Sebelum terjun ke dunia teater boneka, Ria pernah belajar dan bekerja di studio keramik. Saat pandemi, dia kembali menekuni dunia lamanya itu. Sebuah eksplorasi medium baru untuk karyanya, ”1200º”.
Oleh
Fransisca Romana Ninik
·2 menit baca
Bertahun-tahun bergelut dengan material kertas, kayu, dan rotan untuk boneka, kelompok Papermoon Puppet Theatre mengeksplorasi keramik untuk karya terbaru mereka, 1200°. Karya ini bertutur tentang keinginan dan kebutuhan seseorang untuk bisa memilih.
Direktur Artistik Papermoon Puppet Theatre Maria Tri Sulistyani, Selasa (9/2/2021), menuturkan, proses dan wujud keramik menarik untuk merepresentasikan kisah tentang kerapuhan sekaligus kekuatan. ”Saya mulai pegang keramik lagi sekitar Oktober 2020 dan terpikir medium ini menarik untuk bagian tubuh boneka,” ujar Ria, sapaan akrabnya.
Sebelum terjun ke dunia teater boneka, Ria pernah belajar dan bekerja di studio keramik. Saat pandemi, dia kembali lagi menekuni dunia lamanya itu.
Bertepatan dengan undangan dari Asia Foundation untuk membuat karya yang mengangkat delapan pilar, antara lain difabel, transpuan, kekerasan seksual terhadap anak, masyarakat adat, Papermoon melahirkan pertunjukan sinematik yang ditampilkan secara daring.
”Kami memilih salah satu pilar, yakni transpuan. Sebenarnya kami juga awam soal isu itu dan medium kami belum akrab dengan teman-teman komunitas transpuan. Keramik ini ternyata pas sekali dengan kisah mereka,” kata Ria.
Kesan yang muncul pada transpuan, lanjut Ria, adalah rapuh. Tak banyak yang mau bersentuhan dengan mereka dengan alasan takut stigma. Namun, mereka juga kuat karena ditempa perjuangan hidup yang berat. ”Sama seperti keramik dari tanah liat yang rapuh, lalu harus dibakar 1.200 derajat untuk menjadi indah,” ujarnya.
Papermoon, yang digawangi Ria, Iwan Effendi, Anton Fajri, Beni Sanjaya, dan Pambo Priyojati Ranuhandoko, lantas menggabungkan antara cerita-cerita yang terilhami dari kehidupan transpuan dan proses pembuatan keramik menjadi karya pertunjukan teater boneka yang menutup rangkaian perhelatan ”Suara Lantang dari Pinggir” pada 6 Februari 2021.
Meski terinspirasi isu transpuan, 1200° secara umum menggambarkan situasi manusia untuk mengejar impian mereka. Itu tergambar dari boneka yang tidak sepakat dengan apa yang tertempel di tubuhnya, lalu mencoba mengganti sesuai keinginannya.
Menurut Ria, hal itu bisa terjadi kepada setiap orang. Dalam memilih berbagai hal, seperti sekolah, pekerjaan, bahkan jodoh, ada saja campur tangan orang lain yang sebenarnya tidak seperti keinginan diri kita.
Selain mengeksplorasi medium baru, Papermoon juga menyisipkan hal baru dalam pementasan 1200°, yakni mengurangi bunyi latar pentas. Dalam banyak pementasan Papermoon, musik latar digarap dengan baik untuk mendukung cerita teater boneka yang nirkata.
”Kali ini kami mencoba mengurangi musik latar dan lebih menonjolkan bunyi-bunyi yang kita dengar sehari-hari. Tujuannya supaya kita punya atensi lebih besar terhadap hal-hal kecil di sekitar kita,” tutur Ria.