Aku Mencintaiku
”Self-love” penting karena ada kecenderungan kita tanpa sadar menuntut diri terlalu tinggi. Akibatnya, pekerjaan dan aktivitas dalam kehidupan kita tidak optimal, termasuk dalam relasi dengan orang lain.
Penyanyi Dira Sugandi duduk di depan cermin setelah sesi pemotretan. Raut mukanya galau, bahkan air mata bergulir turun ke pipinya. Perlahan, dia melepas perhiasan yang dikenakannya lalu menghapus riasan wajah. Senyum lega tersungging di bibirnya.
Klip video lagu ”Utuh” yang dinyanyikan Dira itu ibarat laku yang dijalani Dira sendiri. ”Itu ideku setelah mendengar lagu dan membaca lirik yang ditulis Mas Johannes Rusli dan Mbak Anita Hartono. Analoginya, membuka lapisan-lapisan topeng tempat aku biasa bersembunyi karena perasaan insecure. Aku sebenarnya deg-degan, belum pernah tampil raw di depan kamera,” tutur Dira, Rabu (27/1/2021).
Dia mengisahkan, selama hampir dua tahun terakhir, dia menempuh perjalanan untuk merawat dan mencintai diri sendiri. Selama bertahun-tahun, Dira bergulat dengan ketidakpercayaan diri akibat pendapat orang terhadap fisiknya. Sejak SD, dia sudah dikatai gendut atau keling karena kulitnya tidak terang.
Ketika remaja, berat badannya bertambah karena puber. Perkataan gendut atau bulat semakin sering ditujukan padanya. Memasuki dunia hiburan, tak sedikit orang yang menilai dari segi fisik, bukan kemampuannya menyanyi. ”Sayangnya, komentar seperti itu sering datang dari orang terdekat sehingga memupuk rasa tidak percaya diri,” kenang Dira.
Dia pun mengalami banyak kekecewaan, terlebih karena menggantungkan kebahagiaan pada pihak lain dan membandingkan diri dengan orang lain. Akibatnya, banyak kekacauan dalam pikiran yang menyeretnya ke titik nadir.
”Sekitar dua tahun lalu, tiba-tiba aku terpanggil belajar meditasi. Dari guru meditasi, aku diperkenalkan konsep selflove. Awalnya aku masih ragu, masak aku enggak mencintai diriku sendiri,” ujarnya.
Kini Dira lebih banyak mendengarkan suara hatinya. Dia semakin nyaman dengan penampilan fisiknya, juga berani tampil tanpa riasan. ”Make-up dan aksesori sering membuat kita lebih nyaman, tapi jangan lupa untuk merangkul diri sejati dulu,” ucapnya.
Cerita senada dialami penulis buku dan skenario Meira Anastasia. Ada masa krisis kepercayaan diri tatkala berhadapan dengan komentar negatif terkait fisiknya. Ketika suaminya, Ernest Prakasa, menjadi tenar sebagai komika dan pembuat film, banyak penggemar mulai menguliti kehidupan mereka yang semula tenang.
Keingintahuan itu diikuti ekspektasi berlebihan dan tak masuk akal, bahkan sampai sikap menghakimi. Penggemar sering menyerang penampilan fisik Meira yang dinilai tak pantas menjadi istri Ernest. Meira terbiasa tampil apa adanya, tidak banyak mengenakan riasan, rambut selalu dipotong pendek, dan koleksi pakaiannya kebanyakan berwarna gelap.
”Walau dulu aku pengalaman tampil sebagai penyiar atau MC, sebenarnya aku orangnya enggak terlalu percaya diri. Waktu itu aku juga baru melahirkan anak kedua. Aku dan anak-anak sempat tinggal di Bali, jadi aku lumayan depresi dan sendirian,” ujarnya.
Situasi itu membawa Meira ke titik terendah. Dia jadi sering bertengkar dengan Ernest. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk mencari bantuan dan berkonsultasi dengan psikolog. Kepercayaan dirinya berangsur pulih.
Tahun 2018, dia menuangkan pengalaman menemukan self-love itu dalam buku Imperfect yang mendapat banyak respons positif dan ucapan terima kasih lantaran sejumlah orang merasa terwakili. Imperfect kemudian difilmkan dan sukses meraih Piala Citra.
Masa sulit
Belakangan ini, self-love mencuat sebagai isu penting, terlebih saat menghadapi masa sulit. Self-love jadi relevan untuk mendukung kesehatan fisik dan mental. Di masa pandemi ini, kemampuan mencintai diri sendiri sangat diperlukan sebab kita tidak akan bisa merawat orang lain sebelum kita merawat diri sendiri.
Menurut psikolog Kristi Poerwandari, self-love secara sederhana adalah tindakan menyayangi atau merawat diri. Self-love penting karena ada kecenderungan kita tanpa sadar menuntut diri terlalu tinggi. Akibatnya, pekerjaan dan aktivitas dalam kehidupan kita tidak optimal, termasuk dalam relasi dengan orang lain.
”Istilah yang banyak dipakai dalam psikologi adalah mindfulness. Salah satu dimensi atau aspek yang harus dikembangkan adalah self-compassion, yakni kasih sayang terhadap diri. Self-compassion membuat kita lebih adil dalam pergaulan, dalam menetapkan standar, dan dalam menetapkan tuntutan,” kata Kristi.
Praktisi healing and mindfulness Adjie Santosoputro mempertegas, upaya mencintai diri sendiri bukan berarti malas atau bebas memanjakan diri dengan hal-hal yang justru berdampak negatif. ”Menerima diri secara utuh, enggak hanya positif, tapi juga negatifnya, kemudian berbenah. Self-love jadi landasan untuk berbenah diri,” katanya.
Menurut Adjie, konsep self-love tetap bergerak dan berjuang, tetapi bahan bakarnya bukan rasa takut, melainkan cinta dan keinginan untuk merayakan hidup. Oleh karena itu, tak ada rasa marah, kesal, dengki, atau iri yang biasanya berikatan dengan rasa takut. Yang diperlukan adalah keberanian.
”Self-love ini adalah laku pemberontakan. Wujudnya tak semata fisik, seperti gaya hidup sehat, olahraga, perawatan tubuh. Sisi mental dan emosional yang pertama kali dibenahi,” tambahnya.
Dalam tataran global, tema self-love juga banyak digaungkan para pesohor. Penyanyi Jennifer Lopez berbagi pengalaman terapi dan belajar menemukan self-love. Lewat otobiografi More Myself, penyanyi Alicia Keys merefleksikan perjalanan menemukan diri sendiri secara autentik tanpa khawatir pendapat orang lain.
Salah satu kampanye global tentang self-love digaungkan boy band kenamaan asal Korea Selatan, BTS, yang sejak tahun 2017 menggulirkan ”Love Myself” bekerja sama dengan Komite Korea untuk Unicef. BTS merilis album trilogi Love Yourself: Her, Love Yourself: Tear, dan Love Yourself: Answer.
Dalam sidang Majelis Umum PBB ke-75 pada September 2020, BTS yang digawangi RM, Jin, Jimin, V, J-Hope, Jungkook, dan Suga ini kembali menyuarakan pentingnya mencintai dan merawat diri. ”Saya ingat kata-kata yang saya ucapkan di sini dua tahun lalu. ’Cintai dirimu, suarakan dirimu.’ Kita harus mencoba mencintai diri kita,” kata RM, dalam pesan video.
Keluar cangkang
Penguatan dari figur publik, ditambah dukungan dari sekitar dan kemauan kuat dalam diri, membuat Adesti Komalasari (37) keluar dari cangkang ketidakpercayaan diri yang mengungkungnya sejak belia. Dia bahkan pernah sampai pada tahap merasa makan itu salah.
”Aku selama hidup enggak pernah kurus. Dari brojol sudah bongsor. Tidak semua menyalahkan, tetapi mengundang pernyataan semacam ’Mbok kamu kurusin badan’ atau ’Kamu enggak punya teman, enggak bisa dapat pacar, karena gendut’. Sayangnya itu datang justru dari orang terdekat,” tutur Adesti.
Dia tumbuh tanpa kepercayaan diri untuk berbaur, padahal dasarnya dia periang. Ada saja perasaan yang hinggap bahwa dirinya tidak cantik karena tidak kurus.
Saat akhirnya punya pacar, Adesti jadi terlalu lekat. Ketika si pacar meninggalkannya, dia langsung berpikir penyebabnya adalah fisiknya. Selama 1,5 pekan dia mengalami gejala seperti anoreksia.
”Hidupku isinya hanya nangis dan muntah. Di otakku hanya ada pikiran kalau makan itu salah,” ujarnya.
Titik balik muncul saat seorang teman mengajaknya ke yayasan yang menangani warga cacat fisik. Adesti melihat betapa kekurangan fisik tidak menghalangi seseorang untuk bahagia. Perlahan dia mulai bisa makan. Berat badannya naik. ”Tapi aku sehat, aktif, dan pede, ha-ha-ha,” ucapnya, terbahak.
Adesti ikut klub menari salsa. Di klub teman-temannya bilang dia menari dengan lincah. ”Aku mulai berani mengeksplorasi diriku. Berani pakai sepatu tinggi. Bajuku sekarang warna-warni, dulu hitam dan coklat saja untuk menutupi bentuk tubuh. Sekarang kalau ada orang bilang gendut, ya sudahlah, memang gendut. It’s OK to be like this, to look like this,” ujar penggemar model plus-size Ashley Graham ini.
Nugraheni Pudjiastuti (44) juga pernah berada dalam fase tidak bisa menerima keadaan diri yang tak kunjung punya pasangan. ”Dulu, di usia 30-35 tahun, belum punya pasangan, ditanya-tanya terus. Kadang aku tersinggung, apalagi kalau sedang lelah,” ujar Tuti, panggilan akrabnya.
Situasi itu membuat dia terpuruk, tak percaya diri, cemas, dan tak nyaman dengan statusnya, sebab dia pun ingin punya pasangan dan membangun rumah tangga. Meski tak sampai depresi, dia sempat merasa Tuhan tak sayang padanya.
Rasanya semakin berat kala desakan datang dari sang ibu. Sampai-sampai mantan pacar dicari-cari oleh ibunya, disuruh balikan. Sempat terjalin lagi, hubungan itu kandas.
Dalam situasi tak berpihak, Tuti dihadapkan pada label dari rekan dan sejawatnya. ”Perawan tua, kata mereka. Jadinya galak,” tambahnya.
Efeknya panjang. Banyak teman mulai menjauhi dia. Itulah yang memukul kesadaran Tuti. Dia merasa harus introspeksi, tak bisa terus-terusan seperti itu. Perlahan sikap penerimaan diri mulai tumbuh. Emosinya tak lagi gampang tersulut.
Tuti pun banyak melakukan hal baru untuk memberi penghargaan terhadap diri dan kerja kerasnya. ”Jadi aku sekarang ke salon, pakai make-up, ngopi, makan enak, beli sepatu sekali-kali yang mahal. Itu bentuk penghargaan terhadap diriku. Makin ke sini, soal pasangan yang tak kunjung tiba, meski masih jadi masalah, sudah tak lagi jadi beban,” ujar Tuti.
Meski awalnya ada pemicu dari luar diri, baik Dira, Meira, Adesti, maupun Tuti menemukan self-love terbentuk dari dalam diri mereka. Sebuah proses yang perlu terus dijalani supaya setiap becermin, kita bisa mengucap, ”Aku mencintaiku.”