Berani Katakan Tidak pada Pacarmu!
Kekerasan dalam pacaran biasanya akan terjadi secara berulang dan terus meningkat kefatalannya. Hal ini biasanya berawal dari perdebatan. Lama kelamaan, pelaku akan menjadi semakin emosi dan akhirnya melakukan kekerasan.
JAKARTA, KOMPAS — Meski tidak mudah, kekerasan dalam pacaran sebenarnya bisa dihentikan. Diperlukan komitmen yang kuat dari pasangan untuk menjalin relasi pacaran yang sehat.
Kekerasan dalam pacaran adalah tindak kekerasan kepada pasangan yang belum terikat pernikahan. Kekerasan ini bisa berupa fisik, emosional, seksual, dan ekonomi.
”Pasangan yang terlalu posesif, yang setiap pasangannya mau jalan harus meminta izin, atau yang selalu mengarahkan baju pasangan sesuai dengan keinginannya juga termasuk kekerasan dalam pacaran,” kata pengajar Unika Atma Jaya Jakarta Syarief Darmoyo dalam Webinar Stop Kekerasan dalam Berpacaran di Kalangan Milenial di Jakarta, Sabtu (5/12/2020).
Syarief yang juga peneliti masalah anak-anak dan kekerasan berbasis jender pada Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Unika Atma Jaya Jakarta menyebutkan, kekerasan ini tidak hanya dialami oleh pasangan perempuan, tetapi juga laki-laki. Kekerasan ini juga hampir terjadi merata dari segi usia, ras, status sosial, dan tingkat pendidikan.
Hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja 2018 dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebutkan, satu dari sebelas anak perempuan mengaku pernah mengalami kekerasan seksual. Hal serupa juga dialami oleh satu dari 17 anak laki-laki.
Sebanyak 47-73 persen anak mengungkapkan bahwa pelaku kekerasan seksual adalah teman atau sebaya. Sementara ada 12-29 persen anak yang menerima kekerasan seksual tersebut dari pacarnya.
Baca juga: Kekerasan Verbal pada Perempuan Dirasakan Menahun
Contoh kekerasan fisik dalam pacaran yang kerap terjadi adalah memukul, menendang, mendorong, menggigit hingga menyerang menggunakan senjata. Kekerasan emosional bisa berupa mengabaikan perasaan pasangan, menghina pendapat atau prinsip pasangan, berbohong, hingga melarang pasangan untuk pergi.
Sementara contoh kekerasan seksual dalam pacaran, misalnya adalah memaksa pasangan melakukan hubungan seksual, baik dengan maupun tanpa kontrasepsi. Kekerasan ekonomi terjadi apabila salah satu pasangan merasa dikuras harta kekayaannya.
”Selain itu dalam hubungan pacaran juga ada penyalahgunaan digital dan pelecehan di media sosial,” kata Syarief.
Syarif menambahkan, kekerasan dalam pacaran biasanya akan terjadi secara berulang dan terus meningkat kefatalannya. Hal ini biasanya berawal dari perdebatan. Lama-kelamaan, pelaku akan menjadi semakin emosi dan akhirnya melakukan kekerasan.
Setelah kekerasan terjadi, umumnya pelaku akan melakukan rekonsiliasi dengan cara meminta maaf. Dalam fase ini, pelaku akan berusaha mengecilkan efek dari kekerasannya yang ia perbuat.
”Misalnya pelaku akan bilang ’aku tidak bermaksud melukai kamu, orang yang aku sayang’ atau ’aku kan sayang sama kamu’,” ujarnya.
Kekerasan dalam pacaran biasanya akan terjadi secara berulang dan terus meningkat kefatalannya. Hal ini biasanya berawal dari perdebatan. Lama-kelamaan, pelaku akan menjadi semakin emosi dan akhirnya melakukan kekerasan.
Selanjutnya, pelaku akan berusaha untuk menyenangkan kembali hati korban agar bisa melupakan kejadian kekerasan yang pernah dialami. Dari sini, korban akan kembali luluh dan mau melanjutkan hubungan.
Siklus kekerasan dalam pacaran ini akan terus berulang. Bahkan, sering kali berlanjut menjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Kenali tanda-tanda
Menurut Sosiolog sekaligus Dosen Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta M Tri Warmiyati, kekerasan dalam pacaran bagaikan fenomena gunung es. Kasus yang selama ini ditemukan baru sebagian kecil karena korban enggan melapor.
”Kenyataannya lebih banyak. Karena pacaran ini adalah relasi personal dan tertutup. Apalagi, pelaku biasanya mendominasi dengan mengancam dan mengontrol korban,” katanya.
Tanda-tanda kekerasan dalam pacaran bisa dikenali sejak awal, misalnya pelaku sering meluapkan emosi dan bertindak posesif. Tanda-tanda ini juga terlihat saat pelaku mulai menjauhkan pasangannya dari teman-temannya.
Jika sudah mendapati tanda-tanda ini, korban idealnya sudah harus memutuskan pasangannya. Sayangnya, hal ini tidak mudah. Korban kadang masih merasa kasihan atau sayang dengan si pelaku. Ia juga takut jika nantinya akan menjalani semuanya seorang diri. Menurut Tri, anggapan ini perlu segera ditepis.
”Jangan sampai kita mau jadi pahlawan buat dia. Berhenti berpikir bahwa dia akan berubah nantinya,” ungkapnya.
Tri juga mendorong para korban untuk berani berbicara kepada orangtua, sahabat, guru maupun psikolog. Meskipun pacaran ini adalah relasi personal. Percayalah, orangtua adalah orang yang paling menganggap diri kita berharga.
Setelah itu, korban perlu menenangkan diri dan mengelola stres. Salah satunya dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan. Cara lainnya adalah dengan mencari referensi tentang metode mengelola dan mengenali diri.
”Intinya, kita harus menganggap bahwa diri kita berharga. Jika pasangan tidak menghargai, masih ada orang lain yang menganggap diri kita berharga,” ujarnya.
Jangan lupa untuk membuat dokumentasi dan mengumpulkan bukti dari kekerasan yang dialami. Sebab, menurut Tri, kekerasan dalam pacaran biasanya tidak ada saksinya. Hal ini menyulitkan korban untuk masuk ke ranah hukum.
Baca juga: Kisah Generasi Muda Saat Pacaran
Menurut Tri, cara menghentikan kekerasan dalam pacaran tidak bisa hanya dilakukan oleh satu orang saja. Kedua pasangan harus berkomitmen untuk mencegah kekerasan ini kembali terulang.
Dalam hal ini, korban tidak hanya perlu mengenali dirinya sendiri, tetapi juga mengenali kembali pasangannya. Korban juga perlu mengembangkan diri secara terbuka atau berani menyampaikan perasaan dan pendapat yang berbeda.
”Jangan hanya beranggapan dunia hanya milik berdua. Pasangan harus tetap terbuka dengan orang lain agar bisa menerima masukan-masukan, terutama dengan orangtua,” kata Tri.
Korban juga harus mengembangkan sikap tegas dan berani menolak. Dengan begitu, korban tidak akan mudah diancam dan diminta melakukan hal yang membuat tidak nyaman kembali.
Terlebih dalam hubungan virtual. Segala kemungkinan dapat terjadi. Sekali korban menuruti keinginan pelaku untuk mengirimkan foto yang berbau seksual, misalnya, pelaku akan meminta terus-menerus. Foto sebelumnya yang sudah disimpan akan menjadi bahan ancaman.
Pelaku juga perlu melakukan rehabilitasi untuk menghentikan tindak kekerasan. Sebab, pelaku biasanya juga merupakan korban dari kekerasan serupa pada masa lalu. Ketersediaan lembaga rehabilitasi saat ini amat dibutuhkan.
Selain itu, pelaku juga membutuhkan kelompok pendukung yang bertujuan untuk selalu mengingatkan pelaku. Hilangkan juga stigmatisasi bagi para pelaku kekerasan dalam pacaran.
Pacaran sehat
Tri juga membagikan sejumlah tips relasi sehat dalam pacaran. Pertama, setiap pasangan harus menjunjung kesetaraan dalam relasi. Tidak boleh ada yang mendominasi di antara keduanya. Selanjutnya, setiap pasangan juga harus saling menghargai.
Sikap saling percaya juga menjadi modal penting untuk menjalin relasi pacaran yang sehat. Hindari kecurigaan-kecurigaan berlebih yang dapat memicu perdebatan. Sebaliknya, pasangan harus saling terbuka.
”Keduanya harus saling terbuka. Apa yang laki-laki inginkan dan apa yang perempuan mau harus diungkapkan,” katanya.
Baca juga: Pacaran Sehat Harus Bersih dari Racun
Komunikasi harus selalu dijalin tanpa kekerasan. Hubungan juga harus bebas dari ancaman. Hal lain yang tidak kalah penting adalah berbagi dalam pengeluaran, baik untuk makan maupun menonton film, misalnya.
Kepala Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta Tuty Kusumawati mengatakan, tindak kekerasan bisa dilakukan oleh siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Hal ini ia simpulkan dari laporan yang masuk pada Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
Dia menilai, faktornya sangat kompleks. Kekerasan dalam pacaran, misalnya, tidak hanya dipicu oleh satu aspek saja seperti orang dengan tingkat ekonomi bawah atau berpendidikan rendah.
”Tidak semuanya bisa diasumsikan seperti itu. Kekerasan ini juga bisa dilakukan oleh orang yang berpenghasilan tinggi atau berpendidikan tinggi,” katanya.
Tuty mengajak para anak muda untuk mengenali tanda-tanda kekerasan dalam pacaran ini sejak dini. Ia berharap, anak muda memiliki daya untuk mencegah kekerasan dalam pacaran sebelum menjadi lebih parah.