Ketika kain diproduksi di Indonesia, bukan hanya memberi lapangan kerja di sepanjang rantai pasoknya, jejak karbon juga rendah karena jarak transportasi materi relatif dekat dari sumber hingga konsumen akhir.
Oleh
Ninuk M Pambudy
·5 menit baca
Sejak lama muncul pertanyaan, mengapa sepanjang tahun ada lebih dari dua kali musim pergelaran arah mode sementara busana dan aksesori dari musim sebelumnya masih dapat dikenakan? Pandemi Covid-19 mengubah cara orang memandang mode dan jejaknya dapat bertahan.
Perancang busana Edward Hutabarat sudah mengolah kain yang ditenun memakai alat tenun bukan mesin menjadi berbagai produk busana. Edo, panggilannya, terbiasa bekerja dengan perajin tenun lurik, batik, ulos, tenun Nusa Tenggara Timur, dan lainnya lagi.
Sejak lima tahun lalu, dia memutuskan memanfaatkan seutuhnya kain-kain itu. Selain diolah menjadi busana, potongan yang tak tersisa dimanfaatkan untuk bermacam produk ikutan, mulai dari tas, kantung, hingga peralatan dalam rumah. Edo mengaku, pelanggannya menyukai produk-produk tersebut.
Edo adalah salah satu desainer Indonesia yang merancang tanpa mengikuti tren yang ditentukan setiap tahun dua hingga empat kali melalui peragaan busana di kota-kota pusat mode dunia.
Begitu juga perancang muda Rama Dauhan, beberapa tahun terakhir memilih jalur mode bukan fast fashion dan lebih ramah lingkungan. Dia menggunakan pewarna alam secang, kunyit, tunjung, dan bermacam daun serta tidak membuat limbah berbahan kimia sintetis. Hasilnya tampak pada Boemi Poetra, koleksi terakhirnya yang terinspirasi perempuan Indonesia.
Di sisi konsumen, juga muncul kebutuhan untuk tidak begitu saja mengikuti dorongan pasar. Didiet Maulana sejak dua tahun lalu menerima permintaan pelanggan yang ingin bajunya di-upcycle.
”Mungkin karena bosan sementara pakaiannya masih bagus atau ada juga yang kini mengenakan jilbab sehingga pakaiannya perlu dimodifikasi,” papar Didiet.
Dia juga membuat pakaian dengan gaya yang dapat bertahan hingga beberapa tahun ke depan serta menggunakan bahan dengan pewarna alami dan campuran dengan bahan buatan pabrik.
Berubah
Mode terus bergerak meskipun pandemi Covid-19 mendera. Namun, pandemi meninggalkan dampak dalam bagi mode, industri terbesar ketiga di dunia setelah otomotif dan industri teknologi.
Beberapa merek besar dunia menutup sejumlah toko fisik mereka dan beralih ke e-dagang. Majalah The Economist (16-22 Januari 2021), misalnya, menyebut grup Inditex dari Spanyol yang memiliki merek Zara, Massimo Dutti, dan Bershka untuk pertama kali sejak menjadi perusahaan publik menutup lebih banyak toko daripada membuka toko baru.
Banyak pemikir dan lembaga konsultansi menyebut pandemi Covid-19 akan mengubah cara hidup dan sebagian perubahan akan menetap.
Pembatasan kegiatan yang memaksa orang beraktivitas dari rumah menyurutkan kebutuhan akan mode.
Selain kesempatan menampilkan diri untuk dilihat orang lain menjadi sangat terbatas, pada kelompok menengah-atas masih ada rasa ketidakpastian akan masa depan, seperti diperlihatkan rangkaian survei berkala Litbang Kompas tahun 2020.
Pada saat yang sama, pandemi Covid-19 juga memunculkan kesadaran baru tentang keberlanjutan agar manusia dan Bumi dapat sintas. Terutama pada generasi muda, kesadaran terhadap keberlanjutan lingkungan menjadi pertimbangan ketika berkonsumsi, bekerja, bahkan bereproduksi.
Survei Yayasan Indonesia Cerah terhadap lebih dari 8.000 responden berusia 21-30 tahun di 34 provinsi yang diluncurkan 25 September 2020 menunjukkan, 88 persen responden merasa khawatir dan sangat khawatir akan dampak lingkungan krisis iklim.
Isu perubahan iklim akibat naiknya suhu muka bumi dianggap lebih mengancam keberlanjutan daripada pandemi Covid-19. Pelepasan gas karbon dari kegiatan manusia ke udara menjadi semacam selimut di atmosfer dekat permukaan bumi sehingga panas yang dipantulkan permukaan bumi tidak dapat lepas ke langit lebih tinggi.
Mode menjadi salah satu industri penyumbang karbon dan polusi terbesar. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) yang dikutip Bank Dunia pada September 2019 menyebut industri mode menyumbang 10 persen emisi karbon. Emisi ini lebih banyak daripada yang disumbangkan seluruh penerbangan dan kapal laut per tahun.
Ironisnya, 85 persen garmen yang dibeli berakhir di tempat pembuangan, separuhnya belum pernah dipakai, untuk kemudian dibakar dan menghasilkan karbon.
Selain karbon, garmen membuang sekitar setengah juta ton limbah plastik serat mikro ke laut, setara 50 miliar botol plastik, saat dicuci. Karena plastik serat mikro tidak terurai di alam, maka akan masuk ke dalam rantai makan dan berakhir di tubuh manusia.
Salah satu penyumbang terbesar polusi mode adalah industri fast fashion yang menghasilkan produk dengan harga sangat terjangkau dan mendorong orang terus berbelanja.
Forum Ekonomi Dunia (WEF) mencatat, perusahaan busana di Eropa memproduksi hanya dua koleksi per tahun pada 2000, tetapi menjadi lima koleksi pada tahun 2011. Perusahaan besar Eropa Barat yang produknya sangat populer mengeluarkan sampai 24 koleksi, sementara perusahaan dari Eropa Utara membuat 12 sampai 16 koleksi per tahun.
Alternatif
Era fast fashion diprediksi akan berubah. Kampanye untuk berbelanja mode secara rasional dan ramah lingkungan juga dilakukan para desainer sendiri, antara lain Vivienne Westwood dan Stella McCartney dari Inggris.
Sebagian besar desainer mode Indonesia tidak bergerak dalam fast fashion. Tidak sedikit mereka yang menggunakan bahan baku berjejak karbon rendah karena diproduksi memakai ATBM dan menggunakan pewarna dari bahan alam.
Ketika kain diproduksi di Indonesia, bukan hanya memberi lapangan kerja di sepanjang rantai pasoknya, jejak karbon juga rendah karena jarak transportasi materi relatif dekat dari sumber hingga konsumen akhir.
Jejak karbon semakin rendah karena hampir semua materi dimanfaatkan hingga habis. Rama dan Didiet memanfaatkan potongan kain yang tidak terpakai untuk aksesori lain. Rama bekerja sama produsen lokal ramah lingkungan yang mendaur ulang sisa kain menjadi, antara lain, penutup makanan cling wrap setelah dilapisi malam lebah.
”Nyatanya peminat antre,” ujar Edo tentang busana dan produk kain percanya.
Walakin, perlu ada kampanye dan dukungan konkret bagi pelaku UKM yang mendominasi ekonomi kreatif Indonesia untuk menjalani ekonomi hijau. Inilah yang digadang-gadang menjadi masa depan Indonesia.