Kelana Rasa Seberang Benua
Tibalah hidangan pertama di meja, yakni Atun dan Lubina. Hidangan pembuka ala ”ceviche” ini seperti berkata ”Halo!” kepada penyantapnya lewat rasa pedas yang langsung menyengat lidah pada suapan pertama.
Kekayaan cita rasa dari belahan selatan Benua Amerika tak jauh berbeda dengan Indonesia. Pedas adalah salah satunya. Rasa ini menjadi jalan pembuka untuk menjembatani lidah Indonesia-Amerika Latin.
Sensasi menyengat bercampur asam segar membalut aneka boga yang terinspirasi dari khazanah kuliner Amerika Latin disajikan restoran Carbon di bilangan Setiabudi, Jakarta Selatan. Diiringi riang musik Latino yang membuat pinggul bergoyang, Rabu (17/2/2021) siang yang berawan menjadi tidak terasa kelabu.
Secara spesifik, Carbon memilih kawasan Meksiko dan Peru sebagai tapakan untuk menunya. Keduanya memiliki kemiripan dari bahan dasar yang digunakan, yakni jagung, cabai, sayuran, serta kacang-kacangan.
”Ini interpretasi saya dari cita rasa Meksiko dan Peru. Masakan mereka dikenal kuat pemakaian cabainya, bukan semata untuk rasa pedas, melainkan juga untuk sumber cita rasanya sendiri,” kata Executive Chef Carbon Andri Dionysius.
Ada bermacam-macam cabai yang digunakan dalam masakan Meksiko dan Peru. Rasa pedasnya juga beragam. Cabai segar dan cabai kering akan berbeda. Chef Andri mencontohkan chipotle yang banyak dipakai dalam masakan Meksiko. Chipotle adalah cabai jalapeno yang dikeringkan dengan diasapi. Rasa pedasnya jadi lebih tegas dibandingkan dengan jalapeno segar.
Masakan Peru menggunakan beberapa jenis cabai atau aji (baca: ahi) dasar, di antaranya aji panca yang kemerahan dengan rasa pedas cenderung berasap, aji amarillo berwarna jingga dengan rasa pedas menengah dan seperti buah atau fruity, serta rocoto yang khas area Andea dan dikenal sangat pedas.
Chef Andri mengeksplorasi ragam rasa cabai ini untuk memberi warna olahan bahan pangan yang dia sajikan. Menurut dia, rasa pedas sudah akrab dengan lidah orang Indonesia sehingga tidak akan sulit untuk menikmati berbagai menu di restoran Carbon.
Masakan Meksiko dan Peru juga banyak memakai jagung sebagai bahan makanan. Sebut saja tortilla. Chef Andri membuat sendiri tortilla dari jagung Meksiko single origin dari tanaman pusaka (heirloom), yakni jagung biru.
”Jagungnya tidak dicampuri apa-apa, selain air dan sedikit garam. Jagungnya dikeringkan, lalu melalui proses nixtamalization (direndam dan dimasak dalam cairan alkali), dan digiling menjadi adonan yang disebut masa,” katanya sembari memperagakan pembuatan tortilla di dapur terbuka.
Adonan itu dibentuk bulat kecil-kecil, dimasukkan ke dalam semacam mesin penekan sehingga menjadi pipih tipis, lalu dipanaskan sebentar hingga muncul gelembung-gelembung di permukaannya. Selain disajikan sebagai pembungkus makanan, tortilla itu juga diiris persegi dan digoreng menjadi keripik.
Cara pengolahan makanan Amerika Latin yang populer adalah dengan membakarnya di api terbuka. Cara ini pula yang diterapkan Chef Andri di Carbon. Bedanya, dia tidak menggunakan satu jenis kayu agar rasa asapnya tidak sama untuk semua hidangan.
”Kalau pakai satu macam kayu, rasa smokey-nya bakal sama. Jadi, saya pakai pine needle atau pinus jarum, bonggol jagung, kayu cedar, kayu apel, dan sabut kelapa,” ujarnya.
”Ceviche”
Sebenarnya masih banyak cerita seluk-beluk makanan Meksiko dan Peru yang ingin dibagikan Chef Andri. Namun, daripada bercerita panjang lebar, lebih baik langsung menyantapnya.
Tibalah hidangan pertama di meja, yakni Atun dan Lubina. Hidangan pembuka ala ceviche ini seperti berkata ”Halo!” kepada penyantapnya lewat rasa pedas yang langsung menyengat lidah pada suapan pertama. Atun berupa irisan tuna sirip kuning asap dengan campuran lobak, aji panca, wijen, jagung renyah, dan pugasan cilantro yang tajam. Atun yang pedas, asam, segar ditemani crispy yuca alias keripik singkong yang renyah.
Lubina juga ceviche berisi seabass, rocoto leche de tigre (semacam kuah asam pedas), chicharron de pota atau cumi goreng tepung, choclo atau jagung khas Andea yang bulat besar seperti bawang putih, dan cancha atau jagung renyah.
Berikutnya Chef Andri menyajikan olahan verduras atau sayur-sayuran, yakni Coles de Bruselas dan El Dragon. Coles de Bruselas menggunakan kol brussel di atas chicken chorizo, jamur champignon, dan lelehan cheese fondue.
Sedikit berbeda, El Dragon menggunakan kale dengan chicken chorizo dan idiazabal cheese, di samping dressing caesar’s klasik. Dominasi rasa gurih pada masakan ini ditingkahi pedas dari jalapeno.
Hidangan utama menggunakan olahan sari laut dan ternak. Langostino Tigre menjadi bintang boga bahari dengan udang windu bakar, disajikan bersama aji amarillo, dan bubur jagung yang gurih. Rasa manis dari olahan udang terasa tak lengkap tanpa tarikan rasa pedas dari aji amarillo.
Tiga hidangan utama dari ternak berupa Codorniz Asada, Cordero Carnitas, dan Lengua Negra bisa dimakan langsung, tetapi bisa juga disantap sebagai isian tortilla. Codorniz Asada berupa burung puyuh bakar dengan krill salsa alias sambal rebon. ”Ini lebih enak dimakan pakai tangan langsung,” saran Chef Andri.
Jadilah sendok, garpu, dan pisau ditinggalkan, lalu tangan sibuk memotek paha puyuh, mencocolnya dalam salsa rebon, dan langsung masuk mulut. Sensasinya seperti makan ayam bakar di saung di tengah Amazon.
Cordero Carnitas berisi potongan daging domba bagian iga, leher, dan betis yang empuk, diseimbangkan dengan segar acar bawang merah dan salsa morita dari cabai jalapeno matang. Lengua Negra berupa lidah sapi yang dimasak perlahan dan dibaluri 18 macam bumbu dicocol green mojo alias saus hijau yang pedas segar.
Chef Andri menjelaskan, persiapan memasak Lengua Negra itu selama sembilan hari. Memasaknya sendiri perlu dua hari. Hasilnya memang juara. Lidah sapi sangat empuk, dengan bumbu yang meresap, diselipi segar irisan bawang dan cilantro, dan olesan saus pedas. Tak pelak, lembar demi lembar tortilla lekas menyusut untuk membungkus hidangan ini.
Sebagai penutup, tersaji Pastel de Chocotexturas berupa kue dengan 10 komponen cokelat. Di atasnya satu sendok es krim cokelat yang, tentu tak lupa, juga bercita rasa pedas tipis-tipis berkat chile arbol.
Agar istimewa, Chef Andri menghidangkan Chuddos, ”perkawinan” churros dan donat dengan balutan gula dan kayu manis, yang dicelupkan dalam goat milk cajeta atau karamel dari susu kambing, dan saus cokelat.
Untuk Brulee con Queso, yakni custard klasik dengan keju athan, dia menggunakan teknik membakar gula di bagian atas brulee dengan besi panas. Asap yang mengepul dari pembakaran itu jadi atraksi menarik.
Masih banyak menu yang dari tulisannya saja tidak akrab dengan kita. ”Di sinilah kami ingin berbagi pengetahuan. Mereka yang belum pernah mencicipi akan mendapat pengalaman baru. Ada tradisi yang kami hormati, tetapi tetap dieksplorasi dan diinterpretasi,” katanya.
Sementara raga kita belum bisa ke mana-mana karena pandemi, setidaknya lidah bisa berkelana ke seberang benua.