Kepala BPPT: Integrasi dan Perlindungan Data, PR Pengembangan Kecerdasan Buatan
Kepala BPPT Hammam Riza menceritakan tentang fondasi apa yang harus disiapkan untuk membangun ekosistem pengembangan kecerdasan buatan di Indonesia sekaligus kelemahan yang harus dihadapi.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·5 menit baca
Artificial intelligence (AI), kecerdasan artifisial atau kecerdasan buatan, telah marak digunakan oleh berbagai layanan yang ditawarkan berbagai perusahaan rintisan di Indonesia hingga perbankan. Teknologi ini juga yang menjadi inti penggerak lahirnya revolusi industri keempat yang akan menekankan pada hadirnya otomasi yang semakin mendalam dalam segala sendi industri.
Pemerintah Indonesia pun ingin mengambil peran untuk meningkatkan pemanfaatan teknologi ini demi kemajuan industri dalam negeri. Pada 10 Agustus 2020, bersamaan dengan perayaan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) meluncurkan dokumen Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial 2020-2045.
Dokumen yang disusun hasil konsultasi dengan kementerian dan lembaga negara lainnya, para pelaku industri, perguruan tinggi, hingga komunitas, mencoba untuk merumuskan strategi yang tepat untuk mengembangkan ekosistem pengembangan teknologi kecerdasan buatan.
Pada Senin (15/2/2021), Kompas berkesempatan untuk melakukan wawancara khusus dengan Kepala BPPT Hammam Riza melalui konferensi video.
Dalam kesempatan itu, ia menceritakan bagaimana pentingnya sebuah dokumen strategi nasional, harapan implementasi kecerdasan buatan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi roda pemerintahan, hingga berbagai pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sebelum ekosistem teknologi baru ini dapat tumbuh.
Mengapa Indonesia perlu membuat sebuah strategi nasional untuk pengembangan kecerdasan buatan?
Ini semua bermula pada Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Di situ disebutkan bahwa BPPT terlibat bersama dengan sejumlah kementerian dan lembaga lain, seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Dalam Negeri, serta Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN).
Salah satu tugas untuk BPPT adalah mengkaji teknologi kecerdasan buatan terkait layanan komputasi awan untuk pemerintahan. Di situ kami melihat bahwa ternyata Indonesia tidak memilik sebuah strategi nasional untuk teknologi baru ini.
Kami paham bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia sudah marak menggunakan teknologi ini. Tetapi juga perlu dipahami bahwa sebelumnya kita punya Peraturan Presiden Satu Data Indonesia (Perpres No 39/2019) dan Perpres Broadband (Pitalebar) Indonesia (Perpres No 96/2014) yang menyadarkan kita untuk bersaing dengan negara lain.
Oleh karena itu, kami mendapatkan dukungan dari Kementerian Riset dan Teknologi untuk menyusun sebuah strategi nasional yang melibatkan pemerintah, perguruan tinggi, industri, asosiasi dan komunitas, hingga media.
Indonesia perlu mengejar inovasi yang menghela pertumbuhan ekonomi. Indonesia harus memiliki kekuatan dalam AI, harus menyiapkan SDM-nya. Kita juga perlu menyiapkan kebijakannya yang akan mendukung adanya infrastruktur dan data yang mumpuni untuk dapat diolah.
Bagiamana kondisi ekosistem pengembangan kecerdasan buatan Indonesia saat ini?
Saya tidak bisa bilang ekosistemnya masih kecil karena di Indonesia sudah banyak perusahaan kecerdasan buatan yang mulai muncul. Namun, untuk sektor industri lain belum memanfaatkan dengan penuh.
Dalam dokumen Stranas KA 2020-2045 ini kami memberi penekanan pada lima bidang industri yang menjadi prioritas kecerdasan buatan, yakni layanan kesehatan, reformasi birokrasi, pendidikan dan riset, ketahanan pangan, serta mobilitas dan kota pintar.
Di ketahanan pangan, misalnya, bagimana kita bisa menghasilkan cara-cara baru untuk melaksanakan penguatan food estate, bagaimana AI mengatur kapan memberi pupuk, pestisida, dan membantu mengelola jutaan hektar untuk pangan kita.
BPPT juga mengembangkan AI untuk mencapai birokrasi yang lebih efisien, seperti yang kita tahu bahwa dalam reformasi birokrasi ini tidak ada eselon III dan IV. Bagaimana sejumlah fungsi yang dikerjakan oleh eselon ini dapat dibantu AI.
Kondisi keberadaan ekosistem AI saat ini sebenarnya menggambarkan opportunity atau peluang ketimbang kelemahan.
Seperti yang sudah disebutkan, Indonesia sudah memiliki sejumlah perusahaan kecerdasan buatan. Sebetulnya apa peran pemerintah dalam pengembangan teknologi ini?
Pemerintah menjadi orkestrator, menjadi katalisator terbentuknya iklim yang baik untuk industri ini. Jangan sampai perusahaan kita tidak mampu bersaing dengan perusahan lain yang ada di luar negeri.
Penting bagi Indonesia, misalnya untuk menjalankan program talenta kecerdasan buatan. Ayo kita cetak 100.000 talenta AI untuk menghadapi daya tarik Singapura yang selalu bisa attract, menarik talenta dari luar negaranya. Atau juga Uni Emirat Arab, yang memiliki kementerian khusus AI. Mereka berusaha menarik talenta dari seluruh dunia untuk membangun industri AI di Abu Dhabi ataupun Dubai.
Singapura, misalnya, ada yang namanya AI Singapore. Mereka bekerja sama dengan NUS (National University of Singapore), dan sejumlah kementerian lain. Mereka bangun dalam kawasan Technopark di mana perusahaan start up bermunculan.
Bagaimana dengan peran BPPT secara khusus?
Kami ini adalah provokator, dalam arti positif. Kami ingin jadi dirigen dalam pengembangan kecerdasan buatan. Nanti perlu ada lembaga independen yang fokus di bidang ini. Saat ini kami membangun embrio dari sebuah lembaga orkestrator kecerdasan buatan. Bisa dibilang kami menyiapkan fondasi.
Instrumen hukum dan lemabga apa yang perlu dibentuk pemerintah untuk menyuburkan ekosistem kecerdasan buatan di Indonesia?
Pertama, adalah peraturan presiden. Kami sedang mengusahakan dokumen Stranas Kecerdasan Artifisial 2020-2045 ini menjadi perpres. Kami sudah menyiapkan naskah akademiknya. Kami sampaikan dokumen ini ke Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Sekretariat Negara untuk diproses sebagai sebuah rancangan perpres. Saya punya target di pertengahan tahun ini, perpres itu sudah bsia terbit.
Perpres ini akan bicara tentang adanya sebuah lembaga orkestrator kecerdasan buatan. Ini adalah sebuah lembaga independen yang tidak hanya diisi perwakilan pemerintah saja. Komisi ini akan menjalankan fungsi ethical clearance hingga turun pada pengawasan implementasi teknologi kecerdasan buatan. Saya berharap akhir 2021 kami sudah siap sehingga Pusat Inovasi Kecerdasan Artifisial (PIKA) yang sudah dibentuk oleh BPPT ini bisa masuk ke dalam lembaga orkestrator ini.
Apa yang saat ini masih menjadi kelemahan pengembangan ekosistem kecerdasan artifisial di Indonesia?
Kita terkadang masih egosentris. Semua data itu tidak berbagi pakai. Misalnya kami hendak membuat aplikasi prakiraan kebakaran hutan dan lahan, kami harus mengintegrasikan data dari banyak lembaga misalnya Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hingga Badan Informasi Geospasial (BIG).
Menjadi penting bagaimana kita bisa ”mengawinkan” ini semua? Agar datanya harmonis, trustworthy, dan kemudian bisa dimanfaatkan untuk membangun aplikasi AI. Ini jadi PR besar di dalam mengimplementasikan Ai untuk Indonesia.
Dengan kebutuhan data yang sekaya ini, seberapa penting keberadaan undang-undang pelindungan data pribadi, misalnya?
Kecerdasan buatan ini terkait dengan pemrosesan data. Apakah data tersebut sudah dilindungi? Maka dari itu, kita harus bicara mengenai data privacy supaya tidak salah langkah.