Menemukan Diri di Dapur Kala Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 menandai perubahan gaya hidup yang monumental bagi kaum urban. Fenomena yang menarik, pandemi menjadi lorong penemuan diri sebagian orang untuk menguasai keterampilan hidup yang sederhana, yaitu memasak.
Pandemi Covid-19 menandai perubahan gaya hidup yang monumental bagi kaum urban. Di antara kelabunya cerita, sebagian dari mereka mencoba menyalakan lilinnya sendiri-sendiri. Cahaya lilin itu lalu menggiring orang untuk menemukan sisi diri yang ”baru” yang selama ini terpendam.
Dalam dua-tiga bulan pertama masa pandemi di Indonesia, Kompas Minggu mulai mencermati fenomena menarik di kalangan masyarakat urban, yakni kemunculan hobi-hobi baru atau hobi lama yang sempat ditinggalkan lalu bersemi kembali. Salah satu hobi yang menonjol adalah terkait dunia masak-memasak.
Sebelum pandemi, dunia masak-memasak memang sudah cukup populer serta dipanggungkan oleh media dengan memikat. Meski begitu, di era sebelum pandemi, banyak orang urban yang sehari-hari tenggelam kesibukan padat tak sempat menyentuh keterampilan hidup mendasar (life skill), seperti memasak. Kini, justru pandemi menjadi lorong penemuan diri sebagian orang untuk menguasai life skill tersebut.
Selasa (15/12/2020), Rifka Julianti (48), warga Tapos, Kota Depok, menuangkan gulai kepala kakap merah yang masih mengepul dari wajan ke nampan kaca tahan panas. Di meja makan, aroma menggugah selera spontan menguar di rumahnya. Rifka mengaduk-aduk kuah panas, sementara suaminya, Sigit Widiyanto (48), tak sabar menanti. Hidangan lezat itu lantas mereka nikmati dengan nasi panas. Sigit bersenda gurau seraya melepas lelah setelah mengantar 120 porsi makanan.
”Gulai ini memang paling banyak dipesan pelanggan kami. Enggak nyangka. Tadinya, buat masak di rumah saja,” kata Rifka. Sungguh tak terbayangkan bagi pegawai perusahaan telekomunikasi itu jika pandemi bakal ”memaksanya” meramu sajian-sajian sedap.
Sebelumnya, Rifka tak biasa memasak. Ia begitu sibuk hingga bersantap pun lebih sering di luar rumah. Sejak bekerja di rumah, Rifka tak perlu wara-wiri. ”Jadi, sering enggak sibuk. Mau manfaatkan waktu luang untuk aktivitas berguna,” katanya.
Rifka pun mulai memasak hidangan yang tergolong simpel, seperti ikan bakar, nasi kuning, dan ayam ungkep. Memasak ternyata menjadi pelepasan stres. ”Sekaligus penemuan potensi yang terpendam. Pandemi, kok, justru mendorong saya lebih kreatif,” ucapnya sambil tertawa.
Sesekali, kawan-kawan Rifka bertandang. Tak dinyana, suami dan handai tolan Rifka tergila-gila dengan sajian itu. Pesanan berangsur datang. ”Sampai sebulan setelah pandemi, saya masak dulu buat keluarga dan teman-teman. Eh, banyak yang bilang enak,” katanya sambil tertawa.
Ia menerima pesanan sejak April 2020. Tak diduga, pesanan 80 porsi per bulan awalnya berkembang jadi sekitar 300 porsi per bulan saat ini. Ada sekitar 15 menu utama pada usaha kuliner berjenama Dapur Dakuma ini. Masakan favorit lain seperti ikan bakar, udang bakar keju, dan soto betawi.
Belum lagi, Rifka memenuhi permintaan hampir 50 macam kue. Bukannya tanpa aral melintang, ia kerap setengah mati deg-degan kalau tak yakin sajiannya diterima pembeli dengan baik.
Hingga pada satu titik, ia terbengong-bengong mendapati dagangannya begitu laris. Rifka sebenarnya sering lelah luar biasa. ”Pengin sudahan. Cuma, begitu melihat ekspresi ojol-ojol yang semringah dapat order, capek saya langsung hilang,” ucapnya.
Pendapatan pengantar makanan itu tak seberapa, tetapi mereka sungguh bahagia masih bisa bekerja. Rifka pun kembali termotivasi. ”Saya malah lebih asyik dengan aktualisasi diri. Pagebluk ternyata enggak seburuk itu dengan lenyapnya kejenuhan lewat kreativitas berkuliner,” ucapnya.
Dalam suatu ulasan di situs Harvard Business Review berjudul ”3 Behavioral Trends That Will Reshape Our Post-Covid World” disebutkan, memasak memang menjadi salah satu keterampilan yang merebak untuk dilirik kembali oleh orang urban di masa pandemi. Artikel itu mengutip studi dari lembaga Hunter di Amerika Serikat yang menemukan, sebanyak 54 persen responden mengaku kini lebih sering memasak sendiri makanannya ketimbang sebelum pandemi.
Tren tersebut, masih dari artikel yang sama, lalu berdampak pada tingkat penjualan di supermarket (grocery) yang meroket 77 persen dibanding tahun sebelumnya. Sementara di masa yang sama, penjualan di restoran menurun 66 persen.
Menghangatkan keluarga
Pandemi memang datang menggulung berbagai lini hidup tanpa pernah dibayangkan, termasuk bagi Ni Made Ayu Marthini. Sepanjang tahun 2019, sekitar 200 hari di antaranya dihabiskan Made di berbagai negara, jauh dari keluarga di Jakarta. Sebagai Direktur Perundingan Bilateral Kementerian Perdagangan, Made memang bertugas di garda terdepan negosiasi perdagangan luar negeri.
Tak heran, memasak bukan agenda rutin Made. Ketika berkumpul dengan keluarga pada akhir pekan, ia pun lebih sering ”dimanjakan” sang suami, Arnfinn Jacobsen, yang memang punya hobi masak. ”Suamiku jago masak roasted chicken, ikan, pasta, baking juga,” ujar ibu satu anak ini.
Untuk pertama kalinya sejak berkarier sebagai negosiator perdagangan, pada tahun 2020 ini, Made genap 10 bulan berada di Jakarta. Ia punya lebih banyak waktu berkumpul dengan suami dan putrinya, Maya (11). ”Sore setelah kerja di rumah atau di kantor, masih ada waktu untuk keluarga dan makan malam bareng. Itu istimewa banget,” ujarnya.
Pandemi membuat Made menemukan banyak hal menarik yang sebelumnya tidak sempat tertangkap radar perhatiannya. Di antaranya, internet—baik Youtube maupun akun media sosial chef selebritas—menyediakan beragam resep dan tips memasak. Toko-toko daring pun menyediakan berbagai bahan memasak.
Di masa pandemi, media sosial memang menjadi akselerator signifikan dalam penularan hobi baru seperti memasak. Orang saling lihat di medsos dan tergerak untuk meniru. Oleh karena itu, tak heran jika tren hobi baru seperti memasak di masa pandemi ini daya tularnya anggap saja sama tingginya dengan daya tular Covid-19.
Made pun lantas terdorong menjajal kreasi kuliner di dapur dan menemukan sebentuk kepuasan. ”Maya suka banget gyoza, aku bikin sendiri, cari caranya di internet. Empat jam, tuh, aku di dapur, dari sore sampai malam. Jadi lho, dan Maya suka!” kata Made bernada riang.
Apresiasi keluarga juga menyalakan semangat Made untuk makin asyik di dapur. ”Dari peringkat nol sampai 10, anakku selalu kasih 8 atau 9. Ya, walaupun mungkin karena dia memang baik hati, nilai sebenarnya kayaknya perlu diturunin sedikit,” kata Made disambung tawa tergelak.
Keseruan di dapur yang menghangatkan keluarga amat disyukuri Made yang pekan ini harus memulai lagi perjalanan dinasnya ke luar negeri.
Nikmat berbagi
Pandemi tak pelak pula menghantam Wim Widarma (50). Warga Cimanggis, Depok, yang menyediakan perlengkapan minyak dan gas itu kasnya macet. ”Klien enggak bisa bayar. Saya ikuti arahan Tuhan. Ya, saya masak saja, meski enggak ada niat bisnis kuliner,” katanya.
Ia mulai memasak rendang, tunjang, dan gajeboh sekadar disajikan untuk potluck atau makan bareng. Tak disangka, kawan-kawannya memuji cita rasa racikan Wim. Pesanan pun berdatangan. Makanan yang paling banyak dipesan pepes ikan mas seharga Rp 150.000 per kg. Wim mengolah masakan berlabel Pawon Wimbee itu di rumahnya.
Ia pun tak lupa berbagi rezeki dengan merogoh koceknya dan memberikan makanan. ”Lauknya seperti rendang atau sambal goreng hati, sayur, dan pisang. Buat pemulung, satpam, dan tukang sampah,” katanya.
Antusiasme Wim menekuni kuliner ini jalin-menjalin dengan tenggang rasa. Tiga kali ia mengemas sekitar 130 porsi untuk berbagi. ”Termasuk, sekali sama teman-teman sekolah. Saya juga kasih untuk nakes di beberapa rumah sakit. Serasa uji nyali,” ujarnya.
Ayam Bumbu Rujak Ibu Itut yang kian laris juga berawal dari welas asih Wahyu Bhirowo (43). Ia semata-mata ingin menyenangkan anak-anak dan istrinya. ”Waktu akhir pekan, pengin kasih kejutan. Saya masak mi godok spesial, nasi goreng, dan ayam geprek,” katanya.
Betapa bahagianya warga Banjarsari, Solo, Jawa Tengah, itu karena mereka makan amat lahap. Karyawan penyelenggara acara itu terpaksa hengkang dari Jakarta karena konser, seminar, dan resepsi pernikahan nyaris nihil. Garasi rumah Wahyu kebetulan kosong.
Tercetus ide dalam benak Wahyu untuk membuka warung saja. Ia masukkan beberapa masakan ayamnya dalam menu seperti goreng mentega, sambal geprek, dan tepung lada hitam. Saat usaha tersebut dibuka pada September 2020, makanan yang terjual hanya sekitar 15 porsi.
”Hari ini, saya bikin sekitar 70 porsi. Masakan andalan tentu ayam bumbu rujak. Resepnya almarhum ibu,” katanya, Jumat (18/12/2020). Harga masakan itu Rp 15.000 per porsi, sudah termasuk nasi. Wahyu juga menyediakan program #berbagibersama dengan menyumbang konsumsi untuk rakyat kecil.
Pakar gastronomi William Wongso memandang pandemi sebagai pemantik bagi masyarakat dengan kecakapan kuliner yang terpendam. ”Pasti ada positifnya. Masak bisa jadi semacam pelepas stres atau terapeutik. Asal, kalau pandemi selesai, jangan malas masak,” katanya sembari tersenyum.
Sering kali ada selarik cahaya terang di langit kala mendung gelap meraja. Di tengah pandemi ini, sebagian dari kita mungkin saja menemukan suatu karunia di dapur.