Jangan Berhenti Berdenyut...
Merujuk pada penelitian yang dilakukan Finder, resolusi 2021 tak hilang. Namun, kini terjadi pergeseran. Orang tak lagi bermuluk-muluk.
Masih segar dalam ingatan, tiupan trompet dan gebyar kembang api di pengujung 2019. Optimisme menyambut 2020 disertai deretan target dan rencana. Dua bulan pertama, semangat masih membara. Memasuki Maret 2020, pandemi ikut menjungkalkan Indonesia, mengacak-acak resolusi di tahun cantik. Ah, hidup pasti sedang bercanda….
Tegang. Itu yang dirasakan Lya Fahmi, seorang psikolog klinis yang bekerja di salah satu puskesmas di Yogyakarta, ketika pandemi bertamu juga ke Indonesia. Semua orang panik dan takut. Antrean puskesmas membeludak dengan orang-orang yang bergejala batuk, pilek, hingga demam.
Walau kerap kali hanya flu biasa, mereka cemas terpapar. Tenaga kesehatan hilir mudik tak kenal waktu. Mereka juga kebingungan melawan musuh tak terlihat. Bukan hanya fisik, psikis juga terombang-ambing dengan situasi serba mendadak. ”Sebagai psikolog klinis dituntut untuk bisa. Ngeliatnya ke saya. Padahal, saya juga butuh penyesuaian. Teori dan praktiknya beda. But the show must go on,” ujar Lya saat berbincang, Selasa (5/1/2021).
Di tengah kegentingan tempatnya bekerja, kondisi di rumah juga menjadi tantangan tersendiri. Lya mengakui memiliki persoalan dalam relasinya dengan suami sekitar tiga tahun terakhir ini. Ada nilai yang bergeser dirasakannya sepanjang sembilan tahun menjalani rumah tangga. ”Sampai muncul perasaan, kok gue nikahnya sama orang ini, sih?” ungkap ibu satu anak ini.
Hingga kebijakan bekerja di rumah justru mengubah semuanya. Intensitas pertemuan dengan suami jelas meningkat. Mau tidak mau, komunikasi yang diakuinya sempat terhambat karena kesibukan masing-masing perlahan lancar.
”Saya menyebutnya komunikasi yang terkoreksi. Tadinya saya sibuk mikir sendiri, kesel sendiri, sehingga mengembangkan kesimpulan sendiri. Setelah terus-menerus berbicara dari hati ke hati, karena banyak waktu bersama, saya jadi tahu dari persepsi dia seperti apa. Saya seperti kembali menemukan dia yang dulu bikin saya jatuh cinta,” tuturnya.
Ditambah lagi, ia dihadapkan pada situasi dirinya terpapar Covid-19. Ia pun melihat suaminya yang sigap, tetapi juga jadi sangat khawatir. Terlebih lagi mengetahui selama ini Lya berjuang melawan psoriaris akut. Di sisi lain, ayah dari sang suami baru saja meninggal karena Covid-19 dan ibunya pun tengah menjalani isolasi bersamaan dengan Lya.
”Kalau ditanya pembelajaran, jelas banyak, termasuk hubungan di rumah. Kalau ditanya resolusi, yang penting sekarang semuanya sehat dan saya ingin bisa ketemu orangtua saya. Sepanjang pandemi ini belum sempat bertemu orangtua di Riau. Yang lainnya, tahan dalam menghadapi permasalahan dan lebih menerima keadaan apa pun. Kali ini, ilmu yang ada dipakai untuk diri sendiri,” imbuhnya.
Seorang psikolog lain, Analisa Widyaningrum, yang juga aktif sebagai kreator konten juga merasakan implementasi ilmu yang dipelajarinya untuk diri sendiri dan kondisi yang dihadapinya. Berbagai rencananya bersama keluarga dan pekerjaan tertunda sesaat setelah pandemi masuk, padahal ambisinya untuk 2020 cukup besar: memperluas jangkauan kantor yang dirintisnya.
”Tim intiku yang bagus-bagus keluar di awal itu, minta pulang kampung. Kerjaan offline jadi cancel semua tiga bulan. Akhirnya aku pindah tinggal di kantor. Kebetulan setelah selama ini ngontrak, aku bisa beli kantor ini di 2019. Baru pindah, ternyata pandemi, padahal ini masih nyicil juga,” ungkapnya.
Di tengah ketidakpastian, ia mencoba beradaptasi dan fokus mengerjakan konten melalui sarana digital. Perlahan, ia mulai kebanjiran tawaran untuk mengisi webinar di berbagai institusi.
”Berjalan tujuh bulan online. Di bawah, anak-anak sekolah online. Di atas, aku ngantor. Sebagian karyawan work from home. Udah berjalanlah. Eh, di pengujung tahun setelah berasa dikasih gampang, karyawan-karyawanku (terpapar) Covid-19 karena setelah nyoba work from office lagi, prokesnya (protokol kesehatan) lalai, enggak ketat,” kisahnya.
Dari 12 karyawan yang dilakukan tes, tujuh orang terdiagnosis positif Covid-19. Analisa mengaku drop dengan kondisi itu. Suami dan kedua anaknyalah yang tak berhenti menyemangatinya. Bahkan, suaminya aktif memberikan masukan sekaligus solusi agar dirinya mampu melewati semuanya.
”Balik lagi, semua memang sudah ada yang menuliskan skenarionya. Tinggal kita mau adaptasi enggak dengan perubahan. Dengan pengalaman di 2020 ini, aku pengin memperbaiki working memory-ku yang lemah untuk menyeimbangkan lagi hidup. Lebih mindful, enggak tergesa-gesa. Kalau jangka pendeknya, menyusun program biar semuanya bisa kerja dari rumah dengan nyaman dan semua aman,” katanya.
Nilai kepasrahan
Gitaris Slank, Ridho Hafiedz, pun memetik banyak pelajaran hidup pada 2020. Di antaranya adalah tentang kepasrahan. Bermula dari dirinya dan keluarga yang sempat terinfeksi Covid-19 dan harus menjalani karantina mandiri selama 25 hari di rumah mereka. Padahal, banyak kewajiban yang harus diselesaikan.
”Ini kayak belajar pasrah, harus jaga kesehatan dengan banyak minum vitamin. Covid-19, kalau enggak siap, yang diserang ya mental kita. Yakin semua bisa dilewati jika dari awal mendeteksi itu,” ujar Ridho yang sampai menjalani tujuh kali tes usap (swab) hingga memperoleh hasil negatif agar aman untuk kembali bekerja.
Selama isolasi mandiri pula, ia merasakan perhatian tulus yang diberikan oleh rekannya yang dokter, dokter dari puskesmas, dan semua sahabatnya. ”Ternyata, banyak yang sayang kita, banyak yang peduli. Aku pikir bakal sibuk pesan Gofood. Ternyata makanan datang berlimpah. Tiap hari ada yang kirim makanan, vitamin, booster, dan lain-lain. Mereka masih sayang kita. Itu susah dilupakan. Mereka menguatkan mental, masih banyak yang mendoakan kita,” kata Ridho.
Di sela-sela masa karantina pula, Ridho meluncurkan album solo pertamanya bertajuk Legacy tentang keindahan Maluku. ”Jadi kayak ada semangat. Kayak nambah imun. Setelah tujuh tahun akhirnya rilis,” kata Ridho.
Ketika ditanya resolusi hidup di tahun yang baru ini, Ridho tak menyebut sesuatu yang muluk-muluk. Ia berharap vaksinasi Covid-19 bisa berjalan dengan baik. Ia juga mengingatkan pentingnya perilaku disiplin untuk penerapan 3M, yaitu memakai masker, mencuci tangan, serta menjaga jarak dan menghindari kerumunan.
Ridho juga ingin berlibur bersama keluarga untuk kembali melihat keindahan Indonesia. Destinasi wisata di Indonesia seperti Lampung, Belitung, atau jalan darat keliling Jawa hingga Banyuwangi menjadi opsi bagi keluarganya.
Dua kali dalam setahun, Ridho biasanya pulang ke tanah kelahirannya, Ambon. ”Aku ke sana (Ambon) biasanya liburan. Lebaran keluarga kumpul di sana. Anak-anakku senangnya ke Ambon, kalau liburan selalu minta. Anak-anakku dapat soul-nya liburan ke sana,” ujarnya.
Hidup itu kolaborasi
Senada dengan itu, seniman John Martono (48) meraih hikmah sepanjang pandemi Covid-19 tahun 2020. Ia berkaca dari praktik seni yang dilakoninya. Praktik seni rupa berbasis serat tenun bakal melibatkan banyak tangan, banyak karakter orang yang berbeda-beda, sehingga praktik seni ini otomatis menjadi kerja kolaborasi. Tidak hanya dalam praktik seni, tetapi hidup itu sendiri semestinya berkolaborasi.
”Ada yang datang dan pergi di masa-masa pandemi Covid-19 tahun 2020. Di masa pergantian tahun baru 2021 ini saya membuat resolusi ’Seni Bersama – Bersama Seni’, untuk saling berkolaborasi dan saling menghidupi,” ujar John Martono, yang juga pengajar Seni Tekstil pada Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB).
Ungkapan ”Seni Bersama – Bersama Seni” sudah dituliskan di studio kerjanya di Bandung, Jawa Barat. ”Seni Bersama” mengisyaratkan praktik seni yang dikerjakan bersama-sama. John menggandeng ibu-ibu tetangga untuk menenun atau merajut tekstil. Ini sekaligus aktivitas ”Bersama Seni” yang bisa meraih penghasilan untuk saling menghidupi.
Kini, ia merancang 365 hari di tahun 2021 untuk membuat catatan praktik kerja seni terbarunya. John merancang produksi tapestri atau tenunan tebal yang ingin dipadukan dengan bahan-bahan kolase. John mempersiapkan bahan kolase dengan media sulam dan lukisan tangannya sendiri.
John membuat sketsa. Dari sketsa-sketsa itu ada yang dijadikan lukisan, ada yang dijadikan sulaman. Ketika ingin disulam, sketsa itu diserahkan kepada tim sulam. ”Saat ini tim sulam ada sebanyak 10 orang, tim tenun tapestri enam orang, dan dua orang untuk tim celup benang,” kata John.
Hasil sulaman sketsa biasanya memiliki karakter yang berbeda-beda. Ibaratnya, ada 10 penyulam, maka akan ada 10 karakter sulaman. ”Ada karakter sulaman rapi dan tidak rapi. Hasil sulaman tidak rapi tetap saya butuhkan. Ini bagian dari kerja kolaborasi,” kata John, yang dikenal pula atas karya-karya mural yang pernah dikerjakan bersama masyarakat di dinding jalan layang Antapani, Bandung.
Sosiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Bagong Suyanto, menuturkan, tidak memasang target secara muluk bukan tanda pesimisme, tetapi lebih sebagai sikap realistis. Menurut dia, justru berbahaya apabila sampai terjadi deprivasi relatif yang terlampau jauh.
”Kalau deprivasi relatifnya terlalu lebar, justru berbahaya. Artinya, antara harapan dan kenyataan, kalau terlampau lebar, justru membuat orang akan kecewa lebih dalam. Jadi, menurut saya, dalam kondisi seperti ini justru mereka lebih realistis karena mematok targetnya memang visible untuk dicapai,” ujar Bagong.
Terlebih lagi, dengan sifat masyarakat yang dinamis, tidak selamanya target akan dipasang selalu ”rendah”. Bila situasi membaik, pasti akan ada evaluasi. ”Masyarakat kita itu, kan, dinamis, realistik, dan juga tidak mudah larut pada mimpi-mimpi kosong sekarang ini. Jadi sudah lebih realistis. Dalam sosiologi disebut dengan istilah liquid society, yaitu masyarakat yang cair, mudah beradaptasi, mudah menyesuaikan dengan keadaan dan tidak stagnan,” ujarnya.
Merujuk pada penelitian yang dilakukan Finder, resolusi 2021 tak hilang. Namun, kini terjadi pergeseran. Orang tak lagi bermuluk-muluk. Di Amerika Serikat, mayoritas resolusi berkisar pada kesehatan, pengembangan diri, dan finansial. Menariknya, orang-orang yang masih menentukan resolusi ini didominasi Gen Z dan milenial. Untuk generasi boomers, mereka tak lagi mengatur tujuan memasuki 2021.
Ya, banyak hal pada 2020. Hal yang tak pernah disangka. Hal yang di luar rencana. Namun, bukan berarti tak lagi berpengharapan di tahun 2021. Hidup memang tidak selalu sesuai rencana, bukan? Namun, bukan lalu terhenti.