Donasi Digital Menggerakkan Solidaritas Tersembunyi Masyarakat Urban
Kelompok masyarakat yang akrab dengan teknologi mempunyai ruang untuk menunjukkan kepedulian dengan hadirnya wadah donasi digital.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kehadiran platform donasi digital mewadahi solidaritas tersembunyi masyarakat urban. Kelompok masyarakat yang akrab dengan teknologi mempunyai ruang untuk menunjukkan kepedulian di tengah renggangnya kohesi sosial di perkotaan.
Ketua Badan Pengurus Lazis Muhammadiyah Hilman Latief menyatakan, kohesi sosial masyarakat perkotaan cenderung renggang. Pengalaman mereka untuk terlibat secara langsung terhadap masalah sosial tertentu sangat terbatas. Namun, bukan berarti mereka tidak peduli. Ketika platform donasi digital bermunculan, banyak dari mereka ikut berdonasi. Hilman menyebut fenomena ini sebagai solidaritas tersembunyi yang dipicu oleh platform donasi digital.
”Dari besaran uang yang didonasikan mungkin tidak banyak. Namun, jumlah orang yang ikut berdonasi sangat luar biasa,” katanya dalam diskusi daring bertajuk ”Filantropi Digital Indonesia: Prospek dan Tantangan Pengembangannya”, Kamis (17/12/2020).
Dalam diskusi, turut hadir Head of Corporate Communications GoPay Winny Triswandhani, akademisi sekaligus praktisi komunikasi digital dan pemasaran Firman Kurniawan, serta Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia Hamid Abidin.
Hilman dan dua narasumber lain menjadi penanggap hasil survei GoPay Indonesia dan Kopernik bertajuk ”Perkembangan Ekosistem Donasi Digital Indonesia”. Survei yang melibatkan 1.319 responden itu dilakukan Agustus-Oktober 2020.
Hasil survei menunjukkan, 80 persen responden berdonasi (secara digital dan nondigital) selama enam bulan terakhir. Nilai sosial dan nilai agama menjadi motivasi utama dalam berdonasi.
Survei juga memotret kenaikan orang yang berdonasi secara digital. Selama pandemi, 76 persen responden berdonasi secara digital. Angka itu lebih tinggi 9 persen daripada sebelum pandemi.
Alasan utama responden berdonasi digital adalah kemudahan. Proses donasi digital ini lebih cepat ketimbang donasi konvensional. Di samping itu, mereka tak perlu datang langsung ke lokasi donasi.
Hilman melanjutkan, selain meyakini donasi sebagai bentuk kesalehan, masyarakat perkotaan juga percaya terhadap sistem. Semakin kredibel dan transparan lembaga pengumpul donasi, semakin besar peluang lembaga itu mendapat donasi. Kondisi ini juga didorong teknologi digital yang memungkinkan masyarakat untuk menilai sendiri kredibilitas lembaga tersebut. Ada data dan lampiran yang bisa diakses publik.
”Jadi, kehadiran platform donasi digital sangat menstimulasi solidaritas tersembunyi ini,” katanya.
Firman Kurniawan menjelaskan, survei itu mengonfirmasi peralihan transformasi aktivitas sosial masyarakat ke ruang digital. Ketika medium berubah, kebiasaan pun berganti. Orang menjadi sangat fleksibel, tak sabaran, dan kalau bisa setiap aktivitas berlangsung secara real time.
”Dalam situasi ini, upaya mendorong orang untuk berdonasi menjadi lebih mudah. Orang bisa tergugah melalui medium pesan yang disampaikan. Sebagai umpan balik, mereka bisa melihat donasi sampai atau tidak, berapa orang lain yang juga ikut berdonasi, serta memantau perkembangannya,” ujarnya.
Kalau rasa iba publik terlalu sering dieksploitasi, lambat laun publik akan kebal.
Dia melanjutkan, sosialisasi untuk meningkatkan donasi digital harus dibedakan dengan pola komunikasi pemasaran. Ini tak sama dengan petugas pemasaran yang sedang merayu calon pembeli. Sebab, donasi bergerak dari ketulusan. Kalau rasa iba publik terlalu sering dieksploitasi, lambat laun publik akan kebal.
”Mengabarkan bahwa ada saudara kita yang sedang memerlukan bantuan memang diperlukan. Ini mudah karena dengan teknologi digital, ada banyak medium untuk menyampaikan pesannya. Yang tak kalah penting adalah menjaga kepercayaan publik. Lembaga pengumpul donasi haruslah lembaga yang sudah diaudit. Jangan semua orang atau individu yang merasa bisa menggerakkan orang lain serta-merta menjadi pengumpul donasi,” jelasnya.
Hamid Abidin menambahkan, donasi digital mengubah perilaku donatur yang tadinya tertutup menjadi terbuka. Dalam donasi konvensional, donatur cenderung menutupi identitasnya untuk menghindari ria. Namun, dengan berdonasi digital, semua identitas donatur terlihat dengan jelas. Ini pun akan mempermudah pertanggungjawaban dana yang dikumpulkan.
Selain itu, dia melanjutkan, donasi digital pelan-pelan akan mengubah kebiasaan irasional masyarakat dalam menyumbang. ”Tindakan menyumbang sebagian besar masyarakat kita itu irasional. Tanpa tahu kegiatan untuk apa dan siapa organisasinya, asal ada kotak amal di situ langsung disumbang. Donasi digital membuat akses secara mudah terhadap data sehingga memicu donor untuk lebih rasional dan kritis dalam menyumbang,” ungkapnya.
Yang harus dijadikan catatan, dia melanjutkan, kehadiran donasi digital belum mengubah orientasi donatur. Kebanyakan donatur masih suka mengeluarkan uangnya ke program jangka pendek, seperti kedaruratan dan menyantuni orang tak mampu. Namun, program jangka panjang yang menjadi masalah aktual, seperti kampanye antikorupsi, persoalan lingkungan, serta pemberdayaan perempuan dan anak, belum betul-betul menjadi perhatian. Padahal, persoalan ini juga butuh dukungan dari publik.
D luar diskusi, warga Padang, Sumatera Barat, Dwi Oktarina (29) pernah menyumbang melalui komunitas yang merawat kucing liar di Padang. Dia mengetahui komunitas itu di Instagram. Dia ikut berdonasi lantaran isu itu dekat dengannya yang juga pemelihara kucing.
Dwi tak kenal secara pribadi dengan pegiat komunitas itu. Akan tetapi, dia percaya donasi yang diberikan tak disalahgunakan lantaran komunitas tersebut menjelaskan dengan rinci kegiatannya di Instagram.
”Misalnya, kalau ada pengobatan untuk kucing liar yang ditabrak kendaraan. Mereka, tuh, bikin anggaran biayanya secara rinci. Terus perkembangannya juga disampaikan lewat Instagram. Makanya, ya sudah, donasi,” katanya.