Tujuannya kali ini bukan sekadar bisnis, melainkan juga misi kemanusiaan. Terlebih lagi di tengah situasi serba sulit saat ini dan bencana yang bertubi-tubi di Indonesia.
Oleh
Riana A Ibrahim
·5 menit baca
Dalam hidup, semua orang selalu berharap yang terbaik. Namun, banyak hal di luar kendali manusia, termasuk bencana yang datang tak terduga. Di tengah kondisi normal, ada kesempatan mempersiapkan diri. Sayangnya, kadang kita lupa.
Berbekal naluri seorang ibu, Reni Prima Castri (33) menyusun tas siaga bencana khusus bagi keluarganya untuk berjaga-jaga. Memiliki tiga anak yang masih kecil, bahkan si bungsu yang masih balita membutuhkan perhatian lebih, membuat Ima, sapaan akrabnya, tak mau kecolongan. Hanya dengan tas ransel yang ada di rumah, ia mengisinya dengan baju, uang, obat-obatan, makanan, minuman, dan senter.
”Itu 2019, sempat bikin ala kadarnya setelah Hadiyya lahir. Karena she’s special dengan kondisinya begitu, ya, jadi aku harus ready whenever she needs me. Makanya, aku bikin. Tapi, karena dibikin tanpa belajar, ya, ngisinya enggak sesuai yang seharusnya,” tutur Ima.
Ia melanjutkan, ”Pas awal pandemi kami buka, isinya expired semua. Senternya rusak karena baterai harusnya, kan, enggak boleh dipasang kalau disimpan gitu.”
Apabila ditarik mundur, sejak 2012, Ima telah menyadari pentingnya memiliki tas siaga bencana setelah mengikuti pelatihan mitigasi yang dilakukan petugas pemadam kebakaran semasa dirinya bekerja di sebuah perusahaan swasta. ”Waktu di kosan itu, aku punya, lho. Ya, isinya cuma baju, uang, sama makanan aja. Dari situ, aku udah niat kalau udah nikah harus punya,” katanya.
Namun, yang terjadi, ia dan suami melewatkan niat itu. Berbagai keperluan sehari-hari hingga kebutuhan lain mengakibatkan keberadaan tas siaga bencana untuk keluarga selalu tertunda. Tiba pada 2019. lewat kehadiran putri kecilnya, disusul pada 2020 saat muncul berita potensi megathrust di Pulau Jawa yang membuatnya ketar-ketir.
”Kalau misalnya kejadian benar, aku harus gimana. Tidurnya juga, kan, di lantai dua, gimana ngangkat anak tiga? Terus habis itu mesti lewat mana akses keluar. Aku langsung mikir harus belajar mitigasi, nih. Gimana aku bisa menyelamatkan anak-anak. Belajar dari 2019 juga, aku makin niat bikin tas siaga yang benar kayak gimana,” ungkapnya.
Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) ini pun mulai membaca artikel hingga jurnal terkait siaga bencana beserta mitigasinya. Bermacam video edukasi pun ditontonnya. Dari sebuah rilis terkait Sustainable Development Goal’s, ia menemukan 98 persen orang di Indonesia tidak tersentuh edukasi mitigasi bencana.
Jika merujuk pada kondisi geografis Indonesia, potensi bencana, terutama gempa, cukup besar. ”Dari situ mikir, ini semua orang pasti butuh. Kita lihat ada problem dengan mitigasi dan ada solusinya, kok. Kita belajar untuk nyari solusinya dan bikinnya S!AP ini,” ujarnya menyebut satu jenama yang ia buat itu.
Tas siaga bencana yang bernama S!AP dibesut sesuai dengan standar yang ada. Masukan dari berbagai pihak yang paham mengenai kebencanaan digunakannya untuk memenuhi kualitas sekaligus tepat guna. Kesulitan dirasakan ketika melakukan survei untuk menyusun isi tas siaga bencana ini.
Untuk tas, ia bekerja sama dengan vendor untuk membuat ransel yang kuat dengan banyak kantong. Tas siaga bencana ini perlu berwarna terang dan memiliki banyak kantong agar memudahkan untuk meletakkan berbagai barang darurat dan dapat diakses dengan mudah. Meski tak tertutup kemungkinan, bisa juga menggunakan ransel apa saja yang sudah ada di rumah.
Salah satu yang disurvei dengan sangat teliti adalah senter dan makanan. Ransum ini dipilih biskuit tinggi kalori yang bisa menahan lapar hingga enam jam. Ia dan suaminya pun membuktikan sendiri dengan mencoba biskuit itu. Untuk senter, ada dua jenis, yakni senter LED dan senter pompa. Pilihan senter pompa ini untuk berjaga jika listrik tidak segera menyala dan kesulitan mengisi daya.
Selain mempertimbangkan fungsi, ia menginginkan harga tas siaga bencana ini terjangkau. ”Kenapa harus terjangkau? Ya, biar orang mau siap-siap. Karena ini, kan, bukan kebutuhan yang kelihatan. Pikirannya, kalau aku enggak beli sekarang atau enggak punya sekarang, ya, enggak apa. Padahal, kita enggak tahu kapan ada bencana. Jadi, sebenarnya ini primer, tapi enggak disadari harus ada,” jelasnya.
Empat paket S!AP pun diluncurkan pada September 2020 dan mendapat respons luar biasa. Paket pertama yang ditawarkannya lengkap tas beserta isinya. Isinya terdiri dari makanan, tablet disinfektan untuk air, senter, obat-obatan, peralatan darurat seperti satu set pisau lipat, peluit, jas hujan, sarung tangan, handuk, alat mandi, jeriken lipat, gelas lipat, bantal tiup, dan map plastik (untuk menyimpan surat berharga, uang, hingga foto keluarga). Kemudian, ada juga pulpen, buku catatan, karpet outdoor, dan selimut darurat yang terbuat dari aluminium foil.
Untuk paket kedua hingga keempat hanya ditawarkan isinya saja dengan kelengkapan berbeda berbasis harga yang berbeda juga. Namun, mengingat situasi pandemi, semua paket dilengkapi dengan topi dan masker sebagai pelindung diri juga di luar rumah. ”Idealnya, di (masa) pandemi gini, satu keluarga berjaga punya satu tenda doom sendiri,” katanya.
Berkaca dari kejadian gempa di Mamuju dan Majene, Sulawesi Barat, para pengungsi harus menempati satu tenda bersama sembilan keluarga lain. Tidak terbayang di masa pandemi yang mengharuskan untuk menjaga jarak agar menghalangi penularan, tetapi karena keadaan, mau tidak mau harus menerima situasi tersebut.
S!AP pun mempertimbangkan hal itu. Akan tetapi, saat ini yang tersedia masih sebatas karpet outdoor dan selimut darurat.
Tak mudah
Meski berhasil masuk sebagai salah satu UMKM inspiratif lewat Festival Jagoan Lokal yang dibesut Kompas Gramedia beberapa waktu lalu dan mendapat respons baik, Ima mengatakan, perjalanannya bersama S!AP tak mudah. Tas siaga bencana ini hanya salah satu cara untuk berjaga. Hal penting lainnya adalah edukasi tentang mitigasi bencana.
Sembari memperkenalkan produknya, ia pun tak berhenti berkeliling untuk berbagi ilmu dan juga menambah pengetahuan terkait kebencanaan. ”Ya, kadang baper (terbawa perasaan) juga. Karena ini kan enggak biasa, ya, sebenarnya. Mengajak orang melakukan (upaya) preventif di kondisi normal. Karena orang kita ini kadang baru bergeraknya setelah kejadian. Do something after disaster happened,” ujarnya.
Akan tetapi, ia mengingat kembali, tujuannya kali ini bukan sekadar bisnis, melainkan juga misi kemanusiaan. Terlebih lagi di tengah situasi serba sulit saat ini dan bencana yang bertubi-tubi di Indonesia, mulai dari banjir, gempa, hingga erupsi gunung. Hal itu membakar semangatnya untuk terus mengajak lebih banyak orang menyadari pentingnya pengetahuan kebencanaan dan mempersiapkan dengan semestinya. Agar tidak menyesal di kemudian hari.