Wabah Covid-19 belum juga mereda dan memaksa pembatasan aktivitas, termasuk Tahun Baru 2021. Namun, masih ada warga yang liburan, suatu kemewahan di tengah segala pembatasan dan pelarangan yang sedang berlaku.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·5 menit baca
Wabah Covid-19 yang hampir sepuluh bulan berlangsung belum juga mereda. Situasi ”darurat” memaksa pemberlakuan pembatasan aktivitas, termasuk Tahun Baru 2021. Ada penutupan obyek wisata dan ruang publik, pemberlakuan jam malam, razia yustisi protokol kesehatan, larangan bepergian dan pesta.
Aktivitas leisure economy atau pariwisata di akhir tahun turut terimbas. Namun, di tengah pembatasan, masih ada warga yang melirik liburan akhir tahun dengan penerapan protokol kesehatan. Mereka memilih staycation di hotel, suatu kemewahan dalam menikmati liburan di tengah segala pembatasan dan pelarangan yang sedang berlaku.
Yedida Rani (36), warga Surabaya, Jawa Timur, bersama suami dan dua anaknya berlibur ke Yogyakarta kurun 16-21 Desember 2020. Di ”Bumi Mataram”, julukan Yogyakarta, keluarga ini menikmati liburan wah di Marriott, Eastparc, dan Sheraton. Berjuta-juta rupiah dikeluarkan untuk syukuran ulang tahun si anak bungsu.
Pagebluk alias wabah tak memungkinkan Rani berpesta untuk ananda. Untuk itu, keluarga memutuskan liburan dan perayaan di hotel bintang lima dengan jaminan protokol kesehatan. ”Sebelum berangkat aku sudah tanya protokol bagaimana. Itu kenapa pilih hotel bintang lima karena protokol kesehatan pasti diperhatikan,” katanya.
Untuk malam Tahun Baru, Rani dan keluarga berencana staycation di Surabaya. Namun, hotel bintang lima di Bumi Churabaya malah sudah penuh. Mereka terus mencari di lokasi lain untuk merayakan pergantian tahun.
Untuk Tahun Baru, Puji (39), warga Depok, Jawa Barat, menginap di sanggraloka atau tempat berlibur kelas menengah dekat Taman Safari Indonesia, Cisarua. Keluarga telah berada di sanggraloka, 3 kilometer dari Jalan Raya Puncak, itu sejak Senin (28/12/2020). ”Tempatnya tenang, luas. Anak-anak bisa lari-lari. Sinyal susah, jadi ponsel (telepon seluler) bisa ditinggalkan dan anak-anak terdorong beraktivitas fisik,” ujarnya.
Fakta lebih dari separuh kamar hotel kosong juga menenangkan Puji. Yang menginap sedikit sehingga bisa memenuhi protokol, yakni jaga jarak untuk mencegah penularan Covid-19.
Memilih berlibur, kata Puji, karena amat membutuhkan waktu dan tempat sejenak untuk berganti suasana. Hampir sepuluh bulan wabah menyerang, keluarga nyaris selalu berdiam di rumah. Mereka amat bosan dan tertekan. ”Sulit mencari tempat yang sepi untuk dinikmati di Depok dan Jakarta,” kata Puji.
Kenapa pilih hotel bintang lima karena protokol kesehatan pasti diperhatikan.
Karyawan Nusa Dua Beach, Bali, Cornelia Napitupulu (26), mengatakan, dalam situasi pandemi, untuk libur Natal dan Tahun Baru, penginapan terutama yang mewah ternyata terisi cukup baik.
Padahal, ada peraturan yang mewajibkan wisatawan ke Bali membawa hasil tes usap PCR (penumpang pesawat). ”Konsumen ke hotel bintang lima karena diskon sampai separuh sehingga merasa rugi kalau hanya di hotel biasa dengan tarif tidak jauh berbeda,” kata Cornelia.
Masih bernapas
Direktur Utama Santika Indonesia Hotels & Resorts Johanes Widjaja mengatakan, keterisian Anvaya dan Samaya di Bali cukup baik jelang akhir tahun dengan menembus 50-60 persen. Konsumen yang biasanya turis asing kini adalah wisatawan Nusantara.
”Mungkin konsumen ini yang biasa libur Tahun Baru ke luar negeri, tetapi karena situasi wabah sehingga berlibur ke tempat-tempat mewah yang kebetulan harga juga sedang turun,” kata Johanes.
Director of Marketing Communications Fairmont, Jakarta, Felicia Setiawan menyatakan, tingkat okupansi menembus 70 persen di akhir tahun. Hal ini cukup baik karena turut disumbang tren staycation oleh masyarakat mampu.
Di Fairmont, tiada acara khusus perayaan Tahun Baru. Yang ada makam malam dan dibatasi sampai pukul 19.00. ”Namun, peminat ternyata cukup banyak. Mungkin mereka mencari suasana lain dibandingkan dengan di rumah,” kata Felicia.
Manajer Grand Sahid Jaya Venny Artha mengklaim, okupansi untuk Tahun Baru tembus 60 persen. Di sini, pengelola menawarkan program khusus berkebun untuk anak, membuat imitasi tangan dari semen untuk satu keluarga, mengasah logika anak, dan menonton film di luar ruang.
”Kegiatan ringan dan sederhana, tidak untuk kerumunan, dan harus berakhir pukul 19.00,” ujar Venny.
Menurut Direktur Penjualan dan Pemasaran Hotel Mulia, Jakarta, Rully Rachman, kelas menengah merasa terbatas dalam memilih liburan di masa pandemi. Ke luar daerah ketat, ke luar negeri berisiko. Staycation jadi pilihan.
Rully mengatakan, okupansi di Mulia menembus 50 persen. Hotel menawarkan sewa kamar per malam mulai dari Rp 2,5 juta. ”Kami mengikuti peraturan dan protokol kesehatan, hanya ada makan malam pukul 16.30-19.00,” katanya.
Harapan
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi B Sukamdani menjelaskan, okupansi hotel bintang lima agak lebih baik di akhir tahun karena tren staycation. ”Agenda untuk berkumpul bersama keluarga karena belum semua fasilitas bisa dibuka, kolam renang, itu sebagian ada yang buka dan ada yang tutup,” katanya.
Namun, Hariyadi mengingatkan, kenaikan keterisian tak berlaku untuk semua hotel. Di hotel kecil tak ramai. Publik memilih hotel bintang lima karena rabat besar, kenyamanan, dan protokol. ”Bagi kalangan mampu, tiada hambatan finansial untuk berlibur. Mereka punya uang, tetapi pengeluaran belum maksimal karena semua layanan belum dibuka,” ujarnya.
Ekonom Muhamad Chatib Basri menjelaskan, porsi konsumsi kelas menengah atas lebih banyak untuk konsumsi non-makanan. Studi Bank Dunia menyatakan, kelas menengah konsumen terbesar leisure, hiburan, barang tahan lama, rumah, dan mobil. Di tengah pandemi Covid-19, hiburan dan leisure paling memungkinkan.
Maka ketika liburan tiba, Chatib melanjutkan, sebagian kelas menengah akan berlibur ke daerah wisata. ”Makanya kalau kita lihat Bali jadi ramai. Yang tak pergi ke lokasi wisata karena tak mau repot dengan syarat administrasi itulah yang memilih staycation di dalam kota,” katanya.
Chatib mengatakan, kelas menengah atas sebenarnya mau membelanjakan uang, tetapi opsinya tak ada atau terbatas. Mereka menahan diri bukan atas kesadaran kesehatan, melainkan karena tak banyak kegiatan yang bisa membuat uangnya keluar. (BRO/RAZ)