Optimisme Konser Virtual
Sembilan bulan berlalu sejak badai pandemi menerjang, konser tak lantas padam, tetapi justru semakin menjadi dengan tawaran-tawaran baru. Salah satunya dalam bentuk konser virtual.
Pandemi Covid-19 mengantar konser-konser virtual ke ruang–ruang penonton. Masing-masing berlomba menghadirkan suguhan terbaik agar lapar dan dahaga menyaksikan konser secara langsung dapat terpuaskan. Sembilan bulan berlalu sejak badai pandemi menerjang, konser virtual tak lantas padam, tapi justru semakin menjadi dengan tawaran-tawaran baru.
Selama pandemi, tak terhitung jumlah konser virtual yang telah digelar. Hingga Sabtu (5/12/2020) pun, konser virtual masih terus berlangsung. Music Matters From Wonderful Indonesia adalah salah satunya. Konser virtual yang berlangsung pada 4-6 Desember ini disiarkan langsung dari beberapa lokasi berbeda, yaitu di Danau Toba, Labuan Bajo, dan Candi Borobudur. Tampil sejumlah musisi dan penyanyi, seperti Andmesh, Danilla, Isyana Sarasvati, Hondo, Weird Genius, Padi Reborn, Kurt Hugo Scheider, Jules Aurora, Ni/Co, dan Sam Tsui.
Jumat (4/12/2020) malam, ada Road To Jazz Gunung Series yang menampilkan Janapati (Dewa Budjana dan Tohpati) serta Sri Hanuraga Trio feat Dira Sugandi. Konser virtual ini diikuti bincang-bincang Konser Musik di Masa Pandemi.
Pada Sabtu (28/11/2020), ada gelaran Melomaniac 10th Episode: Soulnation Virtual Edition yang menampilkan Nona Feli. Dua pekan sebelumnya, pada episode ke-9, helatan Java Festival Production ini menampilkan Almira, Eros Tjokro, dan Pryanka Alexandra. Pada 30 November, Mikha Angelo juga menggelar konser Amateur: stage one.
Lalu juga ada Konser Tunggal Virtual Selamat Ulang Tahun, sebuah pertunjukan oleh Nadine Amizah pada Jumat (27/12/2020). Sementara pekan sebelumnya, Sabtu (21/11/2020) malam, digelar Ngayogjazz 2020 yang salah satu panggungnya disiarkan langsung dari Dusun Karang Tanjung, Desa Pendowoharjo, Ngaglik, Sleman.
Tampil sejumlah musisi dan penyanyi jazz, seperti Idang Rasjidi, Ligro Trio, Nita Aartsen, Bonita & Adoy, Bintang Indrianto, Endah Laras, KuaEtnika, White Shoes & The Couples Company, Het Nationaal Jeugd Jazz Orkest (Belanda), dan komunitas jazz se-Nusantara. Pada tanggal yang sama, juga berlangsung A Virtual Creator Celebration” Volume 2: Remembering Chrisye yang dikomandoi komponis Erwin Gutawa, menampilkan Tulus dan Hasna Mufida.
Bila ditarik mundur lagi, ada Prambanan Jazz Virtual Festival (PJVF) 2020 yang digelar langsung dari Candi Prambanan awal November lalu. Di masa awal pandemi, ada konser Orchestra Erwin Gutawa featuring Tulus, rangkaian konser Mostly Jazz Live Online besutan Indra Lesmana, hingga konser The End of Flying Solo Era milik Pamungkas. Jangan lupa rangkaian konser virtual yang digelar DSS Music yang hingga kini telah mencapai lebih dari 90 episode.
Semua konser virtual tersebut rata-rata merupakan konser virtual berbayar dengan harga tiket mulai puluhan, ratusan, hingga jutaan rupiah. Ada juga yang bentuknya donasi, juga gratis. Masih banyak konser lain yang digelar secara virtual dalam rentang Maret-Desember 2020. Semua dikemas berbeda, sama-sama berupaya menyuguhkan sajian terbaik.
Kemasan kreatif
Menurut data Loket.com, perusahaan penyedia layanan ticketing yang menjadi partner konser virtual di masa awal pandemi, beberapa konser virtual yang mencatat penjualan tertinggi kurun Maret-Agustus 2020 adalah konser Orchestra Erwin Gutawa featuring Tulus, LOKET x GoPay Silaturahmi Bareng Slank, Tohpati Livestream Feat. Sandhy Sondoro, The End of Flying Solo Era (Pamungkas), LEXICON+- (Isyana Sarasvati), Untuk Sebuah Nama-The Bakuucakar, From his backyard #HappyConcert: Ardhito Pramono, serta Mantra-mantra Keroncong (Kunto Aji).
Konser-konser tersebut berhasil menyedot penonton di angka 1.000-7.000 penonton. Konser Nadin bahkan menyedot 7.180 penonton. Sementara PJVF 2020 yang menggandeng Tiketapasaja.com menyedot 20.000 penonton dalam dua hari penyelenggaraan.
Selain nama besar para musisi dan penyanyi, konsep atau kemasan konser yang kreatif menjadi salah satu kunci sukses yang menyedot penonton. Hal tersebut diungkapkan founder dan CEO Prambanan Jazz Festival Anas Syahrul Alimi.
”Itulah mengapa kami menghadirkan Prambanan Jazz Virtual Festival langsung dari Candi Prambanan. Agar ini menjadi pembeda dengan konser-konser virtual lainnya,” kata Anas.
Sebelumnya, banyak konser virtual yang digelar di ruang tertutup. Selain itu, PJVF juga disajikan dengan tata lampu dan setting panggung layaknya konser luring.
Konser Orchestra Erwin Gutawa featuring Tulus menyedot antusiasme penonton. Selain karena nama besar Erwin dan Tulus, juga karena konsep orkestra yang menampilkan 50 musisi dari tempat berbeda. ”Penasaran kalau musisinya banyak terus mainnya gimana,” kata Indrawan, penonton konser Orchestra Erwin Gutawa.
Selain konsep orkestra, konser Jakarta-Bali yang menghadirkan Indra Lesmana dan Dewa Budjana dengan konsep zero latency-nya juga menjadi daya tarik tersendiri. Kedua musisi mengaku harus latihan berminggu-minggu agar konser berjalan lancar sesuai rencana.
”Keren banget. Kalau secara nama, siapa yang enggak tahu Indra dan Budjana. Yang menarik, di antara jarak Jakarta-Bali, mereka bisa main bareng dan permainan mereka bisa dinikmati tanpa jeda yang mengganggu,” kata Dewi, penonton konser Indra-Budjana.
Mencari bentuk
Dalam wawancara dengan Kompas, November 2020, pengamat musik Wendi Putranto mengungkapkan, konser-konser virtual di Tanah Air yang berhasil menyedot ribuan penonton dapat dikatakan luar biasa. Namun, dari sisi bisnis, tidak bisa begitu saja direplikasi.
Di Tanah Air, potensi kendalanya cukup besar, antara lain koneksi internet, harga tiket yang dianggap masih relatif mahal, serta anggapan konser virtual terlalu dingin karena tidak interaktif.
Padahal, pasar musik di Tanah Air sangat besar, khususnya di kelompok usia 15-24 tahun. Sayang, rentang usia tersebut bukan kelompok yang memiliki keleluasaan finansial.
”Ketika konsepnya virtual, mereka berhitung, mulai dari paket data karena konser digelar berjam-jam, juga soal jaringan yang masih buruk. Belum lagi soal tiket sehingga mereka perlu menyisihkan uang tambahan. Di tengah kondisi resesi, saat orangtua tidak bisa menyediakan uang jajan berlebih, ini jadi kendala,” papar Wendi.
Di Korea Selatan, kondisinya sangat berbeda. Konser virtual band besar Korea, BTS, BANG BANG CON: The Live, yang digelar 14 Juni 2020, ditonton 756.600 orang dari 107 wilayah berbeda di dunia. Guinness World Records mencatatnya sebagai konser live streaming dengan jumlah penonton terbanyak.
Pada 10 Oktober 2020, konser BTS bertajuk ”Map of the Soul ON:E” bahkan menyedot 114 juta penonton dari seluruh dunia. Konser virtual BTS yang menghadirkan dukungan teknologi visual ini menghadirkan panggung yang lebih megah dibandingkan panggung saat konser luring. Suguhan koreografi yang energik juga menjadi daya tarik yang kuat. Di ”Negeri Ginseng” ini, koneksi internet juga bukan perkara sulit.
Musisi Sri Hanuraga yang kerap tampil di konser-konser virtual berpendapat, meski konser virtual di Indonesia semakin baik secara audio dan visual, konser virtual belum bisa menggantikan konser langsung. Aspek kehadiran, interaksi dan pengalaman komunal baik dari sisi pelaku (musisi) maupun penikmat/penonton, belum bisa dihadirkan di konser virtual.
”Sejujurnya tidak terbayang konser virtual akan bisa menggantikan konser langsung, kecuali ketika teknologi virtual reality sudah canggih. Karena itu, menurut saya, mungkin yang harus dipikirkan penyelenggara adalah bagaimana menghadirkan pengalaman yang secara spesifik bisa dialami di konser virtual dan juga bentuk pertunjukan yang interaktif,” ujar Aga. Dia mencontohkan konser Marshmallow yang diadakan di dalam sebuah online gaming pada Februari tahun lalu.
VP Commercial Loket Ario Adimas mengungkapkan, konser virtual atau konser daring saat ini berada pada fase mencari bentuk. Hal ini karena penonton yang telah dibombardir dengan konser virtual selama periode Mei-November tampak mulai jenuh dan mulai mengharapkan adanya inovasi.
”Tapi kita sudah masuk ke era itu. Pertama, inovasi yang lagi jadi highlight adalah full production virtual concert. Beberapa EO atau promotor mulai berpikir untuk bikin virtual konser yang produksi panggungnya sekelas konser offline,” kata Dimas. Tren ini, ujar Dimas, dipicu oleh konser-konser di Korea yang digelar full production.
Inovasi lainnya adalah konser-konser yang berbasis teknologi, seperti konser dengan virtual reality dan teknologi zero latency. ”Terakhir hybrid concert. Tapi ini bisa sukses kalau pemerintah sudah mulai buka pintu untuk offline concert walaupun ketat,” tambah Dimas.
Yang pasti, ujar Dimas, saat ini para pelaku di industri hiburan merasa semakin optimistis dengan masa depan konser virtual di Tanah Air. Respons penonton pun sudah jauh di atas ekspektasi. ”Tadinya ekspektasi kita hanya di mode bertahan hidup,” kata Dimas.
Jadi, padam karena pandemi? Siapa bilang!