Aku, Kamu, dan Cerita Kita
Psikolog Ajeng menuturkan klien pasangan suami istri yang datang kepadanya terkait masalah komunikasi dalam keluarga meningkat hingga tiga kali lipat di masa pandemi.
Pernikahan butuh kerja keras, termasuk dalam seni berkomunikasi. Setiap keluarga lantas mengembangkan gaya komunikasi personal yang mungkin tidak bakal dipahami orang lain. Keunikan cara berkomunikasi ini akan efektif jika mampu menumbuhkan rasa nyaman dan memberi vibrasi positif.
Psikolog Dr Michael S Brode dalam buku The Art of Staying Together menyebut dua resep terpenting untuk hubungan jangka panjang suami istri agar berhasil, yaitu gairah (passion) dan rasa nyaman. Gairah atau cinta adalah motor penggerak yang menyatukan agar pasangan bisa tetap kangen dan merasa butuh keintiman.
”Yang berikutnya adalah rasa nyaman atau kesanggupan untuk menyelesaikan dan menikmati keberadaan bersama pasangan. Ada saling menghormati, apa pun dinamika masalahnya mereka bisa saling menikmati. Komunikasi, jadi penting,” ujar psikolog Ajeng Raviando saat dihubungi Kamis (14/1/2021).
Relasi yang terasa semakin tebal dengan hal kecil seperti saling melempar panggilan sayang dirasakan presenter Erwin Parengkuan (51). Sejak pacaran dengan istrinya, Jana (45), mereka saling memanggil dengan sapaan ”Mot” yang merupakan penggalan dari kata ”Cimot.” ”Lahir begitu saja saat pacaran. Jadi lebih tebal banget engagement-nya,” kata Erwin, Selasa (12/1/2021).
Setelah menjalani 23 tahun usia pernikahan, sapaan sayang itu melebar ke seluruh anggota keluarga. Empat anak Erwin menyapanya dengan panggilan sayang ”Pit”. Panggilan itu awalnya diucapkan oleh salah satu anaknya ketika masih kecil dan terus melekat. ”Saya senang karena beda dan tidak ada yang punya,” tambah Erwin.
Namun, saking dekat dan terbukanya relasi antaranggota keluarga, keempat anak Erwin sempat kebablasan memanggil dengan sapaan ”lu” dan ”gue”. Erwin lantas segera mengingatkan bahwa tetap harus ada batasan dalam relasi komunikasi antara orangtua dan anak.
Keterbukaan dalam berkomunikasi sudah dikembangkan Erwin dan Jana sejak sebelum menikah. Mereka sepakat saling terbuka karena adanya perbedaan kultur yang kontras. Erwin berasal dari Manado sedangkan istrinya berdarah campuran Ceko dan Solo.
Pertikaian kecil sesekali muncul dengan istri yang lebih muda enam tahun dari Erwin. Ketika istri mulai ngotot, Erwin memilih diam agar tidak ada kata yang menyakitkan. ”Nggak dua-duanya nggonggong. Sama-sama anak bungsu enggak mau ngalah. Mindset saya ketika menikah: saya harus ngemong, ada understanding yang ditanamkan,” ujar Erwin.
Drama keluarga
Bagi pasangan Naila Fauzia, guru privat, dan Firman Arsan, karyawan swasta, komunikasi juga menjadi kata kunci dalam melakoni 20 tahun kehidupan rumah tangga. Komunikasi itu bisa diartikulasikan dalam wujud antusiasme ketika pasangan bercerita meski tidak paham atau tidak berminat terhadap isinya. Bentuk lainnya, dukungan atas hobi pasangan serta kemauan mengesampingkan ego.
Usia Firman lima tahun lebih tua dari Naila. Sejak pacaran, Naila memanggilnya Abang. Firman hobi otomotif, Naila gila membaca. Keduanya disatukan hobi menonton film, meskipun genre yang disukai juga berbeda. ”Dengan nonton, saya berusaha mengerti apa yang dia suka, dia coba mengerti apa yang saya suka,” lanjutnya, Rabu (13/1/2021).
Baru setahun belakangan Naila gemar menonton drama Korea. Awalnya Firman sering meledek karena Naila menangis atau marah-marah gara-gara drakor. Rupanya diam-diam Firman juga suka menonton. Betapapun beda minat keduanya, kalau salah satu sedang menggebu-gebu menceritakan sesuatu, pasangannya akan menanggapi dengan sama menggebu-gebunya.
Kedewasaan Firman tak jarang membuat Naila ingin bertingkah jadi anak kecil. Naila akan bermanja-manja, berbicara dengan gaya dan suara ala anak kecil. Firman akan meladeninya, menanggapi dengan gaya bicara yang sama, sampai Naila berhenti.
”Tetapi, saya hanya menunjukkan di depan Firman. Kadang anak-anak yang jengkel, ’Ayah, kok, diladeni, sih?’ Saya suka, biar ada drama sedikit,” kata Naila, yang anak-anaknya sudah berusia 18 tahun dan 17 tahun.
Relasi suami istri bak novel atau serial komedi dikembangkan Nanik Sri Rahmini (40) yang kerap geregetan pada suaminya, Bait Budi Hantoro (43). Menikah sejak 2007, Warga Wonosobo, Jawa Tengah, itu sempat terperanjat luar biasa saat dikunci dari luar rumah. Bait mengunci pintu lantas pergi bekerja.
Nanik benar-benar sebal. Ia telepon Bait, tetapi tak diangkat-angkat lantaran guru fisika SMA negeri di Wonosobo itu sedang mengajar. Seharusnya, mereka membawa kunci masing-masing. ”Lah, Mas Bait bawa dua-duanya. Ponselnya juga mode diam. Akhirnya, saya bikin status di Facebook,” ucapnya soal kejadian pada 2018.Tak dinyana, Bait membalas unggahan Nanik di kolom komentar. Jadilah mereka berbalas tanggapan di medsos itu. ”Maaf, ya Say,” tulis Bait. ”Huh, Say. Say...,” balas Nanik seraya memasang emoticon muka dongkol. Sontak, dialog mereka riuh dengan timpalan kawan-kawannya yang terbahak. Peristiwa seperti itu berkali-kali terjadi dan hanya sekelumit dari keunikan relasi mereka.
Guru bahasa Inggris sekolah menengah kejuruan di Wonosobo itu ekspresif saat bercerita, sementara Bait menanggapi dengan wajah datar. Dengan cara berkomunikasi yang unik ini, mereka terus menjaga pilar pernikahan, yaitu rasa cinta, saling percaya, saling menghormati, dan punya komitmen. Perbedaan bukan untuk dipermasalahkan, tapi dijembatani.
Intensitas interaksi
Ketika intensitas interaksi di rumah meningkat, kesendirian dan keheningan menjadi sebuah kemewahan. Mengambil jarak sejenak ternyata bisa meminimalkan intensitas konflik.
”Saya pernah terbangun saat sebelum subuh sekitar pukul 04.00, ketika itu istri di samping tiba-tiba menghilang. Ya begitulah, Pisces…, suka menikmati kesendirian,” kata Sudjud Dartanto (44) di samping istrinya, Endang Lestari (44), di Yogyakarta, Kamis (14/1/2021).
Lestari yang akrab disapa Tari mengungkapkan, ketika itu ia menghilang ke kumbung atau rumah budidaya jamur tiramnya. Berada di rumah jamur dini hari, Tari menikmati suasana langka, yaitu proses penyebaran spora jamur. ”Di kumbung saya melihat spora berterbangan. Ini luar biasa. Saya merasakan getaran semesta,” ujar Tari, yang menekuni aktivitas seni keramik dan seni kontemporer.
Tari terlahir di Banda Aceh, berzodiak Pisces. Menurut Sudjud, karakternya suka berpikir dan menikmati kesendirian. ”Itulah, mengapa banyak karya seni istri tidak pernah terduga-duga. Pada 2008 Tari pernah memamerkan karya seni keramik bertajuk ”Percakapan dalam Senyap”, dan sekarang mendapat momentumnya,” ujar Sudjud, dosen di ISI Yogyakarta, yang lahir di Bangkalan, Madura.
Sudjud berzodiak Gemini. Tari menyebut karakter Gemini lebih mengutamakan pertimbangan rasional. Pertimbangan-pertimbangan rasa yang berada di luar rasio jarang mendapatkan perhatian. Sudjud dan Tari memang terbiasa saling mengolok dan bercanda dengan menyebut tabiat masing-masing dan membawa-bawa karakter zodiak mereka. Namun, candaan itu menunjang saling pengertian dalam pengembangan diri.
Pasangan suami istri Ghea Devi (40) dan Ihya Nasution (42) pun mampu mencari banyak ”hikmah” dan kesenangan baru saat menghadapi situasi pandemi. Menurut Ghea, dirinya malah senang sepanjang masa pandemi karena sang suami semakin jarang bertugas ke luar kota.
Pasangan yang telah menikah selama 12 tahun dan menyebut diri ”apih” dan ”amih” ini bahkan memanfaatkan beberapa kebiasaan baru semasa pandemi untuk semakin membangkitkan kemesraan. Salah satunya, terkait kebiasaan baru untuk langsung mandi sepulang beraktivitas di luar rumah.
Komitmen keduanya untuk menerapkan bersama protokol kesehatan ketat di rumah tak disangka justru membuahkan ”hikmah” lain. Lantaran kebiasaan mandi terutama di malam hari sepulang beraktivitas keduanya merasa selalu segar dan wangi.
”Nah, kalau malam dan lagi saling dekat dekatan begitu kan kita sama-sama wangi dan fresh tuh. Jadi makin intim, hi-hi-hi,” ujar Ghea.
Psikolog Ajeng menuturkan, klien pasangan suami istri yang datang kepadanya terkait masalah komunikasi dalam keluarga meningkat hingga tiga kali lipat di masa pandemi. Konflik yang dibawa pasangan cenderung sudah sangat intens karena suami istri ”terpaksa” harus lebih banyak bersama di rumah.
”Ketika akan konseling, masalahnya sudah kompleks, sudah rumit. Dulu tidak intens karena jarang ketemu. Sekarang, rasanya, kok, ingin udahan aja. Walau permasalahannya enggak terlalu berat sampai harus memutuskan divorce. Tapi terasa berat karena intensitasnya,” kata Ajeng.
Relasi suami istri yang tadinya aman bisa tiba-tiba memburuk karena seluruh masalah, mulai dari pekerjaan hingga pendidikan anak ”terpaksa” di bawa ke rumah. Coping behavior atau proses mengelola diri menghadapi situasi sulit seperti berlibur pun kini tak lagi mujarab. Hal ini karena situasi sulit yang dihadapi sangat dinamis.
Kemampuan adaptasi—termasuk melalui cara berkomunikasi—makin dibutuhkan untuk memunculkan resiliensi. (WKM/DWA/BAY/NAW/SF)