Melihat Lagi Evolusi Sedotan: Dari Kertas, Plastik, hingga Bahan Ramah Lingkungan
Tangal 3 Januari merupakan Hari Sedotan Nasional di Amerika Serikat. Setelah berevolusi selama 133 tahun sejak dipatenkan, penggunaan sedotan yang tidak bijak kini bisa berbahaya bagi lingkungan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tanggal 3 Januari diperingati sebagai Hari Sedotan Nasional atau National Drinking Straw Day di Amerika Serikat. Bentuk dan jenis sedotan kian beragam sejak dipatenkan pada 1888. Kini, jika tidak digunakan secara bijak, sedotan dapat mencemari lingkungan.
Adalah Marvin C Stone, penemu asal AS, yang memegang hak paten sedotan. Temuannya bermula saat Stone minum koktail mint julep di musim panas. Minuman itu ia seruput dengan batang gandum. Namun, setelah sekian lama, ”sedotan” yang ia gunakan jadi basah. Batang gandum juga mengubah cita rasa minuman.
Stone tergerak mencari bentuk sedotan yang lebih baik dari gandum. Ia mengambil kertas dan pensil, memuntir kertas itu mengikuti panjang pensil, lalu merekatkan kertas yang sudah dipilin dengan lem. Kertas yang semula pipih kini berubah jadi silinder panjang untuk minum.
Pada 1888, Stone mematenkan temuannya. Mengutip majalah National Geographic, sedotan tersebut kemudian diproduksi massal pada 1889 oleh Stone melalui Stone Industrial.
Evolusi
Sedotan plastik yang panjang dan lurus temuan Stone kemudian berevolusi seiring berjalannya waktu. Evolusi pertama adalah sedotan yang bisa dibengkokkan. Hal ini merupakan inovasi dari penemu AS, Joseph Friedman.
Pada 1936, Friedman melihat putrinya kesulitan minum dari gelas di atas meja. Sedotan itu perlu dibengkokkan. Namun, itu sama dengan menyumbat sedotan.
Dampak sampah sedotan sama dengan sampah plastik pada umumnya. Butuh waktu lama bagi plastik untuk terurai. Begitu terurai, sampah tersebut akan menjadi mikroplastik.
Ia lalu membengkokkan sedotan dengan mencontoh prinsip pegas melingkar. Pegas melingkar bisa dibengkokkan tanpa mengubah diameter lingkarannya. Friedman lalu mengambil sekrup dan benang gigi. Ia memasukkan sekrup ke dalam sedotan kertas, kemudian memilin sedotan mengikuti alur sekrup dengan bantuan benang.
Setelah sekrup dikeluarkan dan benang dilepas, sedotan punya bagian bergelombang yang bisa dibengkokkan. Friedman kemudian mendaftarkan temuannya dan memperoleh hak paten. Setelahnya, sedotan berkembang dan tidak lagi diproduksi dengan bahan kertas, melainkan plastik.
Sedotan plastik sekali pakai kemudian marak digunakan, termasuk di Indonesia. Banyaknya sedotan yang digunakan, ditambah belum semua warga tertib membuang sampah, menyebabkan polusi plastik.
Menurut data dari Divers Clean Action (DCA), diperkirakan jumlah sampah sedotan plastik di Indonesia mencapai 93 juta batang. Jika dibentangkan, sedotan-sedotan itu panjangnya lebih dari 16.000 kilometer. Itu setara dengan jarak dari Jakarta ke Mexico City. Adapun data itu dihimpun berdasarkan riset di 10 kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Bali, Medan, Makassar, Manado, Aceh, Jayapura, dan Balikpapan.
Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik Tiza Mafira saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (3/1/2021), mengatakan, dampak sedotan plastik bagi lingkungan sama dengan sampah plastik lain. Lebih khusus, sedotan plastik yang berbentuk panjang dan runcing bisa menyakiti hewan laut. Sedotan plastik kerap ditemukan di hidung kura-kura dan kerongkongan binatang lain.
”Dampak sampah sedotan sama dengan sampah plastik pada umumnya. Butuh waktu lama bagi plastik untuk terurai. Begitu terurai, sampah tersebut akan menjadi mikroplastik,” kata Tiza.
Sistem ideal untuk itu adalah dengan menjadikan sedotan sebagai barang yang hanya tersedia jika diminta, misalnya saat di restoran. Jadi, bukan barang yang otomatis tersedia dan bisa dipakai.
Plastik berukuran mikro itu membahayakan lingkungan karena akan dimakan oleh mikroorganisme, kemudian masuk dalam rantai makanan. Adapun mikroplastik telah ditemukan di saluran pencernaan ikan. Manusia sebagai rantai makanan terakhir bisa terdampak. Selain ikan, mikroplastik juga ditemukan pada garam.
Menurut Tiza, salah satu cara menekan sampah sedotan plastik adalah dengan tidak menggunakan sedotan sama sekali. Sedotan dinilai bukan kebutuhan primer, tetapi digunakan hanya karena tersedia.
”Sistem ideal untuk itu adalah dengan menjadikan sedotan sebagai barang yang hanya tersedia jika diminta, misalnya saat di restoran. Jadi, bukan barang yang otomatis tersedia dan bisa dipakai. Kalau pemahaman ini merata di seluruh lapisan masyarakat dan didukung kebijakan (pemerintah), mungkin kita bisa kaji soal pelarangan sedotan,” kata Tiza.
Hal ini dilakukan selama lebih kurang tujuh tahun terakhir oleh karyawan swasta, Bowo (25). Ia membatasi diri menggunakan sedotan plastik setelah mengamati banyak orang. ”Menurutku, sedotan itu barang yang sia-sia. Itu hanya dipakai beberapa menit, lalu dibuang. Aku ingin mengurangi nyampah,” ucapnya.
Ia pun berusaha tidak menggunakan sedotan plastik ketika makan di luar. Ia memilih minum langsung dari gelas.
Ibu rumah tangga, Maharani (25), pun demikian. Bedanya, ia mengurangi sedotan plastik dengan menggunakan sedotan stainless steel. Sedotan logam itu kerap ia bawa di dalam tas beserta dengan alat makan pribadi. Kebiasaan tersebut ia terapkan sekitar tiga tahun lalu.
”Saya melihat kampanye mengurangi plastik. Setelahnya, saya pikir sampah bisa berbahaya buat hewan laut. Akhirnya, saya coba pakai sedotan logam untuk mengontrol sampah yang saya hasilkan. Ini sekaligus untuk mengurangi kebiasaan menggigit sedotan,” ujar Maharani.