Mercedes-AMG GLE 53 Coupe, Menunggang Monster yang Memanjakan
Setiap mobil produksi Mercedes-AMG menyimpan DNA monster di dalamnya. Tak terkecuali Mercedes-AMG GLE 53 4Matic+ Coupe ini. Namun, di balik kegarangan spesifikasinya, tersimpan rasa berkendara ”ningrat” khas Mercedes.
Setiap mobil produksi Mercedes-AMG menyimpan DNA monster di dalamnya. Pasalnya, semua mobil yang diracik di Affalterbach, Jerman, ini dirancang berperforma superior dibanding Mercedes-Benz biasa. Namun, monster pun tak selamanya ganas dan beringas.
Menjajal mengendarai dan menunggang mobil bernama lengkap Mercedes-AMG GLE 53 4Matic+ Coupe ini, kita justru merasakan dimanjakan dengan stabilitas mobil dan berjibun fitur teknologinya. Performa pengendalian dan tenaga mesin khas AMG masih ada, tetapi rasa ”ningrat” sebuah tunggangan premium khas Mercedes juga tak hilang.
Di jalan tol yang nyaris kosong menjelang tengah malam, Sabtu (19/12/2020), Kompas menjajal pengendalian mobil bongsor ini (panjang mobil 4,961 meter dengan lebar 2,157 meter dan tinggi 1,716 meter). Setirnya mantap digenggam dengan sensitivitas tinggi. Sedikit saja gerakan pada setir memberi dampak pada arah laju mobil, bahkan pada mode berkendara Comfort. Dampaknya, pengemudi merasakan betul gerak-gerik tunggangannya. Seolah-olah, tangan pengemudi sama sekali tak berjarak dengan pijakan roda pada aspal.
Tatkala lalu lintas benar-benar lengang, kami mencari tahu bagaimana respons tubuh penumpang dan pengemudi ketika mobil berpindah lajur dengan tiba-tiba, atau ketika menikung tajam pada laju cukup tinggi. Tubuh sedikit mengayun kanan-kiri menyesuaikan pusat gravitasi karena posisi mobil yang tinggi. Namun, tubuh tak terasa limbung, yang biasa terjadi setiap menunggang SUV pada umumnya.
Dari keterangan teknis yang kami terima, AMG GLE 53 ini ditanamkan teknologi suspensi mutakhir yang dinamakan AMG Ride Control+ untuk melengkapi suspensi udara di mobil ini.
Dampaknya persis seperti yang kami rasakan. Sistem mutakhir tersebut mengurangi body roll ketika menikung. Sistem itu juga bisa menakar pergerakan bodi mobil beserta beban di dalamnya untuk menjaga kestabilan berkendara. Karena itu, walau berukuran besar, mobil ini bisa diandalkan untuk lincah berkelit di jalan raya. Rasanya seperti menyetir sebuah sedan sport.
Di atas kertas, mereka mengklaim teknologi AMG Ride Control+ itu bisa beradaptasi cepat dengan situasi pengendaraan: status berkendara diperbarui 1.000 kali per detik. Kita mungkin tak merasakan perubahan itu saking cepatnya. Yang benar-benar terasa adalah kestabilan di berbagai situasi.
Efek teknologi ini juga terasa saat Kompas mencoba duduk sebagai penumpang di kursi belakang. Terasa gerak mobil sangat mulus dan halus walau saat digeber di kecepatan tinggi. Gejala limbung sangat minim sehingga terasa bagaikan duduk di kursi belakang sebuah sedan.
Adaptasi serupa juga berlaku pada sistem tinggi-rendah kendaraan. Suspensi udara yang dipakai mampu menjaga level kendaraan seberapa pun beban yang tengah diusung. Ketika melaju pakai mode Sport atau Sport+, ketinggian kendaraan turun 10 milimeter. Sementara di mode Comfort, mobil otomatis turun sendiri ketika mencapai kecepatan 120 km/jam. Kalau sudah begini, nyetirnya makin asyik.
Sebaliknya, ground clearance bisa dinaikkan sampai 55 milimeter kalau menghadapi permukaan jalan non-aspal yang bergelombang parah, atau medan off-road. Pengubahan tinggi-rendah ground clearance itu bisa dilakukan hanya dengan satu sentuhan jari—baik dalam kondisi diam maupun melaju di bawah 70 km per jam. Sayangnya, kami tak sempat mencoba mobil ini di jalur nonaspal sehingga mode Trail dan Sand belum diketahui rasanya.
Posisi enak
Layaknya Mercedes E Class, penumpang dan pengemudi mobil ini sama-sama dituankan. Akses masuknya lega. Pengemudi gampang duduk karena posisi setir dan joknya otomatis menjauh setiap mesin dimatikan. Begitu mesin dinyalakan—yang cuma tinggal pencet itu—posisi duduk dan posisi setir kembali ke settingan sebelumnya.
Penumpang di kursi belakang juga dapat ruang yang luas meski ini adalah model coupe dengan atap melandai ke belakang. Kaki masih bisa selonjoran, sementara kepala jauh dari plafon. Penumpang di sisi kiri dan kanan masing-masing leluasa mengatur suhu AC karena pengaturan suhu AC di mobil ini bisa untuk empat zona; dua di depan, dua di belakang.
Omong-omong soal posisi berkendara, mobil ini bisa mengatur secara otomatis posisi duduk yang ideal bagi pengemudi. Pengemudi tinggal memasukkan data tinggi badan di panel instrumen berlayar sentuh, maupun lewat trackpad di konsol tengah. Posisi duduk—alas duduk, sandaran punggung, dan sandaran kepala—dan posisi setir secara otomatis bergerak menyesuaikan postur pengemudi sesuai data itu.
Penyesuaian sedikit-sedikit masih bisa dilakukan dengan menekan tombol elektrik. Tombol pengatur jok ada di sisi pintu, sedangkan pengatur setir ada di panel bawah setir—bisa naik-turun dan maju-mundur. Praktis sekali. Posisi yang benar membuat badan lebih awet bugar ketika berkendara dalam waktu lama.
Sebagaimana mestinya SUV, cakupan pandangan pengemudi terasa luas. Pandangan ke depan, ke kiri, dan ke kanan tak ada penghalang berarti. Ada heads-up display (HUD) dengan ukuran angka besar-besar di kaca depan yang membuat pengemudi tak perlu sering-sering memalingkan pandangan dari depan. Cuma, pandangan ke belakang agak terbatas, sebagai konsekuensi bentuk bodi coupe yang melandai di belakang.
Terbatasnya pantauan kondisi di belakang mobil dari spion tengah itu bisa dikompensasikan menggunakan kamera belakang yang gambarnya tampak bening di layar 12,3 inci. Kaca spion kiri dan kanan cukup luas. Hanya saja, bagian samping buritan mobil yang melebar terlihat jelas di spion. Ini hanya butuh pembiasaan pengemudi saja.
Kalau suara geraman halus sudah keluar dari muffler knalpot, Anda siap memacu mobil ini. Jangan lupa kenakan sabuk pengaman berwarna merah khas mobil-mobil keluaran AMG itu. Kalau suara knalpotnya dirasa kurang seru, Anda bisa naikkan volumenya dengan menekan tombol di panel tengah. Rangkaian speaker keluaran Burmester siap menggaungkan bunyi raungan knalpot ke dalam kabin. Kabin mobil ini memang kedap suara sehingga tanpa sokongan speaker, suara knalpotnya jadi kurang seru.
Rangkaian speaker yang sama juga melantangkan lagu-lagu yang bakal menemani perjalanan. Sayangnya, ketika kami mendengar siaran radio FM, kualitas audionya rata-rata saja. Mungkin perlu pakai berkas digital lagu beresolusi setara CD, atau menaikkan volumenya untuk mendengar detail instrumen musik. Ini bisa bikin bimbang: mau dengar suara knalpot atau dengar musik.
Tak pernah kendur
Ruang mesin mobil ini menyimpan mesin enam silinder segaris berkapasitas 3,0 liter (2,999 cc). Mesin itu ditopang dua peranti penambah tenaga, terdiri dari satu turbocharger dan satu kompresor bantu listrik. Tenaga dari mesin dan satu turbocharger mencapai 435 hp, dengan torsi maksimal 520 Nm. Sokongan kompresor dalam sistem hibrida ringan EQ Boost memberi tenaga tambahan 22 hp dan torsi maksimal 250 Nm.
Oleh karena itu, di berbagai putaran mesin, tenaganya tak pernah mengendur, ada terus. Ketika mengangkat kaki dari pedal gas, sejatinya Anda sedang mengisi daya listrik pada EQ Boost.
Sistem mesin sedemikian membuat kendaraan ini bisa mencapai kecepatan 100 km per jam dari berhenti dalam waktu 5,3 detik saja. Angka yang mengesankan untuk mobil seberat 2,3 ton ini. Kecepatan tertingginya dibatasi hingga 250 km per jam secara elektronik. Patut disayangkan, tapi bisa dimaklumi. Mana ada ruas jalan umum di Indonesia yang membolehkan mengebut secepat itu.
Walaupun sama-sama menyandang angka 53, kegarangan mesin AMG GLE 53 ini terasa masih di bawah Mercedes-AMG GT 53 4 Door Coupe yang Kompas uji beberapa waktu lalu. Ada perasaan teredam dan ”sopan” pada penyaluran tenaga AMG GLE 53 ini, bahkan di mode Sport+. Demikian juga suara knalpotnya, yang masih kalah garang dengan sedan sport empat pintu tersebut.
Tenaga dari mesin menggerakkan empat roda lewat sistem transmisi 9 percepatan, dinamakan AMG Speedshift TCT 9G, bisa secara otomatis maupun manual lewat paddle shift di area setir. Sementara sistem penggerak empat roda permanen 4Matic+ memastikan torsi didistribusikan ke masing-masing roda sesuai kondisi mengemudi dan keinginan pengendara. Layar monitor pun bisa menampilkan besaran daya di tiap-tiap roda.
Semua kecanggihan itu dapat dioperasikan lewat sentuhan jari di layar display, setir, atau sekitaran dasbor. Jika Anda sudah terbiasa dengan tombol-tombol—baik yang fisik dan virtual pada layar—seluruh kecanggihan mobil ini bakal berfungsi maksimal. Apalagi, kalau Anda siap menebus mobil berbanderol Rp 2,399 miliar (off-the-road) ini. (DHF/HEI)