Jagat maya belakangan ramai dengan media sosial baru bernama Clubhouse. Kalangan muda kian mengeksplorasi platform berbasis audio ini selama pandemi Covid-19.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
Kesibukan Faiz Ghifari (25) saat senggang belakangan diisi dengan mencari topik obrolan secara daring. Dari gawai, dia mengakses ”ruang” percakapan virtual berbasis suara bersama orang-orang yang baru dikenalnya. Topik yang dibahas kadang ngalor-ngidul, tetapi juga sangat serius dalam waktu tertentu.
Sesekali waktu, pekerja perusahaan rintisan ini larut dalam percakapan soal industri start up teknologi. Dalam kesempatan lainnya, Faiz juga terhibur dengan obrolan ”receh” tentang persiapan menjalani kehidupan di luar angkasa.
Baru tiga hari ini, dia menginstal media sosial yang memungkinkan obrolan tersebut. Clubhouse, nama medsos itu, mendorong Faiz menyisihkan waktu berinteraksi verbal dengan orang-orang baru. Seluruh percakapan di kanal itu berlangsung tanpa aspek visual, hanya suara.
”Baru pertama ini aku coba medsos yang seluruhnya berbasis audio. Obrolan di sana terasa lebih otentik dan luwes. Saya sebagai pengguna juga bisa pindah topik obrolan dengan leluasa tanpa sungkan seperti Zoom,” tutur Faiz, Rabu (17/2/2021).
Faiz hanyalah satu dari sekian orang yang bergabung dalam platform baru tersebut. Beberapa pekan selama Februari, jagat maya kian sering membicarakan fitur percakapan serba suara dari Clubhouse. Faiz pun terdorong mendaftarkan diri lewat undangan dari seorang teman.
Clubhouse adalah media sosial percakapan berbasis audio yang memungkinkan pengguna memasuki ruang-ruang dengan beragam topik pembicaraan. Seluruh percakapan di dalam ruang itu tidak tersimpan dan tidak dapat dibawa keluar dari platform tersebut.
Baru pertama ini aku coba medsos yang seluruhnya berbasis audio. Obrolan di sana terasa lebih otentik dan luwes. Saya sebagai pengguna juga bisa pindah topik obrolan dengan leluasa tanpa sungkan seperti Zoom.
Aplikasi besutan dari Silicon Valley, San Francisco, Amerika Serikat, saat ini masih beroperasi terbatas dalam sistem operasi iOS. Calon pengguna pun belum bisa mendaftar secara langsung selain lewat undangan seorang teman yang telah menjadi pengguna. Per 17 Februari, setiap pengguna terdaftar hanya bisa mengundang empat teman ke dalam Clubhouse.
Meski begitu, aplikasi ini kian populer. Jumlah pengguna aktif Clubhouse sejak Mei 2020 hingga Januari 2021 menurut laporan statista.com mencapai sekitar 2 juta orang. Angka tersebut cukup eksponensial di tengah masa percobaan aplikasi terbatas.
Clubhouse kian mendapat sorotan lantaran Elon Musk, pemiliki perusahaan teknologi mobil listrik Tesla, turut berpromosi lewat Twitter. Elon kerap mengajak tokoh besar untuk bercakap-cakap dengan Clubhouse.
Cuitan Elon juga menggoda pengguna di Indonesia. Faiz Ghifari yang menggandrungi perkembangan teknologi mengakui makin banyak teman dan follower Twitter yang bergabung di Clubhouse. Aplikasi ini menemani dirinya berkegiatan sehari-hari karena berbasis audio sehingga bisa disambi dengan pekerjaan lain.
”Hal yang bikin betah adalah obrolan di Clubhouse terasa otentik dan tidak diedit. Lalu ada juga pelaku industri dan figur publik yang ngobrol biasa seperti teman, yang mungkin jarang kita dengar dalam kehidupan sehari-hari,” ujar pria domisili Tangerang Selatan, Banten, ini.
Putri Kartika Sinaga (27) juga sependapat. Pekerja public relation di perusahaan fashion ini merasa nyaman berinteraksi dengan orang baru di Clubhouse. Selama menjadi pengguna sepuluh hari belakangan, dia tidak sungkan untuk berbagi cerita dengan forum yang sesuai topik.
Beberapa hari ini, Putri cenderung mencari hiburan lewat obrolan ”receh” sesama pengguna dan figur publik. Dia sempat ikut ruang diskusi yang hanya membahas seputar kebiasaan orang kaya. Selasa (16/2/2021) malam, dia juga turut dalam obrolan ngalor-ngidul berbahasa Sunda.
”Ada juga room (ruangan) yang waktu itu membahas tim bubur diaduk atau enggak diaduk. Setiap orang di room itu benar-benar ditanyain satu-satu mereka makan bubur diaduk atau enggak,” kata perempuan asal Bekasi, Jawa Barat, ini.
Baik Faiz maupun Putri terdorong menjadi pengguna Clubhouse karena kebutuhan interaksi dengan orang. Selama pandemi Covid-19, aktivitas bekerja dari rumah atau work from home tidak memungkinkan untuk berinteraksi dengan orang baru.
Putri sendiri merasakan obrolan pengguna Clubhouse terasa sangat intim, tetapi tetap saling menjaga privasi. Sejauh ini dirinya nyaman memakai aplikasi tersebut. ”Sejauh ini aku enjoy dan masih coba dengarkan forum obrolan lainnya. Medsos lain kadang sampai aku tinggalin,” ujar Putri.
Azka Putri (27), pekerja komunikasi pemasaran di perusahaan telekomunikasi, juga mendaftar Clubhouse karena penasaran. ”Aku penasaran apakah platform ini bakal ngetren seperti Tiktok atau Instagram,” tuturnya.
Dosen llmu Komunikasi di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Andina Dwifatma, menilai Clubhouse pintar membaca momentum. Situasi pandemi makin memicu kebutuhan interaksi yang tidak dapat dipenuhi secara langsung. Belakangan, kebutuhan ini digantikan lewat keberadaan ruang maya.
Sementara, pola komunikasi orang-orang kini juga banyak berubah berkat medsos. Andina menjelaskan, orang yang baru kenal atau bahkan tidak saling kenal kini bisa ngobrol atau bahkan saling curhat di medsos.
”Medsos membuat tahapan komunikasi interpersonal yang umum, seperti berkenalan, membangun kedekatan, dan seterusnya, menjadi sangat lawas. Ditambah dengan situasi pandemi, orang yang jenuh di rumah mungkin makin terpancing mencoba hal baru. Salah satunya platform medsos,” ujarnya.
Menurut regulasi itu, Clubhouse tergolong sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat. Akses platform tersebut dapat ditutup jika tidak kunjung mendaftarkan diri ke Kemenkominfo.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo Semuel Pangerapan menyebutkan, pendaftaran platform itu penting untuk memastikan keamanan data pengguna di Indonesia. Pemerintah ingin bertanggung jawab melindungi warga dengan kepastian identitas platform medsos tersebut.
”Sebenarnya platform tersebut tinggal daftar saja ke pemerintah. Justru ini adalah bentuk perlindungan dari pemerintah untuk pengguna di Indonesia. Kalau terjadi kebocoran data, pengaduan konsumen, dan sebagainya, ada pihak pengelola platform yang turut bertanggung jawab,” jelasnya.