Lori Panjang Laila Tifah
Ifah tidak menunggu momentum. Ia menciptakan momentum dan terus mencari jawaban atas pertanyaan yang selama ini mengalir, ”Untuk apa berkarya?”
Lori, ya dengan lori, akan kujemput kau.
Kereta beratap langit, beraroma batang tebu,
bersuara derit, mengalun pelan.
Loncat! Naiklah untuk mendapatkan waktumu, kapan pun itu!
Aku berjanji, lori akan mengantarmu kembali pulang.
Dengan kemudaanmu, kesegaranmu, kecerahanmu.
Puisi pendek ini diberi judul Tamasya, karya perempuan seniman Laila Tifah (50) asal Yogyakarta, yang disematkan untuk sebuah lukisan lori panjang pengangkut tebu yang dinaiki delapan perempuan mengenakan kain jarit. Lewat lukisan ini, Ifah, sapaan Laila Tifah, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, menawarkan waktu agar sebisa mungkin bersukaria dari yang ada.
Ifah menawarkan me-time untuk mencari sejenak saat untuk mencinta diri. Lukisan ”Tamasya” berdimensi 185x300 sentimeter dengan media cat akrilik di atas kanvas (2020) ini hadir di antara sekitar 40 lukisan dan 8 sketsa yang ditampilkan dalam pameran tunggal berjudul Sri, di Jogja Gallery, Yogyakarta, 7-17 Februari 2021.
Catatan kuratorial disampaikan Aa Nurjaman. Ia merujuk istilah ”sri” sebagai simbol kaum laki-laki, sekaligus untuk perempuan. Ada sebutan Sri Baduga Maha Raja untuk Prabu Siliwangi atau Sri Amurwabhumi untuk gelar Ken Arok. Dari keduanya, penggunaan kata ”sri” merujuk kepada laki-laki. Dari sebuah legenda, ada Dewi Sri atau Dewi Padi. Di sini kata ”sri” merujuk pada perempuan.
”Inspirasinya adalah ibu,” tulis Nurjaman, yang mengartikan ibu itu sebagai ibu kandung Ifah.
Menurut Nurjaman, Ifah menunjukkan kekuatan seni. Ia melukiskan kedalaman dari pengalaman yang tak tampak, membunyikan hal yang tak tersuarakan, memperkatakan hal yang tak terucapkan, menarik inti batin yang tak terungkapkan.
Seperti lukisan lori panjang. Ifah melukiskan kedalaman perasaan dan pengalaman yang selama ini tersembunyikan. Bahwa perempuan-perempuan di desa yang saban hari bergiat di sawah ditangkap seperti tak sempat menemukan waktu untuk mencintai diri. Ifah membunyikan suara yang tak tersuarakan.
Kepasrahan
Ifah pun terkesan dari suatu perbincangan dengan Nurjaman ketika menyinggung karya sastra modern yang menggunakan istilah ”sri” sebagai simbol watak perempuan Jawa. Nurjaman menyuguhkan novelet gabungan karya Umar Kayam berjudul, Sri Sumarah dan Bawuk.
Pada hakikatnya, Ifah menangkap dimensi kepasrahan yang unik pada diri wanita Jawa. Kepasrahan itu bukan pada penyerahan diri belaka kepada situasi. Kepasrahan diiringi pengenalan diri untuk penerimaan diri apa adanya. Di balik itu, kepasrahan total bukan berarti diam tak bergerak. Kepasrahan total justru untuk bergerak terus mengembangkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Ifah selama ini dilanda banyak kecemasan atas tubuhnya yang memiliki diabetes. Seperti Sri Sumarah, Ifah akhirnya menemukan kepasrahan. Justru di balik penerimaan dan kepasrahan diri itu meletupkan gairah panjang yang tidak terduga-duga untuk berkarya.
Ifah mengobati kecemasan dengan terus bergerak seperti gasing. Ia melukis banyak hal yang bertolak dari dalam diri. Seperti lukisan yang ditaruh paling awal diberi judul ”Karbo I”, dengan media cat akrilik di atas kanvas berukuran 160x160 sentimeter (2018).
Dilukiskan tiga figur manusia di hamparan sawah padi menghijau. Di sisi kiri dan kanan berdiri sosok laki-laki dan perempuan yang keduanya bertubuh tambun. Mereka mengapit sosok laki-laki yang kurus langsing.
”Saya ingin menggambarkan padi itu mengandung karbohidrat tinggi yang harus saya kurangi untuk menjaga kesehatan,” ujar Ifah, yang mungkin saja menempatkan diri sebagai figur manusia kurus langsing yang mengurangi konsumsi karbohidrat dari nasi.
Ifah menggunakan aura warna hijau untuk tubuh-tubuh manusia, sekaligus latar sawah padi serta pegunungan di kejauhan. Warna hijau menebar harapan sekaligus ketenangan Ifah untuk menghadapi persoalan ketubuhannya.
Warna hijau pada karya-karya berikutnya juga memukau. Karya berjudul ”Anomali” dengan media cat akrilik di atas kanvas berukuran 200x300 sentimeter (2019), di keseluruhan bidangnya diisi hamparan sawah padi menghijau.
Karya ”Himpitan Harau” dengan media cat minyak di atas kanvas 190x190 sentimeter (2019) mulai menghadirkan warna lain keungu-unguan sebagai tebing jurang yang mengimpit sawah hijau di lembahnya. Lukisan ini terinspirasi Lembah Harau di Sumatera Barat, tempat muasal ayah kandungnya yang telah lama menetap dan menikah dengan perempuan asal Yogyakarta.
Aura hijau juga mendominasi karya ”Tamasya” dengan lori panjangnya. Termasuk pada karya ”Tanpa Beban” dengan media cat akrilik di atas kanvas 1885 x 300 sentimeter (2020).
Karya ”Tanpa Beban” melukiskan barisan figur perempuan dan laki-laki yang menyunggi hasil panenan padi di kepalanya. Meski menyunggi beban berat di kepala, mereka seperti tanpa beban. Ifah menangkap kilatan gairah hidup mereka, manusia-manusia desa yang tanpa beban.
Karya berikutnya menunjukkan metafora kebebasan berjudul, ”Freedom”, dengan media cat akrilik di atas kanvas 130x130 sentimeter (2018). Ifah melukis hamparan sawah padi menghijau, disertai jemuran selendang berkibar-kibar diterpa angin.
Angin menghadirkan kesejukan. Angin memberi kesegaran. Ifah menangkap angin memberi daya pembebasan dan kebebasan. Dari sinilah Ifah membenamkan diri dan larut dalam konsep karya kebebasan yang dituliskannya, ”Aku tidak menunggu momen. Aku mencari dan menciptakan momen dalam berkarya.”
Tantangan terberat
Ifah menemukan tantangan terberat dalam berkarya bukan pada segi teknik, melainkan justru menjaga pikiran untuk selalu aktif, baik pikiran dari alam sadar maupun bawah sadar.
”Aku bisa memikirkan suatu benda, orang, atau peristiwa, dalam waktu lama dan itu bisa menggangguku,” ujar Ifah, seraya menjelaskan gangguan itu akan terus mengganggu hingga bisa diwujudkan pemaknaannya dan menjadi sebuah karya.
Untuk itulah, dalam proses berkarya, Ifah tidak menunggu momentum. Ia menciptakan momentum dan terus mencari jawaban atas pertanyaan yang selama ini mengalir, ”Untuk apa berkarya?”
Nurjaman menilik sudut pandang Ifah bertitik pangkal pada persoalan-persoalan sosial kemanusian dan kenyataan diri Ifah dalam keadaan diabetes. Ada perasaan sakit berkepanjangan dan memunculkan perasaan cemas.
Nurjaman meminjam penjelasan Sigmund Freud tentang bagaimana subyek dan identitas manusia terbentuk. Pada dasarnya, manusia termotivasi untuk mencari kenikmatan dan mereduksikan ketegangan serta kecemasan. Motivasi dihadirkan oleh energi-energi fisik yang berasal dari insting.
”Inilah Ifah yang berhasil mengubah kecemasan menjadi motivasi,” tutur Nurjaman.
Karya lukisan Ifah yang berjudul, ”Jamuan Tanpa Nasi” (2014) dan ”Efek Jera” (2019), memberi gambaran gambling akan kecemasan yang akhirnya diubah menjadi motivasi untuk mewujudkannya menjadi karya. Begitu pula karya lukisan yang diberi judul, ”Di Mana Bakcang”.
Ifah sendiri menyadari tidak semata ingin mengeksploitasi diabetes yang ada di tubuhnya. Ifah juga tidak ingin terlihat sebagai obyek penderita karena penyakit ini.
Kreativitas bagi Ifah dimulai dari doa. Doa membangkitkan kesadaran. Doa melahirkan semangat hidup seperti ditunjukkan melalui gairah para perempuan berkain jarit naik ke lori-lori panjang Ifah, seraya Ifah berujar dalam akhir puisinya, ”Aku berjanji, lori akan mengantarmu kembali pulang. Dengan kemudaanmu, kesegaranmu, kecerahanmu.”