Harapan Memberi Energi Besar
Harapan pada 2021 bisa jadi seperti cakrawala, berkelap-kelip di kejauhan dan sulit untuk menggapainya, apalagi mewujudkannya. Akan tetapi, harapan penting untuk terus dipelihara,
Merawat harapan sangat penting bagi banyak orang agar bisa bertahan dari pandemi Covid-19. Harapan menjadi energi yang terus menggerakkan kehidupan.
Pemikir Kebudayaan Jean Couteau melihat, harapan pada tahun 2021 bisa jadi seperti cakrawala, berkelap-kelip di kejauhan dan sulit untuk menggapainya, apalagi mewujudkannya. “Bisa saja itu utopia, akan tetapi tetap penting untuk dipelihara,” kata doktor asal Perancis yang tinggal di Bali, Kamis (31/12/2020).
Harapan menjadi penyemangat antara lain bagi Matilda Narulita (32), untuk menghadapi situasi betapa pun buruknya. Memiliki harapan membuat penderita kanker ini bertahan melewati hari-hari di tengah pandemi.
“Setiap hari aku bangun dengan masalah yang sama, sakit yang belum sembuh. Harapan, sesedikit apa pun itu, memberi semangat dan memastikan tujuan hidup,” ujarnya di Jakarta, Rabu (23/12).
Matilda didiagnosis mengidap kanker pada 2014. Selama lima tahun terakhir, ia menjalani kemoterapi di Singapura, Amerika Serikat, dan Indonesia. Belakangan, ia rutin berobat ke tujuh dokter di Singapura. Pandemi Covid-19 membuat jadwal pengobatannya berantakan.
Berkaca dari berbagai rintangan pada 2020, Matilda memutuskan hanya akan fokus pada hal-hal yang bisa ia kontrol. Ia menjadikan penyembuhan fisik dan mental sebagai tujuan utama. Konsekuensinya, dia harus mengurangi beban kerja. Matilda tak mau terbebani oleh harapan yang melambung.
Pokoknya surrender, melepaskan diri dari keinginan mencapai sesuatu, menjalani hidup lebih ikhlas
“Pokoknya surrender, melepaskan diri dari keinginan mencapai sesuatu, menjalani hidup lebih ikhlas,” ujarnya.
Jais Dargawidjaja, yang menetap di Bali, hampir selalu menyandarkan tujuan hidupnya pada harapan. Art dealer internasional itu sangat tergantung kepada dinamika lelang karya seni di dunia. Ketika badai Covid-19 meletup awal tahun 2020, aktivitasnya praktis terkunci. Jais yang biasa melanglang buana di kota-kota pusat seni seperti Paris dan New York, tiba-tiba harus tinggal di rumah saja.
“Beruntung lho masih ada harapan. Saya rawat harapan, untuk perbaikan di tahun 2021,” ujarnya, Sabtu (2/1/2021) di Denpasar, Bali.
Sejak pandemi Covid-19 melanda dunia, kehidupan manusia sepanjang tahun 2020 berjalan seperti simulasi. Seluruh kehidupan ekonomi dan pendidikan berdenyut di layar-layar digital.
Pembatasan perjumpaan fisik untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, telah membuat kita menatap teknologi untuk mencari jalan keluar. Belakangan kita sadar, keterhubungan yang kita konsumsi tak lebih dari simulasi-simulasi yang seolah-olah nyata.
Di tengah-tengah gelimang dunia simulasi itu, Jais justru berpikir lebih realistis. Saat-saat jelang tahun baru 2021 misalnya, ia melakukan detoks, pembuangan “racun” ketergantungan terhadap telepon genggam. “Saya matikan HP selama seminggu. Itu cara untuk menggenggam kenyataan,” katanya.
Silvester Petara Hurit (39) berupaya memanfaatkan teknologi komunikasi digital dalam menggarap seni teaternya. Bersama sejumlah pegiat teater di Larantuka, Flores Timur, ia sempat membuat pertunjukan virtual, Oktober silam. Namun, dia merasa pertunjukan teater secara virtual menyisakan kelemahan.
“Peristiwa teater tak terbatas pada pertunjukannya. Ada proses kolektif yang mengiringinya. Kami rindu bertemu (langsung) dengan sesama pegiat teater, dan dengan penonton,” kata dia. Lensa kamera, ujarnya, hanya berlaku seolah-olah penonton, bukan mata sebenarnya.
Bagi Dewi Bagus, pemilik De Harvest, produsen makanan ringan di Tomohon, Sulawesi Utara, harapan itu berarti pulihnya omzet penjualan produk-produk keripik. Pandemi telah memukul usahanya tanpa ampun, lantaran Sulut kehilangan wisatawan. Sementara berjualan secara daring, tak menyediakan harapan karena ongkos kirimnya mahal.
“Saya tak muluk-muluk, harapan itu, ya pulihnya omzet penjualan keripik,” kata Dewi Bagus, Senin (28/12) yang dihubungi dari Manado.
Transisi
Senantiasa menjaga harapan juga penting bagi Christa Helda Elim (34). Tahun 2021 ini ia jadikan momentum memulai hidup baru di kota baru. “Aku berharap pandemi cepat berlalu karena akan pindah tempat tinggal. Perjalanan jauh dengan pesawat membuat was-was, tetapi aku tidak punya pilihan lain,” jelasnya.
Semula, Christa dan keluarga berencana pindah dari Jakarta ke Kupang, pada Agustus 2020. Keputusan itu menyusul PHK yang ia alami akhir 2019. Dengan sisa tabungan, ia berencana memulai hidup baru di Kupang. Pandemi membuat rencana itu dimundurkan menjadi Februari 2021.
Warga lainnya, Chatarina Trihastuti (33) berpandangan bahwa tahun 2020 justru memberi berkah. Pada Agustus 2020, karyawan swasta ini menikah dengan Nong Ngoc Tino (31), lelaki berkebangsaan Perancis. Setelah menikah, mereka menjalani rumah tangga jarak jauh mengingat Tino harus kembali ke negara asalnya.
Kalau nantinya aku menghadapi masalah, aku tahu tujuan aku apa, jadi bisa fokus kembali ke tujuan itu
Chatarina akan menjadikan tahun ini sebagai masa transisi untuk pindah ke Perancis. Dia perlu menyiapkan perubahan yang kelak dia hadapi di sana, mulai dari persiapan mental, penguasaan bahasa, hingga mempelajari budaya setempat.
Harapan itu, ujar dia, menjadi penting karena memberinya tujuan hidup, bisa lebih fokus, dan termotivasi. “Kalau nantinya aku menghadapi masalah, aku tahu tujuan aku apa, jadi bisa fokus kembali ke tujuan itu,” ujarnya.
Jean Couteau menambahkan, pandemi Covid-19 telah menggerus harapan banyak orang pada 2020 sampai ke batas mimpi terjauh dari hidup manusia. “Saya khawatir kita kehilangan cita-cita,” katanya.
Oleh sebab itu, lanjutnya, harapan itu kini dibebankan kepada vaksin. Kita akan sepenuhnya bergantung kepada teknologi, terutama teknologi kesehatan dan digital, sampai badai pandemi ini sirna.
Pegiat budaya Garin Nugroho memprediksi, kerumunan virtual akan terus berkembang pada hari-hari ke depan. Budaya keluar rumah, saling bertemu, nongkrong bareng telah jadi bagian kehidupan sehari-hari. “Pandemi mempercepat terbentuknya kultur cyberspace ketika manusia dibatasi geraknya,” kata Garin dari Jakarta, Kamis (31/12).
Bagi sutradara dan penulis lakon ini, kebiasaan baru di ruang temu virtual memberi peluang bagi produktivitas dan penguatan demokrasi. Namun, jika tidak dikelola dengan benar, ruang virtual ini berpotensi menyuburkan konsumerisme dan otoritarianisme. “Ini yang harus diwaspadai,” ujarnya.
Jika begitu ke mana arah tujuan hidup manusia bergerak? Jean mengatakan, manusia punya daya adaptasi luar biasa terhadap habitat baru. Ia yakin, simulasi-simulasi yang dikerek oleh dunia digital itu, akan menjadi cikal-bakal dari harapan yang digantungkan di cakrawala. “Ke sanalah kita semua kini menuju. Ada di depan mata,” katanya. (DNA/OKA/CAN)