Menata Bekerja dari Rumah, Mempersiapkan Realitas Masa Depan
Pola kerja jarak jauh dinilai masih akan bertahan setelah pandemi. Sebagian besar pekerja di Indonesia pun menyatakan siap dengan pola kerja jarak jauh untuk jangka panjang. Namun ada hal-hal perlu diperhatikan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Nyaris setahun sudah sebagian orang di dunia bekerja dari rumah. Fleksibilitas tempat dan waktu jadi keunggulan bekerja jarak jauh. Pola kerja seperti ini diperkirakan bakal bertahan setelah pandemi usai.
Sebagian tenaga kerja pun siap dengan kemungkinan kerja jarak jauh (remote working) untuk jangka panjang. Ini sesuai dengan hasil survei dari Dell Technologies dan Kantar, firma riset global. Survei dilakukan terhadap 7.192 karyawan pada Oktober 2020 di tujuh negara, yakni Indonesia, Australia, India, Jepang, Malaysia, Singapura, dan Korea Selatan (negara Asia Pasifik dan Jepang/APJ). Dari jumlah itu, sebanyak 1.030 responden dari Indonesia.
Hasilnya, 81 persen responden di Indonesia menyatakan siap bekerja jarak jauh untuk jangka panjang. Sebanyak 55 persen responden merasa perusahaan tempat mereka bekerja mendukung hal tersebut. Sementara itu, di APJ, ada 81 persen responden siap bekerja jarak jauh untuk jangka panjang. Sebanyak 46 persen responden APJ menilai perusahaan mendukung cara kerja itu.
Kendati siap, ada beberapa hal yang jadi tantangan karyawan. Sebanyak 33 persen responden Indonesia mengaku khawatir jika kehidupan profesional dan pribadi mereka jadi tercampur. Kekhawatiran lain mereka adalah tentang stabilitas jaringan internet (32 persen) dan kurangnya interaksi dengan perusahaan (31 persen).
Dukungan teknologi juga jadi isu besar bagi para pekerja. Hanya 54 persen pekerja di Indonesia yang setuju perusahaan mereka telah berupaya maksimal menyediakan sumber daya teknologi yang dibutuhkan. Masih ada 32 persen responden yang menggunakan perangkat pribadi untuk bekerja.
Ada 41 persen yang sepakat bahwa stabilitas jaringan jadi tantangan terbesar dari kerja jarak jauh. Hal ini termasuk koneksi internet. Adapun 28 persen lainnya merasa kesulitan mengakses sumber daya internal perusahaan dari rumah.
“Para pekerja mengharapkan tiga sumber daya teknologi dari perusahaan mereka. Pertama, perangkat produktivitas sebanyak 42 persen responden. Kedua, jaringan yang stabil sebanyak 39 persen. Ketiga, akses ke sumber daya internal perusahaan sebesar 32 persen,” kata Director of Commercial Client Dell Technologies di Indonesia dan Filipina, Martin Wibisono, dalam pertemuan daring, Rabu (4/2/2021).
Tantangan jaringan
Tantangan nomor satu pekerja jarak jauh saat ini adalah stabilitas dan kecepatan jaringan internet. Namun, kecepatan koneksi internet dalam negeri masih rendah.
Menurut lembaga OpenSignal pada 2019, Indonesia menduduki peringkat ke-72 dari 77 negara dalam hal kecepatan internet 4G. Kecepatan internet 4G maksimal 18,5 megabita per detik (Mbps). Kecepatan rata-ratanya sebesar 8,6 Mbps. Sementara itu, Korea Selatan ada di peringkat pertama dengan kecepatan rata-rata 47,1 Mbps.
Pengamat teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK) Heru Sutadi menambahkan, cakupan internet di Indonesia belum rata. Masih ada 12.500 desa yang belum terhubung dengan internet. Menghubungkan seluruh wilayah dengan internet jadi penting karena membantu keseharian masyarakat, khususnya saat pandemi. Banyak aktivitas warga yang kini pindah ke ruang virtual.
“PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengatakan bahwa akses internet sudah jadi bagian dari HAM. Negara perlu menyiapkan internet agar terjangkau oleh semua orang. Untuk itu, negara bisa bekerja sama dengan operator,” ujar Heru.
Salah satu upaya pemerintah membangun infrastruktur pendukung adalah melalui proyek Palapa Ring. Proyek jaringan tulang punggung Palapa Ring Paket Tengah memungkinkan kecepatan akses internet hingga 30 Mbps (Kompas, 3/1/2019).
Tantangan lain yang dihadapi saat bekerja jarak jauh adalah keamanan siber. Hal ini rentan terjadi ketika pekerja menggunakan perangkat sendiri, seperti laptop dan ponsel, untuk masuk ke jaringan internal perusahaan.
Ketua Forum Keamanan Siber Indonesia (Indonesia Cyber Security Forum/ICSF) Ardi Sutedja menilai ini saatnya perusahaan berinvestasi ke teknologi. Perusahaan dinilai perlu menyediakan perangkat seperti laptop atau ponsel khusus bagi karyawan. Perangkat itu pun perlu diatur agar terkoneksi secara khusus ke jaringan internal perusahaan.
“Konsep bring your own device (bawa perangkatmu sendiri) sudah tidak relevan dengan konsep kerja jarak jauh saat ini. Ada ancaman siber yang kompleks saat ini,” ujar Ardi.
Ia mengatakan, masih banyak orang yang menggunakan peranti lunak (software) bajakan. Banyak juga yang membeli VPN (jaringan pribadi virtual) yang dijual bebas dengan harga miring. Padahal, keduanya rentan mengandung malware.
Malware tersebut masuk ke perangkat karyawan, kemudian dapat menyusup ke server perusahaan sata karyawan terhubung. Akibatnya, kebocoran data perusahaan rentan terjadi.
Pada Januari-November 2020, Pusat Operasi Keamanan Siber Nasional, Badan Siber dan Sandi Negara mencatat ada lebih dari 423 juta serangan siber. Serangan siber dengan menggunakan isu Covid-19 yang paling banyak adalah trojan, disusul oleh pengumpulan informasi, serta penyerangan aplikasi web (Kompas, 18/1/2021).
Sementara itu, Polri mencatat ada 4.250 kejahatan siber yang ditangani Bareskrim Polri pada Januari-November 2020. Kejahatan itu termasuk penipuan daring, penyebaran konten provokatif, dan akses ilegal. Ada pula penyebaran ransomware, malware, dan spam melalui surat elektronik.
“Tantangan buat perusahaan saat ini adalah investasi untuk perangkat dan jaringan. Selain itu, SDM perlu dikembangkan agar paham risiko keamanan siber dan pencegahannya. Ini penting karena taruhan bagi perusahaan adalah keamanan data. Di zaman sekarang, kebocoran data itu sama dengan isu keamanan nasional karena data adalah intellectual property,” tutur Ardi.
Budaya kerja
Selain membangun infrastruktur dan perangkat, budaya kerja pun perlu disusun. Pakar budaya dan komunikasi digital Universitas Indonesia Firman Kurniawan mengatakan, budaya kerja sebelum dan saat pandemi sudah berbeda. Perusahaan perlu menyusun ulang etika kerja, batasan, hingga jam kerja yang sesuai.
Ini penting agar tiap pekerja menghargai kehidupan masing-masing. Batas antara kehidupan profesional dan pribadi kerap kabur selama bekerja dari rumah. Menurut dia, tiap orang punya hak untuk tidak terhubung di luar jam kerja.
“Orang sering lupa bahwa teknologi hanya alat pembantu. Di balik perangkat dan teknologi adalah manusia yang punya hak beristirahat dan melakukan hal lain. Kultur manusia adalah bekerja dengan jam terbatas. Jika itu dilanggar, maka akan menimbulkan ketidaknyamanan,” ujar Firman.