”Doxing” atau pembongkaran serta penyebaran data pribadi pada 2018-2020 banyak menyasar aktivis dan wartawan di Indonesia. Kedua kelompok ini jadi target ”doxing” terkait isu ”omnibus law”, pandemi Covid-19, dan Papua.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jurnalis dan aktivis menjadi dua kelompok dengan kerentanan tinggi terhadap doxing, yakni pembongkaran serta penyebaran data pribadi. Jika dibiarkan lebih lanjut tanpa perlindungan hukum dan edukasi tentang doxing, serangan seperti ini bisa mengancam demokrasi.
Hal ini tampak di laporan Peningkatan Serangan Doxing dan Tantangan Perlidungannya di Indonesia oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet). Sepanjang 2018-2020, SAFENet mencatat 18 kasus doxing yang melibatkan 23 korban. Korban berasal dari kalangan jurnalis, aktivis, dan warga. Kebanyakan kasus menyasar jurnalis dan aktivis.
Peneliti SAFENet, Ika Ningtyas, pada Rabu (23/12/2020) mengatakan, kemungkinan masih ada kasus doxing lainnnya yang tidak tercatat. Sebab, data ini berdasarkan aduan yang masuk ke SAFENet. Ada pula kemungkinan korban mengabaikan doxing yang diterima karena hanya dianggap gangguan biasa.
”Jurnalis dan aktivis banyak mendapat serangan digital, terutama doxing. Kedua kelompok ini menjadi target doxing terkait beberapa hal yang terjadi pada tahun ini, seperti pemberitaan terkait pandemi, omnibus law, dan isu Papua yang muncul lagi karena gerakan Black Lives Matter di AS,” kata Ika saat dihubungi dari Jakarta.
Doxing dinilai sebagai cara membungkam jurnalis dan aktivis yang kritis terhadap kebijakan publik. Padahal, peran keduanya penting sebagai cerminan partisipasi publik. Jika dibiarkan, doxing menjadi salah satu ancaman bagi demokrasi.
Fenomena doxing mulai disadari sejak 2017 saat jurnalis TopSkor menerima doxing dan dipersekusi secara daring. Puncaknya, tagar #BoikotTopSkor menjadi topik populer di Twitter. Jurnalis yang bersangkutan pada akhirnya diberhentikan pada akhir 2017.
Jurnalis dan aktivis banyak mendapat serangan digital, terutama doxing. Kedua kelompok ini menjadi target doxing terkait beberapa hal yang terjadi pada tahun ini, seperti pemberitaan terkait pandemi, omnibus law, dan isu Papua yang muncul lagi karena gerakan Black Lives Matter di AS.
Pada 2018, jurnalis Kumparan menerima ancaman melalui Instagram setelah merilis liputan khusus tentang pemimpin Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab. Pada tahun yang sama, jurnalis foto Detik.com mengalami doxing setelah meliput Aksi Bela Tauhid. Kartu tanda pengenal dan kartu persnya disebar di dunia maya.
Sejumlah wartawan juga mengalami doxing terkait dengan pemberitaan kerusuhan di Papua pada 2019. Aktivis HAM, Veronica Koman, mengalami hal serupa. Lokasi orangtua Veronica diungkap, bahkan Veronica diintimidasi dengan pemberitahuan bahwa ia dipantau.
Doxing masih terjadi pada 2020, bahkan jumlah kasusnya lebih banyak dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Data pribadi sejumlah jurnalis, aktivis, dan warga disebar. Beberapa kasus disertai ancaman dan pelecehan.
”Kami menganggap doxing sebagai salah satu ancaman demokrasi. Kalau terus terjadi dan tidak ada perlindungan serius dari negara, ini bisa jadi preseden buruk. Ini juga bisa memengaruhi kebebasan berekspresi. Orang jadi takut dan khawatir melontarkan pendapat dan kritik di ruang publik,” kata Ika.
Hingga kini, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) rancangannya masih dibahas oleh DPR. RUU ini, menurut rencana, disahkan menjadi UU pada 2021.
Menurut Ketua Panja RUU PDP DPR Abdul Kharis, RUU PDP menjadi salah satu RUU yang ditargetkan dapat dituntaskan persetujuan tingkat pertamanya pada masa sidang kali ini. RUU itu masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020 dan merupakan inisiatif pemerintah (Kompas, 12/11/2020).
”Jadi, semangatnya ialah bagaimana data pribadi rakyat Indonesia harus terlindungi dengan baik. Tidak ada satu pun yang bisa memanfaatkannya untuk kepentingan komersial atau apa pun yang merugikan pemilik data pribadi warga,” ujarnya.
Lindungi diri
Karena belum ada sistem hukum yang mengakomodasi doxing, pengguna internet diminta awas. Kesadaran untuk melindungi diri perlu ditingkatkan. Perlindungan diri standar di dunia maya agar dilakukan berkala, mulai dari rutin mengubah kata sandi akun digital hingga jeli membaca syarat dan ketentuan di internet.
”Ini penting bagi semua pemilik akun di internet, baik media sosial, e-mail, e-banking, maupun lainnya. Prinsip utamanya ialah kita harus awas dengan user behavior data kita sendiri. Yang termasuk user behavior data adalah riwayat pencarian di internet dan semua aktivitas digital,” kata pengamat media baru dan komunikasi, Agus Sudibyo.
Ia menambahkan, aktivitas digital publik selama ini hanya terjadi di jaringan permukaan (surface web). Padahal, surface web hanya mencakup 5 persen dari total jagat digital. Sebanyak 95 persen sisanya merupakan deep web dan dark web, di mana surveilans serta transaksi data terjadi. Itu sebabnya, publik harus berhati-hati membagikan data pribadi di internet.