Menancapkan Memori Kebahagiaan
Natal tahun ini justru membawa banyak keluarga pada pemaknaan lebih intim, yaitu kembali ke rumah.
Natal di tengah menguatnya gelombang pandemi Covid-19 melahirkan nuansa berbeda. Perayaan dengan perjumpaan fisik dibatasi, tetapi semangat Natal tetap menyala. Banyak keluarga tetap bersandar pada tradisi lama terkait Natal, demi mencicip sedikit ”kenormalan” di tengah situasi pandemi.
Mengukuhi tradisi Natal dalam keluarga besar, antara lain, dilakukan Maria Harfanti (28), Miss Indonesia 2015 yang juga Miss World Asia 2015. Sejak jauh hari, Maria menyiapkan kado bagi keluarga besar, termasuk keponakan-keponakannya. Kehangatan keluarga itu membuncah di malam Natal dengan tradisi mendengarkan lagu Natal bersama-sama.
Tiap malam Natal, Maria selalu kebagian peran memainkan piano. Setiap kali memainkan piano dengan gaya klasik, kakak sulungnya akan mengiringi dengan nyanyian. Namun, untuk Natal tahun ini, ia memutuskan membuat penampilan yang sedikit beda. ”Untuk pertama kalinya, saya memainkan piano dengan aransemen jazz,” ujar Maria.
Selain bernyanyi bersama, keluarga besar Maria juga punya tradisi menyantap hidangan khusus dari neneknya. Menu masakan favorit nenek dari tahun ke tahun untuk disantap pada malam Natal tetap sama, yaitu ayam kodok dan semur lidah. ”Saya hobi memasak. Suatu saat nanti saya yang memasak ayam kodok dan semur lidah dengan resep Eyang,” tambahnya.
Aktris Dian Sastrowardoyo yang seorang mualaf juga masih menghidupi tradisi ini. Menjelang Natal, ia menghias pohon Natal bagi ibunya yang kristiani dan tinggal bersamanya. Menghias pohon Natal sudah menjadi tradisi yang melekat dalam keluarga besarnya.
”Dari kecil selalu pasang pohon Natal karena tinggal dengan Mama. Aku introduce tradisi ini kepada anak-anak karena aku enggak mau kehilangan masa kecil aku. Buat sentimental reason aja, sih,” ujar Dian saat dihubungi Minggu (20/12/2020).
Tak hanya pohon Natal, kado sudah disiapkan bagi seluruh anggota keluarga besar hingga semua asisten rumah tangga (ART). ”Semua dihitung, diabsen, dan disediakan kado buat mereka. Walau kecil-kecilan, kegiatan memberi itu yang mengharukan,” tambahnya.
Biasanya, kado tersebut dibuka ramai-ramai pada malam Natal. Kegiatan buka bungkusan Natal itu menjadi momentum yang sangat spesial. Enggak harus mewah atau mahal, kado itu cukuplah berupa kaus kaki, kacamata baca, kacamata renang, atau barang lain yang fungsional dipakai sehari-hari. Natal tahun ini, kadonya lebih bernuansa pandemi karena kebanyakan adalah masker.
”Melihat muka masing-masing anggota keluarga besar mendapat kado itu mengharukan banget. Selama ini sibuk sendiri dan enggak sempat memperhatikan keluarga. Eh, aku masih dipikirkan sama keluarga ini. Buktinya masih dapat kado,” kata Dian.
Hantaran makanan
Sama seperti keluarga lain yang merayakan Natal, Natal tahun ini memang terasa berbeda bagi keluarga besar Maria ataupun Dian karena tidak bisa bertemu ramai-ramai. ”Semua parno satu keluarga. Mereka ke gereja online. Makan-makan Natal juga online. Kita sibuk menghantar-hantar makanan. Dimakan sendiri-sendiri di rumah. Biasanya ngumpul dan nyanyi bareng main musik. Tahun ini enggak,” kata Dian.
Hidup di keluarga besar dengan agama yang diistilahkan Dian: warna-warni, perbedaan tak lantas menjadi pemisah. Memberikan kado hingga menghias pohon atau menyanyikan lagu bersama-sama menjadi satu cara bagi Dian untuk menunjukkan rasa sayang pada keluarga. ”Saya membantu menyemarakkan. Saya juga bawa kue untuk potluck,” ujarnya.
Demi berkumpul bersama keluarga besar pula, Purwantari (44) memilih tetap mudik ke DI Yogyakarta. Pada masa pandemi, pulang kampung bukanlah perkara mudah. Ia dan keluarganya haruslah mematuhi protokol kesehatan ketat, termasuk mengecek kondisi tidak terpapar virus Covid-19 sebelum dan setelah mudik.
Mereka juga menjalani karantina mandiri di lokasi tujuan. Namun, karantina mandiri ini tidak menghalangi niat untuk tetap bersilaturahmi dengan anggota keluarga besar lainnya yang tidak bisa dikunjungi satu per satu secara fisik. Anak sulung dari empat bersaudara asal Yogyakarta yang kini menetap di Jakarta ini lantas memilih memesan dan mengirim hampers atau bingkisan Natal.
Lewat hantaran makanan kala Natal, Purwantari ataupun Dian tetap merawat silaturahmi. Dari lokasi karantina mandiri di rumah keluarga di Yogyakarta, Purwantari menyibukkan diri untuk mengirimkan bingkisan Natal berupa puding yang dipesan dari Len’s Puding yang dikelola rekannya, Nisma Andriyanti (41).
”Pada saat Natal ternyata banyak pesanan untuk hampers. Mereka memesan dari luar kota seperti Jakarta, Semarang, atau Purwokerto, untuk keluarga-keluarga yang tinggal di Yogyakarta,” tutur Nisma.
Tak semua tradisi terkait Natal bisa diwujudkan pada masa pandemi ini. Jauh dari keluarga karena batal mudik dirasakan Yosefin Swastikirana (28). Ia merayakan Natal di Bali setelah rencana mudik ke Magelang, Jawa Tengah, batal. ”Baru saja aku membatalkan tiket pulang. Kecewa sebenarnya, tetapi mengingat kondisi masih seperti ini, mungkin ini pilihan terbaik,” tuturnya.
Untuk mengobati kerinduan, Yosefin meminta sang ibu mengirimkan aneka kue buatan rumah serta penganan khas Magelang. Misa Natal bagi Yosefin sama halnya lagu Natal: malam sunyi senyap. Akibat pandemi, dia ikut misa secara daring di indekos. Benar-benar sendirian karena tidak ada teman atau kenalan yang beragama Katolik untuk misa bersama.
Pembatasan wilayah
Tak hanya di Indonesia, pembatasan akibat pandemi terjadi di banyak kota besar di dunia, seperti Spanyol, Inggris, Jerman, dan Italia. Karena masa pembatasan wilayah pula, Paus Fransiskus mengubah kebiasaan Natal dengan tidak membaca pesan Natal ”Urbi et Orbi” dari balkon Basilika Santo Petrus, Vatikan pada Jumat (25/12/2020).
Pesan itu lantas disampaikan dari dalam sebuah ruangan di kompleks Vatikan. Dengan demikian, Vatikan melarang kunjungan warga yang biasanya membeludak di Lapangan Santo Petrus.
Monica Naradini (24), yang saat ini tengah bekerja di Hamamatsu, Jepang, juga tidak bisa mudik karena perjalanan antarnegara sangat dibatasi. Tahun lalu, dia juga tidak bisa pulang ke Indonesia karena baru saja tiba di negara itu dan tidak diizinkan pulang. ”Kalau keadaan tidak membaik, mungkin saya bisa tiga tahun di sini tanpa pulang,” katanya.
Warga Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Yuyun Yuningsih (39), dan suaminya, Rio; serta putri mereka, Edith (6) yang biasanya selalu mudik ke kampung halaman Yuyun di Kuningan, Jawa Barat, pun terpaksa batal mudik. ”Sedih juga rasanya. Ketika Mama diberi tahu kami tidak mudik untuk natalan, dia juga sedih dan kecewa,” ujarnya.
Setelah mengikuti misa, keluarga besar akhirnya memutuskan bertemu secara virtual di ruang Zoom untuk berbagi kerinduan setelah sekian waktu tidak bertemu. ”Adik-adik, tante-tante yang tinggal di Bandung, Cirebon, juga enggak pulang,” kata Yuyun.
Psikolog Rosdiana Setyaningrum menyebut Natal tahun ini justru membawa banyak keluarga pada pemaknaan lebih intim, yaitu kembali ke rumah. Selama beberapa tahun terakhir, misalnya, Rosdiana selalu merayakan Natal sembari mengunjungi anaknya yang kuliah di Inggris.
”Baru menyadari kalau baru tahun ini balik natalan di Jakarta. Jadi, diajak kembali ke fitrah,” tambah Rosdiana.
Asal bisa dimaknai dengan baik, lanjut Rosdiana, merayakan Natal dengan menjalankan beragam tradisi terkait Natal sejatinya bisa tetap menumbuhkan kegembiraan dan harapan. Harapan ini adalah sesuatu yang penting yang dibutuhkan untuk optimistis melewati masa sulit pandemi.
Dalam kondisi seberat apa pun, Natal terbukti tetap mampu memunculkan memori kebahagiaan yang menyenangkan untuk dibagi bersama orang-orang terkasih.