Berdua Meniti Terowongan Pandemi
Stres pada individu ini berpengaruh pada relasi dengan pasangan. Bisa dibayangkan seseorang dengan berbagai tekanan itu hidup bersama orang yang mengalami tekanan yang kurang lebih sama.
”Covid ended our marriage”. Artikel di laman BBC (3/12/2020) itu langsung menyentak Olenka (40). Selama 10 bulan pandemi, terhitung dua kali dia dan suaminya, Puput Aryanto, bertengkar. Padahal, selama 10 tahun menikah, mereka nyaris tak pernah bertengkar.
”Beberapa bulan lalu saya mengamuk luar biasa, sampai bikin suami minta maaf. Enggak ada sejarahnya dia sampai memohon-mohon semalaman seperti itu,” kenang Olenka, Kamis (14/1/2021).
Meski demikian, dia merasa beruntung ”hanya” dua kali bertengkar. Berbekal pengalaman saling kenal selama 35 tahun, badai berhasil dilalui. Keduanya berteman sejak kecil sebelum berpacaran ketika masing-masing sudah bekerja, lalu menikah dan memiliki dua anak. Saat pandemi Covid-19 melanda, mereka tinggal di Inggris mengikuti pekerjaan Puput. Akhir tahun lalu, mereka kembali bermukim di Yogyakarta.
”Kondisi pandemi memengaruhi semua orang, tak terkecuali kami. Secara ekonomi, pendapatan turun drastis. Bisnis sampingan pun surut, sementara kami memutuskan tidak akan merumahkan maupun memotong gaji staf. Walaupun punya aset dan tabungan, ketidakpastian ekonomi membuat kami tertekan,” tutur Olenka.
Karantina ketat di Inggris membuat mereka tidak bisa ke mana-mana, padahal keluarga itu hobi traveling. Tekanan sangat dirasakan karena berada di rumah terus-terusan. Mendampingi anak sekolah daring juga tidak mudah, sangat menguji kesabaran. Emosi kadang-kadang jadi tidak terkendali, lalu dilampiaskan pada anak atau pasangan.
”Enggak ada waktu untuk me-time karena sibuk urusan cari duit agar dapur tetap mengepul, pekerjaan rumah tangga, dan sekolah anak,” ujarnya.
Artikel yang dilansir BBC itu terasa terhubung bagi Olenka. Disebutkan, di seluruh dunia, pasangan yang sebelumnya terkesan baik-baik saja berpisah, tak sedikit yang akhirnya bercerai. Sebagian menyalahkan pandemi, sebagian lagi mengatakan pandemi hanya memperuncing masalah yang sudah ada sebelumnya.
Terkurung bersama keluarga 24 jam sehari selama berbulan-bulan ditambah beban pekerjaan, mengasuh anak, dan pekerjaan rumah tangga membuat pernikahan berada di ambang krisis. Belum lagi tambahan beban saat ada yang kehilangan pekerjaan atau kekhawatiran soal kesehatan.
Survei oleh badan amal Inggris Raya, Relate, April 2020, seperti dikutip BBC, menemukan, hampir 25 persen responden menyebutkan karantina menambah tekanan pada relasi pernikahan mereka. Sekitar 25 persen responden merasa pasangannya jadi lebih menyebalkan saat karantina.
Dinamika relasi
Tak terkecuali di Indonesia. Pingkan CB Rumondor, peneliti hubungan romantis dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara, mengungkapkan, pandemi membuat dinamika pasangan berubah. Pingkan bersama peneliti dari Amerika Serikat, India, dan Italia membuat riset kualitatif pada Maret-Juni 2020 tentang stres pada individu yang bersama pasangan dalam masa karantina.
”Kami bertanya tentang stres yang dialami diri, pasangan, dan komunitas. Dari data di Indonesia terungkap stres individu, di antaranya, merasa gejala fisik terganggu, kebebasan pribadi terhambat, kejenuhan diiringi kekhawatiran, kesejahteraan emosional terganggu, ketidakpastian rencana masa depan,” ujar Pingkan.
Stres pada individu ini berpengaruh pada relasi dengan pasangan. Bisa dibayangkan seseorang dengan berbagai tekanan itu hidup bersama orang yang mengalami tekanan yang kurang lebih sama.
”Laki-laki cenderung menarik diri, sementara perempuan cenderung agresif, misalnya gampang marah dan mengomel. Pasangan yang sehat saja mengalami tantangan, apalagi pasangan yang sebelum pandemi memiliki masalah, konflik, depresi, atau trauma,” lanjut Pingkan.
Menghadapi situasi saat ini, menurut dia, komunikasi jadi kunci. Bisa dimulai dari ”I message” atau komunikasi asertif dengan sudut pandang orang pertama. ”Misalnya curhat dengan kata aku. Aku merasa begini. Aku butuh begitu. Lalu tanyakan pada pasangan, ’Kalau kamu, bagaimana?’ dan memproses stres yang dialami bersama,” katanya.
Mengontrol apa yang bisa kita kontrol juga sangat penting, seperti membina keintiman emosional dan seksual. Mengubah suasana kamar, menyediakan waktu berkencan, menonton film bersama, minum teh bersama, nostalgia memori indah, atau membuka album foto pernikahan pun cukup membantu.
Seperti yang dilakukan Olenka dan Puput. ”Pandemi ini menciptakan terlalu banyak masalah. Wajar kalau pasangan merenggang. Masalahnya, ’perang’ belum berakhir. Ini menjadi waktu untuk terus mengingat kebaikan pasangan. Menahan lidah. Jangan sampai saling menyakiti dengan kata, apalagi fisik,” ujar Olenka.
Yang penting, tidak saling menyalahkan. Selain itu, lanjut dia, banyak-banyak bercanda.
”Setiap hari bercanda. Seperti anak kecil. Saya lagi mandi pakai air hangat, tiba-tiba diguyur air dingin, yang kalau musim dingin, ya, seperti es. Kami saling meledek. Saya cie-cie ke dia karena baru kali ini beli ponsel harganya di atas Rp 3 juta. Kalau saya sedang menimbang teri, dia bilang, ’Jauh-jauh sekolah ke Australia, sekarang jadi bakul gereh (penjual ikan asin)’. Tidak ada nada menghina, malah bangga,” katanya, disusul tawa berderai.
Seperti prangko
Meski banyak cerita sedih, tak sedikit kisah sebaliknya. Dalam penelitian Pingkan, muncul juga jawaban bahwa pandemi tidak membuat stres dan justru membawa perubahan positif.
’Mereka jadi berpikir mana yang penting dalam hidup. Mereka senang bisa selalu bersama anak dan suami/istri atau melakukan aktivitas bersama yang sebelumnya jarang dilakukan. Ada juga yang menyadari kebaikan pasangannya justru saat pandemi,” paparnya.
Bagi pasangan Ratna Dwipayanti (54) dan Beawiharta (57), relasi selama pandemi justru ibarat prangko yang kian lengket. Keharmonisan muncul karena Nana dan Bea berusaha menjembatani dan mencari jalan tengah saat ada perbedaan.
”Resepnya enggak ada. Semua itu terjadi dengan berjalannya waktu. Kami, alhamdulillah, masuk usia pernikahan ke-26,” ujar Nana, didampingi Bea.
Setelah pensiun tahun 2012, Nana sibuk sebagai konsultan kehumasan, sedangkan Bea yang fotografer tetap memotret dan membuat buku setelah pensiun sejak 2018. Anak-anak mereka, Pradipta (25) sudah bekerja, Adinta (19) kuliah, dan Baradita (16) masih SMA.
”Aku romantis yang mengungkapkan. Romantis banget. Harapannya, in return, digituin. Dulu Bea enggak pernah ingat kapan aku ulang tahun. Setelah 15 tahun kawin dia baru ingat,” kata Nana.
Beberapa hari terakhir, Bea berhasil mengajak Nana mencicipi hobi bersepeda yang sudah digeluti Bea bertahun-tahun. Setelah dua kali membelikan sepeda yang dibiarkan teronggok, Bea membeli sepeda listrik yang ternyata digemari Nana.
Ketika tahu istrinya berapi-api dan emosional ketika menonton tayangan politik, Bea bersiasat langganan layanan OTT agar bisa menonton bersama selama pandemi. ”Yang menjadi inti di rumah itu ibu. Harus di-support supaya ada positive vibe di rumah. Kalau emosi jelek, masakan enggak enak, gue rugi, dong,” ujar Bea.
Sebelum pandemi, keduanya hanya bertemu 3-4 jam sehari. Selama pandemi mereka bertemu 24 jam sehari. Lebih banyak menghabiskan waktu berdua di rumah menjadikan mereka kembali saling jatuh cinta.
Nana pun merasakan perhatian suaminya semakin besar, misalnya melarang keluar rumah selama pandemi karena keduanya memiliki komorbid. Hal kecil seperti selalu bergandengan tangan ketika bepergian jadi resep mujarab mempererat hubungan. Ada pertengkaran kecil sekali-sekali, tetapi mereka memilih saling mengalah.
”Dia kayak anak gue yang paling besar. Menjaganya seperti anak. The rest of marriage life, penginnya end up dengan indah, seperti pertama kali jatuh cinta,” imbuh Nana.
Hampir tiga dekade Soraya Haque dan Ekky Soekarno membina rumah tangga. Meski tidak selalu mulus, spirit untuk mencapai tujuan sebaik-baiknya membuat keduanya mampu melewati berbagai hal, termasuk tekanan pandemi.
Bersama Ekky, Soraya mencecap ragam rasa hidup bersama, dari manis, asin, asam, hingga pahit. Rasa pahit itu, antara lain, dikecapnya pada 16 Januari 2020. Saat itu, Soraya merasa dunianya runtuh. Jiwanya seperti dicabut saat mendapati jatung Ekky sempat berhenti beberapa saat ketika dokter hendak memindahkan ke ventilator.
Ekky mengalami masalah paru-paru karena kebiasaan merokok selama 18 tahun. Pemeriksaan terakhir bahkan menunjukkan adanya pneumonia dan demam. ”Sampai enggak bisa napas. Paru-paru bermasalah, suplai oksigen enggak bagus, kerja jantung jadi berat,” tutur Soraya.
Berbagai upaya dilakukan dokter, sampai akhirnya Ekky selamat dan boleh pulang setelah empat hari dirawat di rumah sakit. Tidak berhenti di situ, selama empat bulan Soraya berjibaku mengembalikan kondisi mental yang drop. Berat badannya turun drastis.
Mereka pun sadar diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki banyak hal dan menyelesaikan mimpi. Menurut Soraya, hubungan mereka jauh lebih melekat. Terlebih, pandemi mengharuskan mereka di rumah saja.
”Sekarang enggak ada negosiasi alot lagi. Dulu disuruh berhenti merokok susah, asbak selalu penuh, tidurnya enggak bagus. Sekarang nurut, begitu juga kalau dibilang enggak bisa asal ketemu orang,” ungkap Soraya.
Kualitas hidup mereka secara keseluruhan pun kian membaik. Seperti kehidupan di Bumi yang sedang melambat, mereka merasa seperti diminta untuk menikmati tiap waktu yang diberikan Tuhan.
Pandemi masih seperti terowongan yang belum jelas di mana ujungnya. Berjalan dalam gelap berdua dengan orang terkasih semestinya memberi kekuatan yang menenangkan.