Warna - Warni di Tahun Kelabu
Pandemi memang belum usai. Namun, harapan yang dihidupi oleh semangat berkarya akan mengantar pada pencapaian-pencapaian berharga.
Tahun 2020 mencatatkan banyak hal. Di tengah segala yang muram dan kelam, 2020 tetap menorehkan ‘warna’ berkat pencapaian-pencapaian baru yang justru tak pernah dinyana.
Hari-hari Ronald Surapradja (43) kini tak sama lagi. Bintang TV dan radio itu, kini lebih banyak berkutat di rumah, membuat berbagai desain untuk jenama mode barunya, Lawlaka. Lawlaka yang merupakan koleksi busana laki-laki modern dengan sentuhan kain Nusantara, diluncurkan justru di tengah pandemi Covid-19.
Meja kerjanya kini selalu penuh dengan kertas berisi ide-ide desain baru, bersanding dengan laptop, batik, lurik, dan tenun. Proses mendesain itu cukup menantang, tetapi Ronald menikmatinya.
“Nikmatnya adalah ketika kita punya batik, terus diulik. Ini bagusnya diapain. Soalnya saya nggak suka batik yang repetitif, seluruh badan batik semua. Saya hanya gunakan batik, tenun, atau lurik sebagai aplikasi. Sisanya kain polos. Ribetnya di situ, tapi nikmat,” ungkap Ronald, Kamis (7/1/2021).
Desain-desain itu biasanya lalu dikirim Ronald kepada timnya di Bandung, Jawa Barat. Diskusi intens pun biasa dilakukan via telepon. Dua bulan lalu, demi memenuhi permintaan yang makin masif, Ronald dan timnya berkeliling ke Yogyakarta, Solo dan Pekalongan, di Jawa Tengah, menemui para perajin kain.
“Ini semua gara-gara pandemi. Dari dulu udah suka sama kain-kain Nusantara. Batik, lurik, tenun. Dari dulu juga pengin punya brand fashion sendiri. Cuma belum tau konsepnya,” ujar Ronald.
Ketika pandemi menerjang, Ronald lebih banyak di rumah. Siaran, menemani anak belajar, membaca buku, beribadah, hingga akhirnya corat-coret mendesain.
“Awalnya bikin celana sarung. Kalau shalat Jum’at, saya penginnya pakai sarung. Cuma ngiket-nya suka nggak rapih, iseng bikin celana sarung. Di situ mulai gambar ide-ide. Pakai apa ya. Lalu pakai batik Garut yang ada di rumah,” tutur Ronald. Kecintaannya pada kain Nusantara, buah didikan sang nenek yang seorang pecinta batik.
Foto celana sarung itu lantas diunggah di Instagram. Hingga beberapa kali, ditambah baju atasan yang dia jahit di Pasar Mayestik. Ternyata banyak yang memuji, lalu memesan.
“Ide awalnya, saya tak ingin kalau shalat baju saya asal. Dari pandemi, satu hal yang saya dapat adalah peningkatan spiritual. Saya jadi lebih memaknai, mendapat pencerahan, saya nggak mau lagi ketemu Allah, shalat dengan baju seadanya. Saya mau tampil keren. Akhirnya iseng-iseng itu jadi serius,” katanya.
Setelah membuka gerai pertamanya di sebuah mal di Jakarta Pusat, Lawlaka kini tengah menjajaki kerja sama dengan calon distributor dan agen. Lawlaka juga akan merilis koleksi untuk perempuan.
Ronald sangat bersyukur. Pandemi, justru mencatatkan profesi baru untuknya. Menjadi perancang busana, seperti cita-citanya.
Meraih Puncak
Penulis Benny Arnas juga meraih ‘puncak’ di tengah pandemi. Ia tak pernah menyangka, keharusan di rumah saja, memacu kreativitas dan produktivitasnya. Di tahun 2020 yang serba tak pasti dan penuh tantangan, Benny berhasil merampungkan tiga novel, enam cerpen yang terbit di beberapa media massa, dan 53 esai yang terbit mingguan.
“Pandemi ini jadi kemewahan. Kalau dulu, harus ke Benny Institute dulu atau ke mana dulu, ini langsung bisa dikerjakan dan tidak terasa,” ujar Benny.
Novel Ethile Ethile yang berasal dari catatan perjalanan ke 15 negara di Eropa pada 2019 sempat dikira butuh durasi panjang untuk menyelesaikannya. Namun seakan memperoleh energi baru, novel itu rampung saat pandemi. “Draf awal 213 halaman, setelah disunting dan diselesaikan jadi 685 halaman,” ungkapnya.
Dua novel lain, Bulan Madu Matahari dan Cahaya di Bawah Cahaya juga dituntaskan dalam periode singkat. Salah satunya hanya dalam 3 hari. “Saya bilang sama diri sendiri, jangan enggak selesai karena ini momennya,” ujarnya.
Selain novel, sebanyak 53 esai Benny di sebuah portal sastra pun terbit tiap Rabu. Sebelum sibuk menulis novel dan skenario film serta mengurus Benny Institute, Benny memang dikenal melalui sastra koran. Tahun 2020 ia kembali lagi pada sastra koran. “Ini momentum comeback di sastra koran. Momen yang baik,” kata Benny.
Ia tak menampik jika dia pun syok saat pandemi menghantam dan mengubah aktivitas secara signifikan. Namun menurutnya, banyak waktu luang yang tak bisa cuma dileyeh-leyehin. Benny pun sukses ‘melahap’ 49 buku sepanjang pandemi.
Kesibukannya mengajar yang sempat terhenti sementara pun berubah arah secara daring. Awalnya hanya lewat Zoom, belakangan dia merilis kelas penulisan via Youtube. “Kalau enggak pandemi, enggak mungkin ada,” tuturnya.
Sutradara dan penulis naskah, Irfan Ramli juga tak membayangkan ada pandemi di tengah proses pembuatan filmnya. Walakin, dengan berbagai bentuk penyesuaian mekanisme kerja ditambah kesadaran tak mungkin berpangku tangan saja, karyanya berhasil menjumpai penonton. Film Generasi 90an: Melankolia, debut penyutradaraan Ipang, sapaannya, tayang di layar lebar pada 24 Desember 2020.
“Sebagai sutradara dan penulis skenarionya, penayangan itu jadi pencapaian. Itu memang output pekerjaan yang dilihat. Tapi, bisa menjalankan skema kerja di lab, mengembangkan cerita, dan menghasilkan naskah, itu saya anggap sebagai pencapaian tersendiri,” tutur Ipang.
Ipang tak hanya menulis naskah dan menyutradarai film, tetapi juga punya tanggung jawab memimpin Skriptura, unit lab pengembangan naskah di grup Visinema. Tugasnya mengisi kebutuhan kreatif Visinema Pictures dan Visinema Content.
Semasa pandemi, di luar Generasi 90an: Melankolia dan Generasi 90an: Melankolia The Series, Ipang menulis naskah film Story of Kale dan sekuel film keluarga yang diproduksi mulai Januari ini.
“Saya senang, di tengah pandemi bisa menjalankan lab pengembangan naskah, dengan penyesuaian luar biasa. Di awal terasa melelahkan karena kalibrasi ide biasanya butuh ketemu langsung untuk mendapat umpan balik. Lewat komunikasi bentuk baru, virtual, saya sering merasa di ruang kosong. Tapi, saya harus bisa memahami, ini bukan cuma soal produktivitas,” papar Ipang.
Ruang untuk bergerak demikian sempit. Untuk Story of Kale, dia diminta sutradara Angga Dwimas Sasongko membuat skrip yang mobilitasnya rendah, tapi punya penceritaan dramatis. Jumlah adegan sedikit, tapi bisa memenuhi durasi film. “Itu enggak pernah terjadi sebelumnya, cerita harus menyesuaikan produksi,” kenangnya.
Proses observasi sebagai pendukung pengembangan naskah juga tak bisa dilakukan. Saat harus mengobservasi suasana saat anak-anak pulang sekolah tetapi tak ada anak sekolah, dia harus membayangkan suasana itu di kepalanya.
Ipang pun tak pernah membayangkan merilis film di masa pandemi. Tak ada pegangan atau panduan sebelumnya. Seiring pembukaan bioskop, film Generasi 90an: Melankolia dihadirkan sebagai pendukung ekosistem bioskop yang mulai menggeliat.
“Karena bioskop buka, pilihannya mendistribusikan film ini. Sebagai sutradara, apalagi debut, film bisa tayang di bioskop saja senang banget. Pertaruhannya luar biasa, terlebih kalau pertimbangannya angka. Wonder Woman saja cuma bisa meraup 10 persen dari kapasitas normal,” lanjut Ipang.
Meski banyak telepon atau pesan masuk yang meminta maaf belum berani pergi ke bioskop, Ipang tetap bersyukur karena tetap ada penonton yang pergi ke bioskop, sehingga filmnya tetap bisa menghadirkan perbincangan. “Ini kebanggaan sebagai pembuat film. Saya jadi lebih terpacu lagi. Ini jadi energi, jadi gambaran bahwa tetap ada orang yang optimistis. Bagi saya, menang itu satu hal, tapi bertahan jauh lebih puitis,” kata Ipang.
Rilis Album
Penyanyi Ify Alyssa juga mensyukuri pencapaiannya di tahun 2020 meski terbentur pagebluk dan kehilangan sang ayah Maret 2020. “Awalnya, aku sering menyalahkan keadaan yang bikin aku kesannya stuck, enggak bisa ngapa-ngapain. Tapi sadar juga kalo mikir gitu terus enggak bisa maju,” tutur Ify.
Selain menemukan hobi baru, Ify menggunakan waktunya untuk mempelajari instrumen musik baru dan ikut kelas daring dari idolanya, Gretchen Parlato dan Indra Lesmana. Ia pun fokus menyelesaikan album perdananya yang sudah berproses sekitar empat tahun, hingga rilis Oktober 2020. Judulnya, Pelita Lara.
“Priceless moment dan ngerasa termotivasi banget. Sesedihnya aku sama tahun 2020, bersyukur akhirnya bisa lulus kuliah dan rilis album. Tahun ini banyak goal yang udah kuatur. Masalah nanti terealisasi atau ada hambatan karena pandemi, itu nomor sekian. Yang penting usaha,” ujarnya.
Pada Oktober 2020, Maya Kodde (43) yang pada tahun 2015 merilis album This Is Love, juga merekam lagu baru. Maya yang kini menetap di Arnhem, Belanda, karena bekerja di bidang ekspor impor, pulang ke Jakarta pada 20 Desember 2020 dan masuk studio keesokan harinya. Ia menggandeng pencipta lagu, produser, dan penata musik, Alam Urbach.
Lagu itu rencananya akan dipromosikan agen, sementara video klipnya dibuat di Eropa. Ia ingin syuting di kota tua saat musim salju. Dua lagunya yang lain, akan dirilis April 2021.
Pandemi memang belum usai. Akan tetapi, harapan yang dihidupi oleh semangat berkarya akan mengantar pada pencapaian-pencapaian berharga.