Pelukan Mereka, Remedi Kita
Memiliki hewan peliharaan bukan perlombaan untuk meraih banyak pengikut di dunia maya. Mereka adalah penyembuh dari renggangnya relasi sosial belakangan ini. Mereka menawarkan peluk dan kehangatan di masa pandemi.
Dalam waktu singkat, jagat manusia seolah berubah virtual. Relasi sosial terasa mengambang tanpa tatap langsung, jabat tangan, dan peluk hangat. Kesehatan mental pun dipertaruhkan akibat kendurnya jarak antar-sesama. Hingga kita menyadari, masih ada mereka….
”Mingke, Mili, Mochi…..” panggil Anita Widyaning Putri (34) begitu masuk ke rumah. Dalam hitungan detik, tiga kucing berlarian menghampiri. Anita pun mengelus dan menggendong anak-anak bulu yang hampir setengah tahun ini meramaikan istana kecilnya.
Keinginan Anita untuk memelihara kucing sudah membuncah sejak masih belia. Namun, orangtua tak mengizinkannya. Selepas menikah, suaminya juga enggan memiliki kucing. ”Akhirnya datanglah pandemi. Sering banget di rumah dan merhatiin banyak kucing liar di kompleks,” ujar ibu beranak satu ini saat berbincang di Jakarta, Selasa (8/11/2020).
Semula, Anita hanya rutin membelikan makanan kering khusus untuk kucing dan memberikannya pada kucing liar yang kerap seliweran. Lama-kelamaan, putranya yang masih duduk di sekolah dasar meminta untuk memelihara. Berdua bersama anaknya, Anita gigih membujuk suaminya agar bersedia menyelamatkan satu kucing liar untuk diurus di rumah.
”Akhirnya dibolehin. Mungkin karena sudah bosan juga dengar rengekan anak. Karena baru nonton film Bumi Manusia, kucing betina usia empat bulan itu dikasih nama Mingke. Sebulan kemudian, rescue satu lagi. Kondisi lemas banget, mungkin malanutrisi. Kita rawat pelan-pelan, lincah juga sekarang. Namanya Mili,” tutur Anita yang mengintip Youtube dan mengikuti media sosial pemilik hewan peliharaan lain untuk mendapat tips perawatan.
Awal November, keluarga Anita mengambil satu kucing liar lagi untuk disayangi dan diberi nama Mochi. ”Awalnya suami jaga jarak sama kucing, tetapi makin ke sini sudah makin dekat sama kucing di rumah. Sudah kayak anggota keluarga baru. Meluk dan main sama kucing ini juga bikin lebih tenang dan enggak gampang stres,” kata Anita.
Anita merasakan kini ia memiliki perspektif baru tentang dunia kucing. ”Jadi, lebih aware dengan kucing-kucing liar. Ke depan, inginnya bisa steril semua kucing, betina dan jantan, sehingga enggak nambah populasi kucing liar lagi. Kasihan lihatnya,” ungkapnya.
Serupa dengan keluarga kecil Anita, keluarga Susilo (42) juga memelihara kucing sejak masa awal pandemi karena banyaknya kucing liar di sekitar kompleks. Anak pertama Susilo Putri Ramadhanti (12) yang semula tertarik memelihara salah satunya.
Meski niat memelihara sudah ada sejak dulu, tetapi tidak pernah terlaksana karena rumah mereka tak punya cukup ruang dan lahan untuk hewan peliharaan. Dengan pertimbangan situasi pandemi yang menghalangi aktivitas Putri, sang ayah akhirnya memberi izin Putri untuk memelihara, tetapi sebatas memberi makan kucing-kucing itu dan bermain di teras.
Hingga kemudian satu per satu anak-anak kucing tersebut mati terserang flu. Jumlahnya mencapai empat ekor. Karena iba dan tak tega melihat anaknya bersedih kehilangan hewan-hewan kesayangannya, satu ekor anak kucing yang tersisa, Coca, kemudian diizinkan dipelihara. Kali ini benar-benar dipelihara di dalam rumah, dibelikan kandang dengan segala perlengkapannya.
Sejak itu Coca menjadi bagian dari keluarga Susilo. Di sela aktivitas keluarga yang saat ini lebih banyak dihabiskan di rumah, Coca menjadi hiburan dan ”mainan” baru. Dia bahkan kemudian disebut sebagai anak ketiga Susilo. Coca pun setia menunggui Putri selesai sekolah daring atau berkegiatan. Putri pun suka mengajak ngobrol Coca.
Belakangan Susilo pun jadi lebih sering berinteraksi dengan Coca. Apalagi Coca juga kerap manja padanya. Saat Coca sakit, seluruh keluarga biasanya ikut repot agar Coca kembali sehat seperti sedia kala karena kehadiran Coca dengan raut mukanya yang lucu ternyata mampu menghibur keluarga.
Bagi Putri, Coca membuatnya merasa memiliki teman. Bagi Susilo, memelihara kucing di masa pandemi yang rentan stres pun cukup membantu. ”Sedikit-sedikit ngilangin stres. Lihat muka sama tingkahnya yang lucu. Hiburan juga itu. Hati jadi senang,” kata Susilo.
Berbeda cerita keluarga Tris (43) yang sejak sebelum pandemi sudah memelihara kucing. Momo alias Si Bontot diperoleh dari adopsi di Facebook komunitas kucing. Bontot merupakan kucing ketiga yang dipelihara keluarga Tris.
Sebelumnya, saat mulai berkeluarga dan memiliki anak, Eibrem (9), Tris memelihara Cierpiy. Lalu ada dua anak Cierpiy yang hilang tak kembali, juga ”teman seangkatan” Bontot yang tak berumur panjang.
Bagi Tris, memelihara hewan-hewan itu sangat menyenangkan. ”Apalagi di pandemi ini, uyel-uyelan sama Bontot jadi penghilang stres,” tutur Tris. Tahun lalu, Bontot juga memberi dukungan besar bagi suami Tris yang sempat jatuh sakit hingga turun bobot tubuhnya sebanyak 17 kg. ”Terbantu secara psikis dengan bulu-bulu si Bontot. Karena merasa nyaman, imunnya jadi naik. Endhorphine melimpah,” ungkap Tris.
Di masa pandemi, memiliki Bontot sangat terasa manfaatnya. Apalagi untuk Eib yang sejak Maret sama sekali tidak diperbolehkan main keluar rumah. ”Jadi, dia mainnya sama di Bontot,” tambah Tris yang juga memandang Bontot sebagai anggota keluarga mereka.
Pernah sekali waktu saat Idul Adha, Bontot menghilang seharian, melipir ke rumah tetangga hingga membuat seisi rumah bete. ”Rasanya ada yang kurang enggak ada di Si Bontot. Sampai aku bacain surat Yaasin. Alhamdulillah pas ashar dia pulang. Bulu putihnya buluk,” ujar Tris.
Jangan impulsif
Keberadaan hewan peliharaan agaknya berhasil mengisi ruang yang kini dominan disusupi teknologi. Dosen Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya, Rudi Cahyono, menuturkan, untuk anak yang terlalu ekstrover, mudah resah, atau bosan jika tidak bersosialisasi, pada kadar tertentu, kebutuhannya untuk bersosialisasi bisa tersalurkan melalui hewan peliharaan.
Bagi orang dewasa, bersosialisasi dengan hewan peliharaan juga bisa menjadi bentuk emotional release, yang kerap disebut dengan istilah hewan peliharaan sebagai pendukung emosional.
”Release-nya seolah bercerita ke orang, tapi sebenarnya ke hewan peliharaannya. Diajak ngobrol dan lain sebagainya. Ini untuk release emosi. Banyak penelitian membuktikan bahwa memelihara hewan bisa membantu meredakan stres dan mengurangi kemarahan. Sentra-sentra seperti anger management udah banyak meneliti itu,” tambah Rudi.
Namun, perlu diingat, hewan peliharaan ini juga makhluk hidup layaknya manusia yang butuh komitmen jangka panjang saat memutuskan untuk merawatnya. Founder Let’s Adopt Indonesia, Carolina Fajar, menyampaikan tingginya minat masyarakat untuk mengadopsi hewan pada masa pandemi ini.
”Ada sebagian orang yang ingin mengadopsi lebih karena dorongan impulsif karena melihat tren di media atau demi hiburan saja. Mereka tidak serius sehingga tim kami harus benar-benar berhati-hati untuk menyaring aplikasi yang masuk. Kami mau hewan peliharaan ini benar disayangi oleh yang mengadopsi mereka,” ungkap Carolina.
Untuk itu, diutamakan keluarga atau individu yang pernah atau sedang merawat hewan. Jika belum pernah sama sekali, diberikan masa adaptasi selama dua minggu. Persyaratan lain yang harus dipenuhi adalah komitmen agar hewan peliharaan harus tinggal di dalam rumah bersama keluarga. ”Tidak boleh tinggal di teras depan,” kata Carolina.
Saat ini, dua kucing yang ditangani Let’s Adopt Indonesia masih mencari rumah. Sementara itu, empat kucing dan empat anjing sudah teradopsi sepanjang periode Januari-November 2020. Selain adopsi, Carolina menuturkan ada peningkatan jumlah hewan yang diserahkan pemiliknya pada masa pandemi ini. Salah satunya karena alasan finansial. Mereka pun dititipkan pada keluarga asuh saat ini.
Sementara itu, Hendra Ruslim (48), pemilik Pio Pet Shop di Bintaro, Tangerang Selatan, mengatakan fenomena peningkatan jumlah pehobi kucing dan anjing terjadi pasca tiga bulan pandemi. Pada bulan pertama, tokonya yang juga menjalankan jasa perawatan dan penitipan hewan peliharaan sempat sepi.
Fenomena peningkatan makin terasa ketika memasuki musim liburan sekolah antara bulan Juni dan Juli tahun ini. “Yang terjadi di toko kami, sejak Juni atau Juli terjadi peningkatan jumlah pembelian pakan ekonomis,” ujar Hendra.
Dari cerita anak-anaknya belakangan, Hendra mengetahui teman-teman sekolah anaknya yang semula tidak memelihara anjing atau kucing, sekarang banyak yang mulai memelihara untuk mengobati kebosanan selama tinggal di rumah.
”Memelihara hewan kesayangan bisa mengurangi ketergantungan gawai pada anak-anak. Selain itu mengajarkan kasih sayang kepada lingkungannya,” ujar Hendra yang memelihara sekitar 20 ekor anjing.
Hal senada diungkapkan Sofiah (31), karyawan yang sudah bekerja selama 12 tahun di Tako3 Pet Shop, Tangerang Selatan. Jasa perawatan dan penitipan melandai. Bahkan di masa lebaran, jasa penitipan hewan peliharaan tetap merosot. Namun untuk pembelian pakan dan lain-lain, jumlahnya tetap stabil dan menunjukkan hewan peliharaan tetap dipertahankan pemiliknya.
Berdasarkan survei yang dilakukan Deloitte periode Oktober-November 2020, setengah dari 4.000 orang yang disurvei mengonfirmasi peningkatan pembelian pakan dan pernak-pernik untuk hewan peliharaan di masa liburan sekaligus pandemi ini. Supermarket Walmart, misalnya, telah menyiapkan 3 juta stok tempat tidur hewan peliharaan disertai selimut dan bandana, bahkan kostum Santa disertai jenggotnya.
Di media sosial, jutaan orang mengikuti beragam akun yang rutin mengunggah aktivitas lucu hewan peliharaan, baik kucing dan anjing. Bahkan di Twitter, ada istilah khusus untuk membicarakan hewan yaitu ANF atau Animal-conFess. Instagram juga dibanjiri unggahan gemas dari beragam hewan peliharaan.
Namun, memiliki hewan peliharaan bukan perlombaan untuk meraih banyak pengikut di dunia maya. Mereka adalah penyembuh dari renggangnya relasi sosial belakangan ini. Mereka menawarkan peluk dan kehangatan di tengah masa sulit.
Layaknya seorang anak, mereka perlu dirawat saksama. Dibawa ke dokter jika sakit, diberi vaksin yang diperlukan, diberi makan secara rutin dan cukup, dan dihujani kasih sayang.