Pandemi sekaligus menjadi momentum untuk merefleksi ulang proses produksi agar menjadi lebih baik bagi lingkungan. Dan, Mycotech menawarkan jawabannya.
Oleh
Mawar Kusuma Wulan
·5 menit baca
Kulit binatang sebagai bahan baku produk mode berpotensi besar menyumbang limbah perusak lingkungan. Mata dunia mode lantas melirik ke material kulit ramah lingkungan. Bahan masa depan pengganti kulit itu, antara lain, disuguhkan perusahaan rintisan MYCL atau Mycotech Lab dengan lembaran kulit dari miselium jamur yang disebut mylea.
Lembaran kulit dari miselium yang diproduksi di kawasan perdesaan di Cipada, Cisarua, Bandung Barat, ini terbukti mendapat respons pasar yang menakjubkan. Diluncurkan pada 2015, kulit mylea langsung dibeli 100 pembeli dari 16 negara dengan total transaksi 20.000 dollar Amerika Serikat dalam satu bulan pertama.
Saat ini, 90 persen dari keseluruhan produksi lembaran kulit jamur Mycotech dipasarkan untuk ekspor. ”Fasilitas produksi kami saat ini full sampai 2027,” kata CEO dan Co-Founder Mycotech Lab Adi R Nugroho saat dihubungi, Rabu (2/12/2020).
Pada 10-19 Desember 2020, Mycotech memamerkan keunggulan lembaran kulit jamur yang telah diolah menjadi berbagai macam produk mode nan cantik di Fabcafe Kyoto, Jepang. Bekerja sama dengan beberapa label lokal, seperti Eijfes, Brodo, dan Naradani, Mycotech menampilkan sepatu kets, dompet, tali jam tangan, hingga tas.
Secara alami, kulit miselium jamur ini berwarna kecoklatan. Untuk memperoleh warna lain seperti merah atau hitam, kulit jamur tersebut diwarnai dengan proses alami. Warna coklat kemerahan dihasilkan dengan memakai pewarna kayu tingi atau secang yang memang sudah biasa dipakai untuk pewarnaan natural tekstil.
Kulit ini dipanen dari miselium yang berupa kumpulan benang hifa yang tumbuh vegetatif memenuhi media pertanaman jamur. Jika kulit sapi harus menunggu dua tahun sebelum dipanen, kulit miselium bisa dipanen setiap 60 hari. Meskipun berasal dari jamur, performanya serupa dengan kulit dari sapi. Aneka produk dari kulit miselium juga awet, tahan air, dan cantik.
Untuk membuktikan ketahanan dari kulit mylea, Adi menunjukkan dompet kulit yang telah ia pakai sejak 2018. Meskipun tiap hari dipakai, tidak tampak adanya kerusakan atau goresan pada dompet tersebut. Kalaupun ada lecet, itu masih tergolong minor.
Limbah pertanian
Kulit yang dibuat dari miselium jamur ini juga terbukti ramah lingkungan karena keseluruhan prosesnya alami. Hal ini berbeda dengan kulit sapi yang diawetkan melalui proses ”tanning” yang menggunakan logam berat berbahaya yang mudah menguap dan menyebabkan polusi ekstrem pada air, udara, dan tanah.
Kebanyakan konsumennya tertarik karena memakai produk Mycotech berdampak positif langsung pada bumi. Dengan membeli sepatu kets jamur, misalnya, konsumen berpartisipasi menghemat sekitar 21,3 kilogram karbon dioksida, sedangkan dompet akan membantu menghemat sekitar 4,4 kilogram karbon dioksida.
Selain mengonsumsi air dalam jumlah besar, peternakan sapi juga menghasilkan gas metana yang cukup tinggi. Gas metana dan karbon dioksida ini merupakan gas rumah kaca yang berpotensi merusak lapisan ozon. Sementara kulit sintetik yang nonhewani masih mengandung plastik yang juga tak kalah berbahaya bagi lingkungan.
Miselium sebagai kulit biosintetik semakin ramah lingkungan karena ditumbuhkan di media tanam yang dibuat dari produk daur ulang limbah pertanian. Limbah pertanian yang cocok bagi pertumbuhan jamur ini adalah limbah yang mengandung selulosa, seperti serbuk kayu, serat nanas, kelapa sawit, dan ampas serat tebu. Mycotech bekerja sama dengan sekitar 200 petani.
Oleh karena bisa ditumbuhkan vertikal, lahan yang dibutuhkan pun lebih efisien. Tujuh kilogram limbah bisa dikonversi menjadi satu sepatu kets kulit jamur. ”Di Indonesia banyak banget limbah pertanian jadi bahan baku, enggak ada masalah. Malah memberi solusi limbah pertanian. Limbah pertanian juga berkontribusi tinggi untuk emisi karbon di Indonesia,” tambah Adi.
Di media tanam limbah pertanian ini, miselium jamur akan tumbuh kemudian dipanen dalam bentuk lembaran. Setelah diproses dengan pewarnaan alami, lembaran tersebut dipasarkan ke berbagai label untuk menciptakan produk ramah lingkungan. Produk berbahan kulit jamur ini juga mudah didaur ulang karena bisa dihancurkan hanya dalam 20 pekan.
Potensi besar
Meskipun mayoritas produknya untuk memenuhi kebutuhan ekspor, minat pengusaha UMKM lokal pun tak kalah besar. Pasar mylea saat ini adalah 53 persen untuk Asia Pasifik, 28,3 persen Eropa, dan 13,3 persen untuk Amerika. Mycotech juga sudah bekerja sama dengan 21 label lokal.
Beberapa pengusaha memilih kulit jamur agar bisa menembus pasar ekspor. Produsen jam Pala Nusantara yang sebelumnya tak bisa ekspor ke Amerika Serikat, misalnya, kini bisa mengekspor dengan bahan baku kulit miselium. ”Kami pemasok raw material. Tetapi tetap melakukan co-branding. Kami andil dalam setiap brand yang memakai kulit miselium,” tambah Adi.
Saat ini, Mycotech fokus pada kerja sama untuk produk kulit berbentuk kecil, seperti sandal, sepatu, dan tas kecil. Hal ini karena lembaran kulit yang dihasilkan masih terbatas berukuran kertas A3 dengan tebal 3-9 milimeter. Pengembangan selanjutnya, Mycotech akan meningkatkan fasilitas produksi untuk ukuran lembaran miselium dengan ukuran yang sebetulnya bisa tak terbatas.
Harga jual kulit dengan teknologi miselium ini masih sama dengan harga jual kulit sapi. ”Ke depan berharap bisa lebih murah. Kapasitas masih kecil enggak bisa murah banget jualnya, masih masuk kulit premium,” ujar Adi.
Dalam proses produksi mylea, Mycotech juga mengolah limbah miselium yang kemudian dibuat menjadi bahan panel bangunan dan material komposit yang disebut biobo. Biobo atau panel dekoratif ini, antara lain, dipakai untuk elemen dinding interior sebagai pengganti papan partikel.
Proses penemuan teknologi miselium ini dimulai dari tahun 2015 ketika Mycotech lahir. Awalnya, Adi bersama rekan-rekannya sesama alumni ITB: Robby Zidna Ilman, Ronaldiaz Hartantyo, M Arkha Bentangan L, dan Annisa Wibi Ismarlanti, mengawali Mycotech dari usaha ”Growbox”. Growbox merupakan bisnis media tanam yang mengedukasi konsumennya untuk menumbuhkan jamurnya sendiri.
Dengan 30 orang sebagai anggota tim, Mycotech kini terus berkomitmen memajukan bisnis yang berkesadaran lingkungan. ”Kami investasi di risetnya. Kami fokus mengembangkan teknologinya. Tidak lagi commodity based economy, tetapi knowledge based economy. Kami mengembangkan teknologinya. Bukan hanya kulit, tetapi lisensi teknologinya. Dengan Mycotech sebagai kendaraan,” tutur Adi.
Ketika gairah terhadap produk mode di masa pandemi cenderung turun, minat terhadap produk kulit miselium jamur justru melonjak. Pandemi sekaligus menjadi momentum untuk merefleksi ulang proses produksi agar menjadi lebih baik bagi lingkungan. Dan, Mycotech menawarkan jawabannya.