Pandemi ini membuat para parancang busana berpikir ulang tentang mode dan merasa lebih bertanggung jawab pada karyanya. Mereka tak ingin menambah beban bumi.
Oleh
Fransisca Romana Ninik
·5 menit baca
Kontemplasi atas kondisi saat pandemi mengantarkan tiga desainer menuju pada hal-hal esensial dalam mode. Ada yang terasa indah dalam kesederhanaan karena dibingkai dengan kreasi dan kebaruan. Semua bermuara pada sumbangsih terhadap Ibu Bumi.
Ketiga desainer, yakni Toton Januar, Lulu Lutfi Labibi, dan Chitra Subyakto, melalui jenama masing-masing dinobatkan sebagai Dewi Fashion Knights, ajang penutup rangkaian Jakarta Fashion Week 2021, Minggu (29/11/2020). Kiprah dan visi mereka dalam dunia mode memiliki cerita kuat, terlebih dalam praktik mode berkelanjutan, sesuai tema ”Gaia atau Mother Earth”.
Perhelatan Jakarta Fashion Week 2021 digelar dalam format virtual akibat pandemi Covid-19. Ketiga desainer menampilkan presentasi visual di landas peraga untuk menuturkan cerita dari seluruh koleksi yang ditampilkan.
Chitra melalui lini Sejauh Mata Memandang membuka presentasi dengan pemandangan sebuah pabrik konveksi. Bulatan-bulatan karung besar berisi perca, putaran benang yang telah dipintal, tangan-tangan yang memintal benang, silih berganti hadir dengan para model yang memeragakan busana di lantai pabrik. Dari pabrik, koleksi itu ”dibawa” ke landas peraga formal di dalam ruangan.
Koleksi untuk Dewi Fashion Knights dari Sejauh Mata Memandang didominasi latar warna putih, dengan beragam corak warna hitam. Titik, garis, flora, dan motif-motif kecil menghiasi atasan, bawahan, dan luaran dalam padu padan yang menarik. Chitra juga menghadirkan paduan atasan kebaya kutu baru beragam motif dengan kain yang dililitkan pada pinggang yang sederhana, tetapi anggun.
Presentasi disambung dengan deretan model di landas peraga dalam ruangan yang memeragakan busana rancangan Toton. Tampilan yang dihadirkan Toton juga terbilang sederhana, memadukan atasan dan bawahan yang simpel tetapi bergaya dengan tambahan aksen bordir dan makrame.
Warna yang ditampilkan cenderung lembut, seperti baby pink, biru, abu-abu, dan putih. Ada nuansa religius yang direpresentasikan lewat tudung kepala, sebagai refleksi atas situasi saat ini ketika orang menjadi lebih dekat dengan hal-hal spiritual untuk penguatan diri.
Presentasi Dewi Fashion Knights ditutup dengan film pendek koleksi Lulu yang monokromatik. Lulu membukanya dengan pemandangan sekitar rumah dan di dalam rumah, rumput bersemi, air mengalir, kloset, hingga kucing di atas meja. Pemandangan berganti dengan suasana luar ruangan, dari jalanan, restoran, kios pangkas rambut, komidi putar di pasar malam, hingga tepi pantai.
Pada semua tempat itu, tersemat kain putih yang melambai, teronggok, atau tergantung di berbagai tempat. Tak sekadar kain putih, di atasnya tertulis penggalan puisi karya penyair Joko Pinurbo, berbunyi ”Tubuhku kenangan yang sedang menyembuhkan lukanya sendiri” dan ”Kebahagiaan saya terbuat dari kesedihan yang sudah merdeka”.
Koleksi yang diberi tajuk ”Sandang, Hening Cipta, dan Puisi” ini kemudian berpindah ke landas peraga di dalam ruangan lewat peragaan para model. Nuansanya didominasi hitam dan putih, seperti atasan putih dipadu bawahan hitam, atau terusan putih dibalut selendang hitam. Lulu bahkan menampilkan busana dengan potongan longgar nan sederhana dalam satu warna saja, yakni putih.
Peragaan ditutup dengan unik, tatkala para model berhadapan, lalu salah satu model membungkukkan diri dan model di hadapannya menumpangkan di atasnya.
Berpikir ulang
Dalam jumpa pers virtual, ketiga desainer sama-sama menuturkan bahwa pandemi ini membuat mereka berpikir ulang tentang mode dan merasa lebih bertanggung jawab pada karyanya. ”Saya jadi memperhatikan kebiasaan berpakaian zaman dulu yang bersih, terbatas tipe warna dan model pakaiannya. Intinya kesederhanaan yang prosesnya ramah pada bumi,” ujar Chitra.
Pabrik konveksi yang ditampilkan Chitra dalam presentasi mewakili cerita tentang proses pengerjaan koleksi ini. Dia menerapkan asset circularity, artinya memakai kain sisa-sisa produksi, kain ramah lingkungan, kain stok tak terpakai, serta kain pre-consumer waste. ”Pre-consumer waste ini dikumpulkan lalu diproses jadi benang untuk ditenun lagi menjadi kain. Prosesnya panjang. Ini jadi pembelajaran ke depan untuk berkarya dengan cara circular fashion,” ungkapnya.
Toton mengutarakan hal senada bahwa karyanya tidak menggunakan bahan baru. Dia membongkar gudang dan menemukan bahan dari koleksi tahun 2014 hingga 2016. ”Ini jadi suatu hal yang positif. Sebelum pandemi, seperti ada tuntutan untuk selalu baru sehingga kadang kita lupa banyak hal yang ada di belakang kita atau di rumah kita. Sekarang jadi ada kesempatan untuk mengunjungi lagi semua itu dan menampilkannya sesuai konteks,” paparnya.
Yang terpenting, lanjut Toton, adalah mengolah karya itu menjadi tetap aplikatif dan fungsional tetapi tampilannya tetap menggugah. Potongannya sederhana tetapi diberi sentuhan agar bisa dipakai di segala kesempatan. ”Kalau bisa dipakai lebih dari sekali, kenapa enggak?” ujarnya.
Demikian pula bagi Lulu, pandemi membawanya lari ke hal dasar, hal sederhana, dalam mode yang fungsi utamanya menutup badan. Namun, visualisasinya tetap ditakar dengan estetika. ”Itulah sebabnya saya memakai puisi Joko Pinurbo yang bercerita tentang sandang,” tutur Lulu.
Dia pun tidak membeli kain baru, membuka kembali gudang untuk menemukan banyak kain yang belum terpakai. Lulu menjumpai kain-kain yang sempat dia lupakan.
Meskipun simpel, ciri khas Lulu tetap menonjol, seperti potongan asimetris, dekonstruktif, dan corak lurik. Khusus untuk busana berwarna putih saja, menurut Lulu, itu adalah cara dia mengatakan ”cukup” untuk sebuah tampilan.
”Tidak ada bahan baru, tetapi tetap ada tampilan baru, cutting baru, cerita baru. Apa yang kami punya, kami olah, kami beri cerita baru. Kebaruan akan selalu ada,” katanya.
Lewat ketiganya, mode kembali ditantang untuk menjadi sebuah karya yang memerdekakan. Karya yang membangunkan material yang sudah ”tidur” dan memberi kesempatan bagi bumi untuk lestari.