Ketika Cengkeraman Internet Kian Erat
Jeratan internet kian kuat di tengah-tengah peradaban manusia. Namun, di Indonesia, masyarakatnya masih menjadi sasaran empuk para penambang data pribadi.
JAKARTA, KOMPAS — Jika selama ini belum disadari betapa erat jerat internet di kehidupan sehari-hari, pandemi Covid-19 mungkin dapat menunjukkan betapa semakin bergantungnya manusia terhadap teknologi ini.
Pada masa pandemi ini, justru para raksasa teknologi menunjukkan betapa berkuasanya mereka terhadap manusia. Ketika perekonomian dunia mati suri dan gelombang PHK terjadi di seluruh dunia, mereka justru semakin makmur.
Platform konferensi video panen besar pada tahun ini. Bagi pekerja di kota besar, mungkin hampir tidak ada hari tanpa pertemuan di Zoom, Microsoft Teams, atau Google Meet.
Baca juga: Zoom, Teams, dan Meet Berburu Pengguna di Masa Liburan Akhir Tahun
Berdasarkan catatan Zoom, jumlah partisipannya dari 10 juta per hari pada Desember 2019 melesat menjadi 300 juta per hari pada April 2020. Hasilnya? Pendapatan Zoom meningkat lebih dari 367 persen berdasarkan laporan keuangan akhir, November lalu.
Pada 19 Agustus, Apple menjadi perusahaan Amerika pertama yang valuasinya menembus 2 triliun dollar AS atau sekitar dua kali PDB Indonesia. Pada pertengahan Maret, valuasi Apple kurang dari 1 triliun dollar AS. Namun, sejak pandemi melanda—dalam waktu kurang dari enam bulan—nilai pasar produsen iPhone itu pun berlipat ganda.
Para ”Big Tech” lain juga mengalami tahun yang menggembirakan di tengah pandemi. Alphabet, perusahaan holding Google dan Youtube, berdasarkan laporan keuangan terbaru, mencatatkan peningkatan keuntungan hingga 59 persen dibandingkan dengan periode triwulan yang sama pada 2019.
Microsoft, bahkan, melaporkan triwulan III-2020 sebagai periode paling menguntungkan dalam sejarah perusahaan itu ketika profit naik 30 persen menjadi 13,9 miliar dollar AS. Pergeseran perilaku masyarakat untuk berbelanja daring pun mengantarkan Amazon mendapatkan peningkatan profit 200 persen!
Pada masa pandemi ini, justru para raksasa teknologi menunjukkan betapa berkuasanya mereka terhadap manusia. Ketika perekonomian dunia mati suri dan gelombang PHK terjadi di seluruh dunia, mereka justru semakin makmur.
Belum lagi para penguasa jagat streaming video yang juga mendapatkan banjir pengguna baru akibat tidak beroperasinya bioskop selama pandemi ini. Netflix mendapatkan sekitar 26 juta pelanggan dalam waktu enam bulan, tercatat sebagai perumbuhan terbesar dalam sejarahnya.
Pemain streaming dalam negeri pun semakin menonjol. Selain GoPlay dari Gojek yang sudah muncul sejak 2019, ada pemain baru yang baru muncul di tengah pandemi, seperti Bioskop Online yang langsung juga mendapat sambutan meriah di tengah masyarakat.
Akibat pandemi, industri gim juga melampaui prediksi pertumbuhan. Berdasarkan laporan firma riset pasar Newzoo, industri gim dunia diperkirakan tumbuh 19,6 persen mencapai 174,9 miliar dollar AS (Rp 2.400 triliun) hingga akhir 2020. Bahkan, angka ini melampaui prediksi awal tahun, yakni 159,3 miliar dollar AS.
Hoaks juga bertambah dahsyat
Semakin besarnya porsi kehidupan manusia yang dihabiskan di ranah digital tampaknya juga berujung pada semakin banyaknya hoaks dan disinformasi yang muncul; terlebih lagi di bawah ancaman penyakit misterius ini.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutnya sebagai infodemics ketika banjir informasi mengenai pandemi malah lebih membahayakan dari pandemi itu sendiri. Bagaimana tidak, pada awal masa pandemi, ada kabar yang mengklaim bahwa dengan meminum klorin dapat membasmi virus korona dalam tubuh!
Hingga akhir 2020, hoaks mengenai Covid-19 pun tetap tidak bisa sepenuhnya ditanggulangi meski topiknya sedikit bergeser. Ketika pengembangan vaksin mulai memasuki tahapan akhir, peredaran kabar bohong mengenai vaksin pun semakin deras. Dari alat kontrol populasi hingga diklaim mengandung microchip, vaksin menjadi topik langganan hoaks pada paruh kedua 2020.
Baca juga: Peredaran Hoaks Semakin Dahsyat Selama Pandemi Covid-19
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia atau Mafindo mencatat bahwa ”produksi” hoaks di Indonesia pada 2020 jauh lebih tinggi ketimbang 2019. Padahal, tahun lalu yang notabene adalah tahun politik dengan adanya keberadaan pemilu, sudah dianggap sebagai puncak gunung hoaks. Kemunculan pandemi Covid-19 ternyata akselerator hoaks yang lebih kencang.
Pada 2018, jumlah hoaks total dalam setahun adalah 997 kabar. Jumlah ini meningkat 22 persen pada 2019 menjadi 1.221. Di sisi lain, pada 2020, masih hingga November, jumlah hoaks yang terdeteksi Mafindo telah mencapai 2.024.
Kedahsyatan hoaks Covid-19 pun membuat para pentolan media sosial global untuk sejenak berhenti bersaing dan bekerja sama. Pada 17 Maret 2020, Facebook, Google, LinkedIn, Microsoft, Reddit, Twitter, dan Youtube bersama-sama mendeklarasikan untuk melawan misinformasi Covid-19 di media sosial.
Sejak saat itu, untuk pertama kali, platform media sosial seakan sungguh-sungguh memperhatikan asupan informasi yang didapatkan oleh penggunanya. Label peringatan mengenai informasi Covid-19 saat ini seperti permanen tertempel di salah satu laman setiap aplikasi.
Twitter pun berani memberikan label hoaks terhadap cuitan dari Presiden AS Donald Trump apabila informasi yang disampaikan tidak akurat.
Peretasan dan pembobolan
”It is not a matter of ’if’ but ’when’. ”Bukan persoalan ’apakah bakal’ diretas, tetapi ’kapan’ diretas. Tahun ini juga menyadarkan kita mengenai benar adanya adagium populer tersebut bahwa siapa pun, entitas apa pun, dapat diretas.
Desember ini, dunia dihebohkan dengan kabar pembobolan sejumlah kementerian dan lembaga Pemerintah AS beserta sejumlah perusahaan teknologi dan firma keamanan siber.
Akan tetapi, di dalam negeri, pembobolan sudah mulai terjadi pada awal 2020. Pada awal Mei, Indonesia dihebohkan dengan kabar bahwa salah satu platform perdagangan daring, Tokopedia, berhasil diretas. Basis data yang berisi 91 juta pengguna platform tersebut dibobol peretas dan dijual ke jaringan gelap internet.
Baca juga: ”Database” Polisi Diduga Dijual via Telegram
Lalu, sebulan kemudian, ada dugaan pembobolan sistem informasi personel milik Polri. Data personel dari sejumlah Polda dikabarkan berhasil dibuka oleh peretas meski berita tersebut dibantah Mabes Polri. Beberapa hari kemudian, data 230.000 pasien Covid-19 yang diduga berasal dari Provinsi Bali diperjualbelikan di internet.
Tidak lama, kebocoran kembali terjadi pada Agustus, menimpa sekitar 800.000 nasabah perusahaan pembiayaan Kreditplus. Data yang bocor sangat rinci, dari nama, tanggal lahir, nomor induk kependudukan, alamat rumah, gaji, hingga nama ibu kandung nasabah.
Berbagai insiden ini menggarisbawahi urgensi keberadaan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi yang saat ini rancangannya masih dibahas oleh DPR.
Tahun ini ditandai dengan semakin besarnya kekuatan para raksasa teknologi dan menjadi tonggak pergesaran peradaban manusia yang semakin tak terpisahkan dari jaringan internet.
Akan tetapi, tampaknya DPR masih ingin membiarkan masyarakat Indonesia minim perlindungan dari kepentingan pemodal-pemodal besar yang ingin terus mengeksploitasi data tanpa konsekuensi.
Semoga janji RUU PDP disahkan pada awal 2021 dapat dipenuhi.