Para pembuat film beradaptasi dengan pandemi, baik saat pembuatan cerita maupun produksi film. Adanya film baru membuktikan bahwa sineas tetap dapat berkarya walau sedang pandemi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 sedikit banyak mengubah cara sineas berkarya. Para pembuat film kini harus menerapkan protokol kesehatan yang ketat selama produksi berlangsung. Di sisi lain, beragam fenomena selama pandemi turut memantik munculnya ide cerita baru.
Sutradara film The Protocol, Sidharta Tata, mengatakan, ide cerita disesuaikan dengan prinsip pencegahan Covid-19. Ia mengembangkan cerita yang latar tempatnya berada di ruang terbuka. Ini agar pengambilan gambar bisa dilakukan sambil menjaga jarak dan menjaga sirkulasi udara yang baik.
”Saat menulis cerita, saya sudah berpikir bahwa shooting di ruang tertutup berisiko. Alternatifnya adalah shooting di ruang terbuka dan luas. Jadi, saya harus bikin cerita yang nyambung dengan kondisi latar itu. Semua orang menjalankan protokol kesehatan saat shooting,” kata Sidharta pada pertemuan daring, Rabu (16/12/2020).
Filmitu adalah satu dari lima film pendek yang akan dikompilasi menjadi satu film, yaitu Quarantine Tales. Quarantine Tales akan tayang di Bioskoponline.com mulai 18 Desember 2020. Selain The Protocol, empat film lainnya adalah Cook Book (oleh sutradara Ifa Isfansyah), Nougat (Dian Sastrowardoyo), Prankster (Jason Iskandar), dan Happy Girls Don’t Cry (Aco Tenri).
Sementara itu, sutradara Aco Tenri juga menerapkan protokol kesehatan selama produksi film. Pengambilan gambar di ruangan yang kecil menjadi tantangan.
”Kami shooting di sebuah rumah kontrakan kecil. Jadi, saat take (pengambilan gambar) semua kru harus pakai masker, lalu saat cut (selesai) sebisa mungkin kami keluar dari ruangan,” tutur Aco.
Pada konferensi pers, November 2020, Sutradara Dian Sastrowardoyo mengatakan, setiap orang yang terlibat dalam produksi film Nougat wajib melakukan tes usap. Hanya orang dengan hasil tes Covid-19 negatif yang boleh masuk lokasi pengambilan gambar.
Ia juga membagi lokasi pengambilan gambar dalam beberapa lingkaran atau ring. Lingkaran terluar misalnya area parkir, dilanjutkan ke lingkaran dalam tempat para aktor beradu peran. Setiap orang juga wajib mengenakan masker, membersihkan tangan, serta membawa alat makan dan minum sendiri.
”Ada disiplin-disiplin baru yang harus dilakukan. Rasanya nyaman bekerja dengan orang yang sama-sama menjaga kesehatan dan keselamatan satu sama lain. Kerja antara kru dan aktor pun jadi enak,” ujar Dian.
Adapun pemeran film Prankster, Roy Sungkono, menilai ada hal yang harus dikompromikan saat membuat film di masa pandemi. Demi mematuhi aturan menjaga jarak, ia kerap menyendiri saat istirahat pengambilan gambar. ”Jadi, tidak terlalu banyak mengobrol dengan orang-orang di lokasi shooting,” katanya.
Di sisi lain, pandemi membuat para sineas punya ide-ide baru untuk film. Ide cerita umumnya merupakan pengalaman ataupun renungan selama menjalani karantina mandiri selama beberapa bulan.
Rasanya nyaman bekerja dengan orang yang sama-sama menjaga kesehatan dan keselamatan satu sama lain. Kerja antara kru dan aktor pun jadi enak.
Sutradara Prankster, Jason Iskandar, mengangkat cerita tentang lelucon atau prank yang kerap dilakukan pegiat Youtube untuk membuat konten. Menurut dia, lelucon dipahami dengan batas etika yang kabur. Lelucon bertujuan untuk menghibur, tetapi di sisi lain bisa menyakiti orang yang dikerjai.
”Selama pandemi, orang-orang mencari format hiburan baru. Orang yang biasanya mengonsumsi hiburan kini ikut berkreasi. Sejak itu, saya berpikir tentang industri hiburan secara keseluruhan dan bagaimana Youtube berkembang. Ujungnya konten digunakan untuk mencari view dan uang. Kita seperti kehilangan sisi humanis untuk view,” papar Jason.
The Protocol oleh Sidharta Tata menceritakan tentang perampok yang berhasil kabur, tetapi ditinggal mati oleh rekannya saat dalam perjalanan. Perampok itu kemudian berupaya menyelamatkan diri, memakamkan temannya dengan layak, sambil tetap berusaha mematuhi protokol kesehatan.
Sementara Aco Tenri membuat Happy Girls Don’t Cry, yakni tentang keluarga miskin yang menerima hadiah (give away) dari internet. Keluarga itu lalu berpikir jika lebih baik hadiahnya dijual atau tidak. ”Pertanyaannya menjadi: lebih penting hari ini atau rencana kita besok?” ujar Aco.
Dalam kisah Cook Book, sutradara Ifa Isfansyah menceritakan koki yang harus menyelesaikan buku resepnya. Cerita ini berkaca pada pengalaman isolasi mandiri di rumah bersama keluarga Ifa selama pandemi. Mereka yang semula jarang berkumpul di rumah karena kesibukan kini sering berbincang soal memasak dan makanan.
Dian Sastrowardoyo dalam cerita Nougat berkisah tentang tiga kakak-beradik yang tidak bisa saling bertemu. Pertemuan mereka hanya terjadi melalui panggilan video selama bertahun-tahun. ”Pesan film ini adalah jangan pernah lupa asal-usul kita. Walau sekarang antarsaudara sudah jarang bertemu dan ngobrol, mari jalin lagi hubungan keluarga,” ucap Dian.
President Digital Business Visinema Group Ajeng Parameswari mengatakan, film Quarantine Tales menjadi pengingat bagi semua orang untuk tetap berkarya. Situasi serba terbatas bisa diatasi dengan kolaborasi dan sinergi dengan pihak lain. ”Saya berharap agar film Quarantine Tales dapat diterima dan dinikmati publik,” tuturnya.