia dapat menjadi salah satu penanda personal pemakainya. Kini, kita tak perlu lagi melulu memburu jenama ternama dunia. Parfum dari negeri sendiri tak kalah semerbak loh. Hmmm... harumnya.
Kemasan parfum Oullu terlihat minimalis elegan berupa botol silinder, begitu pula kemasan karton luarnya. Zephyr, demikian namanya, menguarkan tak hanya semerbak anggun, tetapi juga membikin rileks.
Menghidu Zephyr serasa membawa kita berjalan-jalan di kebun apel hijau dengan hamparan rumput di hari yang cerah. Imaji yang tentu saja subyektif, tergantung persepsi setiap individu.
Tak ada yang menduga awalnya, ini merupakan parfum lokal yang dibentuk Pamela Ridwan (29) dan Aurora Santosa (36). Pamela merasa beruntung meraih momentum. Ia dan Aurora melakukan riset pada tahun 2019. ”Menuju Indonesia Wangi, Oullu dirilis pada 30 Januari 2020. Lalu masuk pandemi tapi animo masyarakat ternyata di luar dugaan,” ujar Pamela.
Penjualan Oullu meningkat 50 persen dari pertama kali dirilis. Selain memasarkan produknya secara daring, mereka berkonsinyasi dengan toko-toko. Produk itu tersebar di Jakarta, Makassar, dan Palembang. ”Kami sudah menjual parfum ribuan kemasan dan restok empat kali. Padahal, parfum merupakan kebutuhan tersier saat pandemi,” kata Aurora.
Koleksi parfum Oullu cukup variatif, seperti Umbra, Aether, Arcana, Ego, Zephyr, Bird Song, Solar Rays, dan Deep Dive. Semua parfum pun bersertifikat BPOM. ”Kami pengin bikin parfum baru yang modern, minimalis, kontemporer, estetis, dan uniseks. Bisa dipakai cowok atau cewek,” kata Aurora.
Konsumen Oullu perempuan umumnya memilih wangi yang cenderung manis, bukan aroma bunga yang terlalu kuat. Sementara pria lebih senang aroma yang segar.
Aurora tak memungkiri banyaknya permintaan orang yang masih saja menanyakan parfum yang wanginya serupa parfum produksi mancanegara. ”Kami ingin konsumen Oullu bangga dengan produk lokal. Lebih mudah membuat fondasi agar brand kami kokoh kalau produknya enggak mirip yang lain,” ujarnya.
Semangat serupa Oullu juga menyebar dari Daudy Sukma (32) yang memulai lini parfum Minyeuk Pret dari Aceh. Dalam bahasa Aceh, minyeuk berarti minyak dan pret berarti semprot. Mengusung wewangian khas olahan kekayaan alam ”Tanah Rencong”, Minyeuk Pret punya mimpi besar untuk menjadikan Indonesia kiblat ketiga parfum dunia.
”Pertama Eropa, lebih tepatnya Perancis, yang mengangkat karakter parfum glamor, mewah, dan elegan. Kedua, Timur Tengah dengan aroma yang religius dan mistis. Nah, kami ingin jadi kiblat ketiga melalui parfum yang mengangkat budaya lokal di wilayah khatulistiwa,” ujar Daudy.
Kemunculan Minyeuk Pret bertolak dari sebuah kesadaran bahwa minyak nilam begitu melimpah di Aceh dan menyuplai sebagian besar industri wewangian global, tetapi mereka justru tidak memiliki parfum sendiri. ”Dari situ kami belajar cara membuat parfum secara otodidak, dari Youtube, dari jurnal, dan coba-coba,” tuturnya
Sebanyak 11 aroma telah dihasilkan. Wewangian itu lalu diuji coba kepada pengunjung warung-warung kopi dan terpilihlah tiga aroma favorit, yakni Seulanga, Meulu, dan Coffee, yang menjadi produk perdana Minyeuk Pret saat diluncurkan pada 1 April 2015 di Banda Aceh. Hanya dalam delapan jam, terjual 1.683 botol. Hingga kini penjualannya pun tetap bagus.
Seulanga dihasilkan dari ekstrak bunga seulanga, atau kenanga, yang di Aceh dikenakan mempelai wanita dan pria dalam pernikahan. Harumnya lembut. Kini, ada tiga varian baru yang digemari konsumen. Jeumpa, dari bunga cempaka. Sanger Espresso juga beraroma kopi susu, bercampur manis vanila. Lalu Kamaliah yang terinspirasi dari nama istri Sultan Iskandar Muda yang memimpin Aceh pada masa kejayaannya.
Memang, wangi Minyeuk Pret telah menyebar dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia, bahkan sampai di 23 negara dengan penjualan secara konvensional. Selain telah mengantongi izin BPOM yang diupayakan selama tiga tahun, mereka kini juga sedang dalam tahapan mendapatkan sertifikat dari komunitas artisan parfum dunia.
Minyeuk Pret juga tengah menjajaki kolaborasi dengan beberapa daerah di Indonesia yang punya wewangian khas, misalnya gaharu di Papua atau kamboja di Bali. ”Kami berharap pada satu titik nanti, Minyeuk Pret akan jadi wadah atau kendaraan setiap provinsi menjadi industri parfum yang mewakili kekhasan daerah masing-masing,” kata Daudy.
Harapan Daudy ini juga sejalan dengan impian Rizky Arief Dwi Prakoso (26), CEO dan founder HMNS. Bersama rekannya di ITB, Amron Naibaho dan Karina Innadindya, sepakat untuk hadir mengharumkan Nusantara, serupa dengan nama yang mereka usung sebagai PT, yakni HMNS.
Perjalanannya jelas tidak mudah mengingat ketiganya tak memiliki pengalaman yang mumpuni untuk meracik parfum. Pencarian perfumer di Indonesia pun nyatanya sulit. ”Sampai kami tahu bahwa se-Indonesia Raya yang ada 250 juta orang itu perfumer enggak lebih dari jumlah jari kita. Kami sampai punya lelucon sendiri. Secara statistik, lebih gampang jadi menteri daripada jadi perfumer,” canda Rizky.
Setahun berburu perfumer, lahirlah produk pertama HMNS, Alpha. Selain Alpha, beberapa produk HMNS lainnya adalah Farhampton yang memiliki wangi floral segar yang kuat dengan jejak maskulin yang elegan sehingga bisa diterima selera perempuan.
Lalu juga Y? Series XY dengan wangi kekayuan yang lembut dan hangat, sementara Orgasm didominasi wangi yang manis dan segar citrus yang lambat laun menjadi lebih lembut dan hangat. Kisaran harganya Rp 300.000-an.
Selain keberadaan perfumer, HMNS juga memiliki standar sesuai IFRA (International Fragrance Association) juga standar keamanan BPOM. Mereka juga mengupayakan penggunaan bahan baku lokal dari Tanah Air. ”Contohnya minyak nilam atau patchouli. Bahkan biji pala, minyak essential oil-nya juga dari Indonesia,” kata Rizky.
Mimpi besar
Kesuksesan yang direguk saat ini membuat HMNS meluncurkan jenama baru, Home of Humans, yang fokus untuk pengharum rumah juga parfum untuk mobil. ”Kita mau bikin parfum-parfum yang kami bisa dapat inspirasinya dari kota-kota di Indonesia. Kami lagi proses membuat misalkan salah satunya HMNS of Bali di mana hanya ada dan diproduksi di Bali saja. Nanti juga ada HMNS of Jogya, ada HMNS of Aceh,” ujarnya.
Ada juga jenama Fordive dari Surabaya, Jawa Timur, yang juga mengusung semangat menembus pasar mancanegara. Briandy Putra (23), salah satu pendiri Fordive, bercerita, ia dan kedua rekannya berencana membuat produk kosmetik.
”Jadi karena pandemi tahun lalu kami ganti haluan memilih untuk memproduksi parfum. Awalnya benar-benar enggak mengerti soal parfum. Sampai akhirnya kami terus belajar dan kemudian bisa launching produknya per Agustus 2020,” ujar Briandy.
Dengan upaya kerasnya, pertumbuhan bisnis dan penjualan Fordive terus meningkat. Dalam beberapa bulan, angka omzet penjualan melonjak dan stabil hingga kini. Ada dua produk parfum unggulan, yaitu Feeling Good, yang memiliki top notes wewangian beraroma buah frambos dan peony. Selain itu, varian Love Yourself, yang memiliki top notes beraroma wewangian buah-buahan seperti dua jeruk green Mandarin dan grapefruit serta apel.
Selain dipakai saat bepergian, Briandy menyebut ada juga konsumen mereka yang menggunakan produk mereka untuk keperluan relaksasi, bahkan tidur. Mereka menggunakan parfum Fordive saat akan beristirahat demi meningkatkan kenyamanan dan ketenangan sebagai efek yang ditimbulkan dari wewangiannya.
”Kami juga kepingin bisa tembus pasar luar negeri. Pasti ada mimpi seperti itu. Kami berharap nanti bisa mengharumkan nama Indonesia dengan wewangian parfum kami ini,” ujar Briandy.
Impian para pelaku usaha parfum lokal ini tentu patut diapreasi. Pengulas parfum Debora Mahatmasari mengakui, parfum lokal yang pernah dicobanya diyakini mampu bersaing di kancah global. ”Jika kita ingin bersaing dengan parfum luar, harus ada keunikan tersendiri karena lawannya kan desainer yang jauh lebih mapan. Saya yakin kita bisa kok,” ujar Debora.
Berdasarkan data yang dikutip dari Grand View Research, nilai pasar parfum global pada tahun 2018 mencapai 31,4 miliar dollar AS. Diperkirakan antara 2019 dan 2025, setiap tahunnya akan meningkat 3,9 persen. Semoga saja produsen parfum dalam negeri bisa turut agresif mengambil peluang pasar tersebut.
Persoalan keunikan aroma ini, kata Deb, menjadi pekerjaan rumah bagi pebisnis parfum lokal. Sebab, banyak produk parfum lainnya sekadar memproduksi profil wangi yang cenderung sudah disukai pasar atau membuat profil wangi serupa yang sudah ada.
”Jadi, banyak yang tergoda bikin dupe, bikin yang wanginya yang sudah ada di pasaran. Sebaiknya bikinlah wangi yang khas kalian sendiri. Walau tetap ada yang bilang mirip ini itu, ya jelas memang karena notes kan itu-itu saja. Tapi tetap akan terasa kok kalau memang itu kreasi sendiri, bukan dupe,” kata Deb, sapaan akrab Debora.
Tantangan lainnya berkaitan dengan keamanan produk. Menurut Deb, jangan sampai pebisnis sekadar meracik bibit parfum yang tak bisa dipastikan keamanannya, lalu dilabel menjadi seolah jenama parfum.
Yuk, pilih wangimu hari ini. Dan mari menuju Indonesia yang lebih wangi!
(BAY/DWA/DOE/FRO/SF)