Pada presentasi virtual, mereka juga seakan meloncat kembali ke tahun ’90-an. Kehadiran simbol Beavis dan Butt-Head serta latar yang mengingatkan zaman kejayaan MTV ini menguatkan nostalgia.
Oleh
Riana A Ibrahim
·5 menit baca
Tak ada batasan dalam aplikasi warna. Pria juga punya kebebasan berekspresi melalui warna. Entah bermula kapan dan dari mana, corak dan tone busana pria seakan terikat pada pakem tertentu. Sebagian pria pun enggan keluar jalur, terlampau cemas dengan asumsi. Bukankah lebih menantang saat hidup lebih berwarna?
Di panggung virtual Milan Fashion Week pada 10-14 Januari 2021 dan Paris Fashion Week pada 19-24 Januari 2021, tren busana pria untuk musim gugur dan musim dingin 2021/2022 dipenuhi ragam warna. Meski warna solid seperti hitam, putih, coklat masih mendominasi, kehadiran warna cerah dan menyala dalam koleksi kali ini cukup menyegarkan mata.
Merujuk pada keluaran koleksi musim yang sama di tahun sebelumnya, pemilihan warna dan motif bagi busana pria jauh lebih terbatas dibandingkan saat ini. ”Pandemi ini memunculkan ragam perasaan. Tidak melulu suram, tapi memang bercampur semuanya. Ini semacam simbol dari semua perasaan yang kita rasakan saat ini,” ujar Co-Creative Director dari Prada Raf Simons, saat wawancara dengan Vogue.
Warna netral, seperti hitam, abu-abu, dan navy, tentu tidak dapat ditinggalkan. Akan tetapi, perpaduan dengan berbagai corak dan motif yang dicetak di atas long-john, sweater, parka, jaket bomber, kardigan, mantel, hingga kemeja membawa rasa yang berbeda.
Sebanyak 42 tampilan yang dibesut Simons bersama Miuccia Prada ini juga menawarkan desain tanpa motif, tetapi menonjolkan warna. Beberapa mantel dan jaket bomber sengaja dipilih berwarna pink muda, kuning, hijau, oranye, ungu, pink tua, dan biru muda.
Berbagai aksesori, seperti sarung tangan, tas, dan syal, juga memanfaatkan warna terang walau dikombinasikan dengan setelan hitam.
Jenama Dior melalui Kim Jones mengeluarkan 45 tampilan pada penyelenggaraan Paris Fashion Week secara virtual. Karakter elegan yang menjadi ciri Dior tak lekang, meski berpadu dalam warna seperti kuning, oranye, merah, dan hijau. Beberapa mantel bahkan menggunakan gradasi warna oranye tua ke hitam.
Tampilannya pun tak sekadar sweater, mantel, atau jaket bomber. Ada setelan yang mirip seperti piyama dengan hoodie untuk atasannya. Ada pula kemeja dengan detail mirip dengan pakaian militer Prancis pada masa Napoleon. Aksesori berupa baret, fedora, dan beanie (tutup kepala) juga mempercantik karya Jones ini.
”Warna-warna ini sengaja dipakai agar tetap kasual dan dapat digunakan kapan saja, bahkan saat ingin sekadar keluar jalan-jalan. Namun yang pasti, para pria akan tetap nyaman mengenakannya,” ujar Jones.
Bersantai
Kenyamanan busana ini menjadi kunci dalam pagelaran virtual yang bertransformasi menjadi lebih kreatif. Nyaris semua jenama mengatur jalan cerita pada pertunjukan virtualnya, bukan sekadar para model melintasi landas peraga. Ada yang membuat film pendek, membuat koreografi apik, mengintip dari proses pembuatan, hingga berada di belakang panggung model.
Kesan nyaman dan santai pun menguat pada tampilan busana Fendi, misalnya. Siluet seperti mantel dan jaket tetap diandalkan untuk koleksi musim dingin. Namun, ia memadukannya dengan piyama satin yang berwarna, dungaree (celana berbahan denim) dipadu kemeja dan luaran atau kaus turtleneck.
Aksesori yang disematkan pun terlihat santai dengan sandal rumah. ”Dibuat senyaman mungkin dan fungsional. Pakaian bisa membuatmu merasa lebih baik dan memiliki efek terapeutik juga. Aku rasa di masa depan, mode akan lebih individualistis dan lebih personal. Ide ini yang harus dijaga,” kata Silvia Fendi dari jenama Fendi.
Kean Etro dari jenama Etro juga terinspirasi kehidupan pribadinya di masa kecil. Saat itu, tak ada keraguan untuk mengenakan pakaian apa saja yang ada di dalam lemari pakaian. Itu pula yang dijadikan landasan dalam membesut koleksi musim gugurnya yang penuh warna dan motif etnik.
”Memadupadankan yang ada, dengan warna-warna yang ada, tapi tetap menarik. Karena sejatinya tiap orang itu adalah penata gaya untuk dirinya sendiri, desainer untuk dirinya sendiri,” ujar Etro.
Busana yang dimunculkan kali ini memang simpel. Kemeja satin, celana pendek, celana panjang, jubah longgar, jaket, kardigan, hingga kaus polo dengan warna-warna seperti kuning lemon, ungu, pink, hijau, toska, dan biru.
Bersuara
Kesempatan bermain warna ini nyatanya juga mampu menjadi ajang untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi. Etudes melalui tiga desainernya, Jérémie Egry, Aurélien Arbet, dan José Lamali, juga berbicara lewat warna sebagai bentuk elaborasi semangat.
Meski hanya bermain warna ungu dan coklat tanah, ketiganya mampu menunjukkan kehidupan masih bergerak di tengah pandemi ini sekaligus menyimpan pesan lain.
Dalam prosesnya, ketiganya menggandeng seorang seniman asal Los Angeles, Martine Syms. Kolaborasi ini dimanfaatkan Syms untuk berkisah tentang warga kulit hitam. Kecintaan pada warna dituangkannya bersama dengan ketiga desainer ini menjadi koleksi seperti sweater hoodie, kardigan, mantel, celana panjang satin, hingga kemeja kotak-kotak yang berpotongan longgar dipadu dengan topi baseball, beanie, dan kalung.
Pada presentasi virtual, mereka juga seakan meloncat kembali ke tahun 1990-an. Kehadiran simbol Beavis dan Butt-Head serta latar yang mengingatkan zaman kejayaan MTV ini menguatkan nostalgia. Ini juga seakan mengingatkan bahwa lewat masa kejayaan musik televisi itu, gap yang kini lebar pernah rekat.
Virgil Abloh dari Louis Vuitton juga menyuarakan kesetaraan bagi warga kulit hitam, menyambung pergerakan Black Lives Matter beberapa waktu lalu. ”Ada banyak kisah perpaduan budaya di sini. Berangkat dari situ, muncul bahasa baru,” ujar Abloh.
Sejumlah tampilan dari 70 gaya yang disuguhkan terkesan unik dan eksentrik. Mantelnya sengaja dibuat panjang hingga menyapu lantai dengan bentuk mengembang di bagian bawah, paduan blazer atau sweater dengan kilt (rok khas Skotlandia), topi lebar, juga balutan kain motif khas Afrika yang warna-warni.
Karya Abloh ini pun disebut-sebut koleksi terbaik sejak dia bergabung pada 2018. Keberanian yang membakarnya berkisah lewat busananya kali ini. ”Kita selalu bilang kita menginginkan keberagaman, bukankah itu yang selalu kita katakan di 2020? Membuat perubahan artinya seperti ini. Aku tidak mau menoleh ke belakang. Ini saatnya memutuskan masa depan,” kata Abloh yang merupakan keturunan imigran dari Ghana.
Seperti yang dikatakan Abloh, perubahan zaman semestinya juga diikuti perubahan pandangan. Tren mode memang pernah mengesankan betapa pria hanya cocok dengan warna hitam, abu-abu, putih, atau biru tua.
Namun, jika jauh mundur ratusan tahun lalu, di berbagai belahan dunia, para pria berani mengenakan jas berwarna cerah atau celana dengan warna terang sebagai bentuk ekspresi diri tanpa dipandang sebelah mata. Para pria di era flower generation juga tak terbebani oleh warna busana.