Pandemi Covid-19 menguji ketangguhan pekerja kreatif. Tahun ini roda industri kreatif belum sepenuhnya pulih.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Bagi pekerja kreatif, pandemi Covid-19 benar-benar menguji kesintasan. Mereka harus menguras tabungan atau terpaksa berutang demi menyambung hidup hari demi hari. Tahun ini, industri kreatif dinilai belum sepenuhnya pulih. Mendung masih menggelayuti penghidupan mereka.
Rudi Nofiandri (31), desainer grafis dengan nama beken Rudi Angelo, masih ingat betul pengalaman tiga bulan pertama pandemi menghantam Indonesia. Pekerja yang biasanya menerima ratusan dollar AS setiap bulan tiba-tiba tak menghasilkan apa-apa.
Di saat bersamaan, istrinya yang mengajar di salah satu lembaga bimbingan belajar (bimbel) di Padang, Sumatera Barat, dirumahkan. Istrinya baru kembali bekerja dua bulan lalu. ”Beruntung kami sudah ada tabungan sebelumnya. Kalau tidak, aduh pusing,” katanya ketika dihubungi dari Jakarta, Jumat (8/1/2021).
Sejak 2019, Rudi berpaling ke konsumen luar negeri dengan memasang desain di Pinterest. Konsumen mulai tumbuh, baik dari personal maupun dari perusahaan. Langkah ini ditempuh karena konsumen lokal, apalagi di kota kecil seperti Padang, belum menghargai pekerjaan desainer grafis.
”Kadang bikin logo terus cuma dibayar Rp 100.000. Itu mikirin ide logonya saja susahnya minta ampun. Makanya pindah ke konsumen luar negeri yang lebih bisa mengapresiasi pekerja kreatif,” katanya.
Sebelum pandemi, Rudi bisa mengantongi 800 dollar AS atau sekitar Rp 11 juta setiap bulan dari jasa pembuatan desain. Rerata konsumennya merupakan perorangan dan perusahaan yang membutuhkan desain produk dalam bentuk komik atau ilustrasi.
Biasanya, para konsumen melihat karya Rudi di Pinterest atau akun Instagram Jiproduction. Jika tertarik, konsumen menghubunginya melalui surat elektronik dan Whatsapp. Setelah desain selesai, Rudi dibayar melalui PayPal.
Setelah 10 bulan pandemi, permintaan jasa desain mulai menggeliat meski belum sepenuhnya normal. Awal tahun ini, Rudi sedang mengerjakan desain pesanan konsumen dari Hong Kong dan Jerman.
”Yang perusahaan Hong Kong minta dibuatkan foto produk dalam bentuk vektor. Kalau Jerman minta dibuatkan ilustrasi gedung dalam bentuk komik. Total biaya jasa untuk keduanya 300 dollar AS (sekitar Rp 4 juta). Lumayanlah, pelan-pelan mulai ada lagi yang mesan,” ujarnya.
Tiga kali pemotretan
Di Yogyakarta, fotografer lepas Rully Adhi (26) tercatat hanya tiga kali memotret band yang konser selama pandemi yang sudah berlangsung lebih dari 10 bulan ini. Pada setiap konser, dia mendapat Rp 100.000. ”Mungkin karena aku pemain baru di bidang pemotretan konser, makanya masih minimalis harga jasanya,” ujarnya.
Dia sedikit tertolong dengan sejumlah proyek foto dan video dari kampusnya, Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. Sejumlah temannya juga menawarkan proyek penerjemahan artikel.
Kendati demikian, semua pendapatan itu tetap belum cukup. Terkadang, dia masih menerima subsidi dari orangtua. Kini, Rully sedang mencari pekerjaan tetap. Beberapa tawaran pekerjaan sudah dia dapat, tetapi posisi kantornya di luar Yogyakarta. ”Untuk saat ini, aku baru bisa menerima pekerjaan di Yogyakarta. Soalnya aku juga harus bolak-balik ke Solo untuk mengunjungi orangtua,” tambahnya.
Di Yogyakarta, fotografer lepas Rully Adhi (26) tercatat hanya tiga kali memotret band yang konser selama pandemi yang sudah berlangsung lebih dari 10 bulan ini.
Riset yang dilakukan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) pada 20 Maret-4 April 2020 terhadap 139 pekerja kreatif menunjukkan, 61 persen responden mengalami pembatalan kontrak kerja. Untuk bertahan hidup, 41,6 responden memilih menguras tabungan, sebanyak 22,3 persen mengambil pinjaman daring, 20,6 persen menjual barang pribadi, dan 10,7 persen mengandalkan bantuan orangtua.
Pelaksana Tugas Ketua Pengurus Harian Sindikasi Ikhsan Raharjo menjelaskan, tidak semua pekerja kreatif bisa bekerja dari rumah selama pandemi. Ada sejumlah profesi yang menuntut mereka ke lapangan. Ketika gelaran ditiadakan, mereka yang harus bekerja di lapangan otomatis tak mendapat penghasilan.
Pada 2021, sejumlah pekerja kreatif yang pekerjaannya tak bisa digelar daring masih belum bekerja. Dalam ekosistem ekonomi kreatif, dia melanjutkan, pekerjanya tidak hanya penampil. Ada juga pekerja di bagian tiket ataupun pengaturan panggung. Sementara gelaran masih belum dimungkinkan.
”Kalaupun ada perubahan penghidupan, skalanya masih sangat kecil. Kalaupun ada yang mulai dapat kerja, mereka juga harus membayar tagihan atau utang di tahun lalu. Kami masih belum tahu bagaimana ke depan. Apakah vaksin bisa mengubah kondisi ini sepenuhnya dan untuk saat ini masih serba tak menentu,” ujarnya.
Dia menjelaskan, ada 89 dari total 400 pekerja kreatif di Sindikasi yang sangat membutuhkan bantuan. Sindikasi melakukan intervensi sosial dengan memberikan dana tunai melalui program sindikasi.bagirata.id. Publik bisa turut urunan dan membantu pekerja terdampak.
Dari 89 pekerja kreatif yang disasar, Sindikasi membagi tiga klasifikasi, yakni pekerja lajang, pekerja dengan satu tanggungan orang dewasa, serta pekerja dengan tanggungan satu orang dewasa dan anak. Mereka masing-masing mendapat Rp 900.000, Rp 1,1 juta, dan Rp 1,2 juta.
”Yang cukup rentan itu pekerja kreatif yang tinggal sendiri. Otomatis mereka harus membayar sewa indekos. Ditambah lagi pekerja kreatif yang sudah berkeluarga. Mereka juga harus memikirkan kebutuhan hidup untuk anak dan istri,” katanya.
Pandemi yang masih berlanjut tahun ini membuat bayangan kelam tahun lalu masih terlihat. Entah sampai kapan.