Node, Sepatu Berbahan Sekam
Konsep pengentasan masyarakat miskin yang diusung Node lewat industrialisasi biokomponen mode dari komoditas melimpah, limbah tani, dan tanaman lahan marjinal memikat CEO World Fashion Exhibition Paco De Jaimes.
Masih menapaki pasar domestik, Node justru lebih dulu meraih apresiasi di mancanegara. Bagian dari sepatu itu dibuat dari bahan melimpah, lagi murah. Sekam yang kerap teronggok dimanfaatkan untuk produk bernilai tinggi.
Sepatu itu tampak trendi dengan warna biru dongker beraksen kuning pekat di sisinya. Label Node berhuruf artistik, tertera di sisi kasut tersebut. Sekilas, seperti alas kaki kebanyakan. Setelah dikenakan, baru bisa diketahui bedanya.
Selain sesuai selera anak muda, telapak Node mencengkeram lebih kuat. Di bagian bawah sol juga terlihat alur diagonal untuk mencegah selip. Sewaktu dijejak-jejakkan, Node awalnya sedikit kaku, tetapi setelah dipakai sejenak, kaki jadi terbiasa.
Sepatu hasil kerja sama Balai Besar (BB) Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pascapanen Pertanian Badan Litbang Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian (Kementan) dan PT Triangkasa Lestari Utama (TLU) itu punya bantalan yang cukup elastis. Ternyata, Node masih menyimpan kejutan lain.
”Itu dibuat dari nanopartikel silika sekam,” ujar Peneliti Ahli Madya BB Litbang Pascapanen Pertanian Hoerudin di Bogor, Jawa Barat, Selasa (9/2/2021). Tentu saja, nanopartikel yang kerap disebut biosilika itu hanya salah satu bahan baku.
”Istilah biosilika digunakan untuk membedakan silika sekam dari silika lain yang sumbernya anorganik,” ungkap Dede, panggilan akrab Hoerudin. Biosilika digunakan untuk sol. Kandungan biosilika dalam sepatu tersebut berkisar 17-18 persen.
”Pertimbangan kami, sekam melimpah dan murah di Indonesia, juga umumnya belum banyak dieksplorasi untuk pemanfaatan bernilai ekonomi tinggi,” katanya. Jika produksi padi di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik diperkirakan 55,16 juta ton pada tahun 2020, limbah sekamnya sekitar 11 juta ton.
Masih impor
”Kalau 20 persen saja dari sekam itu silika, bisa didapatkan 2,2 juta ton. Padahal, kita masih impor,” ucap Dede. Pemanfaatan itu juga bisa mengurangi pencemaran. Tumpukan sekam memicu debu dan pembakaran sembarangan menimbulkan asap.
Teknologi produksi biosilika lantas diteliti dan dikembangkan Balitbangtan. Sekam diproses untuk memisahkan silika dari karbon, selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Pemisahan itu sederhana saja. ”Setelah sekam jadi abu melalui pembakaran langsung, bahan-bahan pengotor itu berkurang atau mulai hilang,” katanya.
Asap hasil pembakaran dapat dikondensasi untuk meminimalkan polusi dan menghasilkan asap cair. Ekstraksi lalu dilakukan untuk mengambil biosilika. Silika sudah banyak digunakan di industri, tetapi umumnya bersumber dari tambang atau sintetis.
Kementan mempromosikan teknologi produksi biosilika dari sekam yang dipresentasikan Dede dalam Agro Inovasi Fair di Bogor tahun 2017. Pameran teknologi baru Kementan itu dihadiri direksi TLU, perusahaan produk karet yang tertarik menggunakan biosilika.
”Model (sepatu) sneakers berkembang pesat. Pekerja zaman sekarang senang pakai busana kasual. Masyarakat juga kian sadar pelestarian alam,” katanya. Produk ramah lingkungan semakin diperhatikan. Tren pun bergerak demikian intens menuju mode berkelanjutan.
Data empiris yang dihimpun bersama TLU menunjukkan, sepatu lebih lentur dengan biosilika dari sekam. Biosilika itu, berdasarkan pengamatan dengan mikroskop elektron, berukuran skala nanometer. Secara empiris, nanopartikel berbeda sifat fungsionalnya dengan bahan berukuran mikro.
Dede yang juga Koordinator Program dan Evaluasi BB Litbang Pascapanen Pertanian itu menambahkan, biosilika dari sekam lebih amorf. ”Keunikan itu menopang keunggulan sol lebih lentur, membal (bouncing) jika ditekuk, serta tahan sobek dan kikis dibandingkan sepatu berbahan silika komersial,” ujarnya.
Tak hanya konsumen, produsen mengenyam manfaat dengan pembuatan sol yang lebih singkat 20-30 persen. Suhu yang diperlukan juga 20 derajat celsius lebih rendah. ”Kalau pakai biosilika, TKDN (tingkat komponen dalam negeri) tentu meningkat, yang sebelumnya diimpor,” pungkasnya.
Pameran dunia
Promosi Node dan penetrasi pasar terus digencarkan. Berdasarkan situs Node Organic, harga sepatu seri Bio Sneakers itu mulai Rp 528.000 hingga Rp 759.000. ”Sejak peluncuran pada November 2020, sekitar 300 sepatu sudah terjual. Sepatu masih dijual secara daring,” ujar pemilik TLU, David Chrisnaldi.
Ia berupaya membangun ekosistem industri komponen biomaterial untuk memproduksi Node. Komponen sepatu diproduksi di Sukabumi, Jawa Barat, dengan penjahitan di Surabaya, Jawa Timur. ”Sebagian kain didapatkan di Bandung (Jawa Barat) dan Wonosobo (Jawa Tengah). Beberapa komponen masih diimpor, tetapi kami juga berdayakan UKM setempat,” ucapnya.
Node justru membetot perhatian di luar negeri. Sepatu itu terpilih sebagai satu-satunya wakil Indonesia untuk menciptakan adikarya biosneakers dari 100 persen biokomponen untuk World Fashion Exhibition. Pameran itu mempromosikan busana dan aksesori ramah lingkungan dari 195 negara.
Konsep pengentasan masyarakat miskin yang diusung Node lewat industrialisasi biokomponen mode dari komoditas melimpah, limbah tani, dan tanaman lahan marjinal memikat CEO World Fashion Exhibition Paco De Jaimes. Produk-produk terpilih akan diperagakan bergiliran, antara lain di Inggris, Spanyol, Jepang, dan Perancis, selama setahun hingga Mei 2021. Ekshibisi itu juga bertujuan mengentaskan penduduk miskin di Afrika.
”Kalau hasil lelang masterpiece kami menggembirakan, Node bisa berpartisipasi dalam peragaan busana di Paris, Oktober nanti,” ujarya. David berupaya mengatasi tantangan benang, ujung tali sepatu, dan lubang (eyelet) yang masih mengandung plastik agar lebih konsisten dalam konsep ramah lingkungan.
”Karet biosilika kami desain mulai mengeras sesudah tiga tahun kemasan dibuka. Kalau sudah empat tahun bisa dipatahkan. Ditimbun di tanah akan terurai,” kata David. Upaya membuktikan kelebihan itu diaktualkan lewat kiriman sampel ke Selandia Baru untuk diuji mikrobakterinya dengan ISO 14855-1 dan hasilnya akan diketahui pada pertengahan tahun 2021.
Sol biogradable itu pun disuplai untuk perusahaan rintisan di Selandia Baru dengan merek Linax. Node, akronim dari no deforestration, merupakan ikhtiar sesuai arti jenama itu untuk mengurangi penebangan hutan. David memaknai produknya semata satu kepingan dari gerakan massa peduli lingkungan hidup.
Kepala Balitbangtan Fadjry Djufry mengatakan, Node dianggap salah satu lompatan inovasi yang sarat manfaat. Di balik sepatu itu terdapat pemanfaatan limbah, peningkatan nilai tambah, daya saing, substitusi impor, dan pelestarian lingkungan.
”Kami terus mendorong penciptaan inovasi yang memberikan nilai tambah hasil pertanian secara berkelanjutan seiring upaya pemerintah meningkatkan kesejahteraan petani,” katanya.