Meski masyarakat kini disuguhkan banyaknya platform pemutar musik, radio masih digandrungi oleh sebagian kalangan. Kenangan manis dengan radio di masa lalu masih melekat di hati para pendengar setianya.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tanggal 13 Februari kemarin diperingati sebagai Hari Radio Sedunia. Ingatan orang-orang terhadap siaran di radio kembali bermunculan. Meski platform pemutar musik digital dan siaran audio non-streaming atau siniar alias podcast kini menggerogoti pamor radio, beberapa orang masih menjadi pendengar setia radio.
Siaran radio telah menemani masa-masa remaja Rizaldy (34), karyawan swasta asal Jepara, Jawa Tengah. Tepatnya saat dia masih duduk di bangku SMA atau periode 2003-2006. Lagu-lagu beraliran pop yang sering diputar stasiun radio lokal kala itu bahkan masih melekat di memorinya hingga kini.
”Dulu kalau mau dengerin lagu-lagu favorit harus request (minta) ke penyiarnya lewat SMS atau telepon. Hampir semuanya band pop kayak Pas Band, Dr. PM, atau Base Jam,” katanya saat dihubungi.
Sembari menunggu lagu permintaannya diputar oleh penyiar, Rizaldy biasanya enggan beranjak dari kamar. Sebab, sekali ditinggal, lagu yang diminta bisa bablas. Jika sudah begitu, dia baru bisa mendengarkan lagu yang sama pada program atau stasiun radio lain.
Saking tak ingin kelewat dengan lagu-lagu favoritnya, Rizaldy bahkan kerap lupa mematikan alat pemutar radionya ketika beranjak dari rumah. ”Waktu itu, pulang sekolah sering diomelin ibu, karena radio enggak dimatikan pas berangkat,” kenangnya.
Bagi Rizaldy, hanya ada dua opsi untuk mendengarkan lagu dari penyanyi atau band favorit kala itu. Mendengarkan lewat radio atau membeli kaset dan CD-nya. Masalahnya, untuk ukuran anak SMA yang mendapat uang saku Rp 10.000 per hari, sulit baginya untuk melakukan opsi kedua. Mau tak mau, mendengarkan radio menjadi pilihan.
Di kalangan teman SMA-nya waktu itu, siaran radio juga menjadi tempat untuk saling mengirimkan salam kepada teman. Kebetulan salah satu stasiun radio ternama di kotanya rutin menyiarkan program titip-titip salam pada malam hari pukul 19.00-21.00.
Saking antusiasnya remaja-remaja kala itu, salam yang disampaikan cukup membeludak. Tidak semua salam dapat disampaikan oleh penyiar. Jika salam berhasil dibaca, dapat dipastikan nama si pengirim akan menjadi buah bibir di kelas keesokan harinya.
”Emang aneh banget, sih, masa itu. Jadi, kalau salam kita dibaca, bangga banget rasanya. Padahal, salamnya simpel, misalnya buat teman-teman kelas 2A, semangat belajarnya, jangan lupa besok ulangan,” ungkap Rizaldy.
Ajang titip-titip salam ini kerap menjadi hiburan bagi Resty Adelyne (28). Meski mengaku tidak pernah mengirimkan salam lewat radio, salam-salam dari pendengar yang lain selalu dia simak.
”Lucu saja dengarnya. Aneh-aneh gitu salamnya. Kadang ada satu nama yang ngirim salam melulu, sampai hafal,” kenangnya.
Karyawati swasta asal Jakarta Barat ini mengaku sudah menjadi pendengar setia radio sejak kelas I SMP atau umur 12 tahun. Kegemaran orangtuanya terhadap musik mengantarkan Resty menjadi pendengar setia radio. Hampir setiap hari dia selalu mendengarkan siaran radio dari Prambors FM.
”Aku masih dengerin terus sampai kuliah. Sampai dibela-belain bawa boombox ke kamar indekos waktu itu. Kalau pas SMP-SMA dengerinnya pakai walkman,” katanya.
Saking menggandrungi radio, Resty punya penyiar-penyiar favorit lengkap dengan jam program siarannya. ”Setiap penyiar, kan, punya pembawaan yang beda-beda. Yang seru-seru aku ikutin terus,” ujarnya.
Kegemaran Resty berlanjut sampai sekarang. Dia masih sering memutar siaran radio ketika sedang bekerja. Bedanya, dia tidak lagi menunggu lagu-lagi keluaran terbaru, melainkan lagu-lagu 90’s.
Selain masih menjadi pendengar setia radio, Resty saat ini juga berlangganan platform pemutar musik Spotify. Menurut dia, lagu-lagu baru dapat dengan mudah dia dengarkan melalui platform pemutar musik.
”Aku sudah enggak dengar Prambors karena lagunya mudah didengar di Spotify. Apalagi di situ ada tangga lagu teratas. Aku dengerin-nya KIS FM karena muter lagu-lagu 90’s. Bisa buat nyari referensi juga,” ungkapnya.
Setiap penyiar punya pembawaan yang beda-beda. Yang seru-seru aku ikutin terus.
Cara Resty mendengarkan radio pun kini sudah berubah. Dulu, dia harus mencari frekuensi stasiun radio secara manual. Kini, dia lebih mudah mendengarkan radio melalui siaran streaming. Dari situ, stasiun radio yang dijangkau juga tidak terbatas.
Temani macet
Sementara Leonnie (29) kini hanya mendengarkan radio saat berada di dalam mobil, terutama saat berangkat ke kantor dari rumahnya di Bekasi, Jawa Barat, ke Jakarta Utara. Di luar itu, Leonnie mengaku tidak pernah mendengarkan radio.
”Pas diantar suami kerja pasti dengerin musik lewat radio. Biar enggak suntuk saja soalnya kadang macet,” katanya.
Leonnie kini cenderung memilih mendengarkan lagu-lagu baru melalui aplikasi Youtube. Selain itu, platform yang sama juga dia gunakan untuk mendengarkan beberapa podcast.
Menurut peneliti budaya pop Hikmat Darmawan, kemunculan podcast kini menjadi ancaman serius bagi radio yang merupakan media broadcast berbentuk audio. Kelebihan podcast adalah dapat diproduksi secara mandiri dan penayangannya tidak terikat waktu.
”Penonton punya kuasa untuk menonton. Kapan, di mana, dan apa temanya. Tidak ada batasan dari pihak penyiar,” katanya.
Hikmat menganggap, platform pemutar musik bukan menjadi pesaing utama radio. Platform pemutar musik yang menjamur saat ini cenderung menjadi pesaing serius dari alat pemutar musik konvensional, seperti alat pemutar kaset, CD, dan vinil.
Platform pemutar musik bukan menjadi pesaing utama radio. Platform pemutar musik yang menjamur saat ini cenderung menjadi pesaing serius dari alat pemutar musik konvensional, seperti alat pemutar kaset, CD, dan vinil.
Meski begitu, Hikmat menilai industri radio belum mati mengingat saat ini radio juga sudah bertransformasi dengan menyediakan siaran berbasis streaming. Hal ini memungkinkan setiap orang bisa mendengar radio apa pun dan di mana pun.
”Radio masih bisa memanfaatkan perkembangan digital untuk melampaui batas geografis broadcast-nya,” ujarnya.
Sebagai talk radio (medium bincang-bincang), posisi radio, menurut Hikmat, masih relatif kuat. Hanya saja, posisi radio sebagai hits maker (pengorbit lagu-lagu baru) saat ini sudah semakin memudar.