Tak Padam Gelora Mengajar
Sudah delapan bulan berlalu sejak pembelajaran jarak jauh (PJJ) diterapkan, tantangan kian berat. Keadaan menuntut guru untuk terampil, kompeten, dan kreatif mendesain pembelajaran yang efektif dan interaktif.
Waktu bagai berjalan tanpa jeda bagi Anggit Indri (39). Tak jarang, hingga pukul 21.00, guru matematika SMA di Tangerang Selatan ini masih mengenakan seragam di depan laptop. Serasa jadi guru 24 jam, ujar Anggit, mewakili pengalaman senada para guru semasa pandemi Covid-19.
Sudah delapan bulan berlalu sejak pembelajaran jarak jauh (PJJ) diterapkan, tantangan kian berat. Tak hanya bagi siswa dan orangtua, guru pun mendapati tantangan tak mudah. Keadaan menuntut guru untuk terampil, kompeten, dan kreatif mendesain pembelajaran yang efektif dan interaktif layaknya di kelas.
Sungguh beban berat mengingat guru tidak memiliki persiapan memadai dalam menghadapi situasi ini. Walakin, bukannya menyerah, para guru ini justru bersemangat dan terpacu untuk memastikan para siswa tetap belajar sesuatu di masa sulit.
Ada saja yang harus dikerjakan Anggit kala mengajar secara daring. Sejak pagi dia mengajar bergantian di lima kelas, lanjut memeriksa tugas siswa yang kadang hingga jauh malam baru dikumpulkan, masih menjadi tempat bertanya di luar kelas virtual jika siswa belum paham, ditambah menyiapkan materi pelajaran yang mudah dipahami untuk hari-hari berikutnya.
Sebelum pandemi, semua hal itu selesai dikerjakan saat jam sekolah. ”Aku jadi lihat layar monitor terus. Lelah jiwa raga. Tensiku pernah sampai 158, biasanya cuma 100,” ujar Anggit, Selasa (24/11/2020).
Anggit tidak sendiri. Pengajar di seluruh dunia mengalami hal serupa. Laman times.com dalam artikel This Is What It’s Like to Be a Teacher During the Coronavirus Pandemic (26/8/2020), mengompilasi curahan hati guru-guru di Amerika dalam mengajar semasa pandemi.
Para guru ini mengungkapkan kesedihan karena harus ”mengajar” bangku kosong, kelelahan karena pekerjaan yang dilakukan di kelas virtual lebih banyak dibandingkan tatap muka, kekhawatiran bahwa siswa hanya duduk diam di kelas virtual, hingga harapan agar para siswa tetap sehat dan bisa mengikuti pelajaran dengan baik.
Menghadapi kelas virtual memang tantangan utama. Ada saja tingkah anak didik yang bikin gemas. Kadang ada siswa yang tidak menghidupkan kamera dengan beragam alasan: pakai komputer yang tidak ada kamera, ponsel rusak, dan kuota terbatas.
”Biasanya yang seperti itu aku tanya terus. Selama bisa jawab, berarti dia mau irit kuota. Dilihat saja, kalau di layar mata tidak berkedip, patut dicurigai,” katanya sambil tertawa.
Semua kerepotan mengajar daring itu masih ditambah urusan keluarga. Tugas-tugas sekolah putranya juga Anggit yang mengecek dan mempersiapkan. ”Makanya, kalau libur, aku cuma ingin rebahan,” lanjut Anggit.
Ekspektasi
Kelelahan karena serasa bekerja tak kenal waktu juga mendera guru-guru di Learning Support Division (LSD) Sekolah Tunas Indonesia yang mengajar siswa berkebutuhan khusus, seperti anak dengan hambatan autis, ADHD, ADD, tunarungu, serta tunagrahita. Mendampingi anak-anak usia muda dan berkebutuhan khusus saja sudah menantang karena mereka belum bisa mandiri, sering kehilangan fokus, dan sering sesuka hati.
Tantangan bertambah berat sebab banyak orangtua siswa tidak bisa mendampingi pembelajaran virtual karena bekerja. Tak sedikit orangtua yang meminta pertemuan personal tambahan di malam hari untuk membahas ketertinggalan pelajaran anak.
”Bahkan ketika akhir pekan, ada orangtua menelepon saya. ’Miss, apa anak saya bisa berkembang? Apa bisa datang ke rumah?’ Ada orangtua yang bilang akan bayar tes usap supaya saya datang ke rumah,” ujar guru kelas pra-SD Epi Hastiana.
Di tengah ketidakpastian akan berakhirnya pandemi, Epi dan para guru terus mempersiapkan materi pembelajaran jarak jauh hingga setahun ke depan. Mereka juga berbagi ilmu penguasaan teknologi digital lewat pertemuan virtual setelah selesai mengajar pada sore hari. Saat awal pandemi mereka berlatih mengajar kala malam untuk mengajar paginya.
Para guru di LSD STI juga harus bersiasat dalam mengajar. Apalagi, dulu para siswa dilarang menggunakan gawai karena berdampak buruk pada atensi belajar. Kini semua terpaksa diputar berbalik mengakrabi gawai. ”Awalnya deg-degan. Meski tidak verbal, ketertarikan mereka belajar terlihat antara lain dari posisi tubuh yang mendekati layar,” tambah Epi.
Kepala Sekolah LSD STI Moch Yudia Riyanto menyebut pembelajaran di masa pandemi ini memang menguras energi. ”Guru serasa kerja 24 jam. Cukup melelahkan. Lelah berekspektasi nanti ketika masuk, anak-anak bisa ini enggak, ya. Lelah jasmani juga, walau tetap menyenangkan,” katanya.
Mengajar anak usia belia tak kalah berat tantangannya. Seperti dialami Sabrina (34), guru di Sekolah Montessori Taman Tumbuh, Jakarta, yang mengajar siswa mulai usia 2,5 tahun.
”Aku ingat, hari pertama sekolah setelah libur langsung lewat Zoom. Anak-anak merasa agak aneh, kayak bertanya ada apa, kenapa kita lewat komputer. Hari itu akhirnya kita cuma nyanyi-nyanyi saja,” kenangnya.
Berdasar metode Montessori, proses belajar mengajar terbiasa dilakukan secara langsung dan sangat hands-on. Kalau belajar sesuatu, harus memegang barangnya. Karena tidak mungkin dilakukan, Sabrina dan para guru membuat banyak materi belajar, seperti boneka dan wayang. Mereka kadang mengirimkan materi itu ke rumah para siswa.
”Kemarin habis kirim capung, belalang, hewan-hewan yang diawetkan. Soalnya mereka harus lihat langsung, enggak cuma kasih gambar tanpa tahu aslinya,” kata Sabrina.
Situasinya makin menantang karena Sabrina bukan orang yang betah berhadapan dengan gawai. Hari-hari pertama sekolah daring, Sabrina harus banyak istirahat seusai Zoom karena kepala cepat pusing. Rapat-rapat koordinasi juga digelar secara daring. Energinya terkuras habis, lelah luar biasa. Dia juga kerap sulit tidur.
Tak hanya itu, melihat anak-anak didik melalui layar juga siksaan bagi Sabrina karena terbiasa melihat mereka berlarian atau memasak bersama. Kangen luar biasa membuat Sabrina bercerita sambil menangis.
Komunikasi
Di luar Jakarta, para guru harus menghadapi perjuangan yang tak kalah berat. Komunikasi jadi kendala utama, seperti dihadapi Irene Endah (40), guru Matematika di SMA Negeri KPG (Kolese Pendidikan Guru) Khas Papua di Merauke, dan Danang Pamungkas (39), guru Bahasa Inggris di SMA Negeri 1 Tengaran, Jawa Tengah. Irene ”kehilangan” muridnya sejak awal pandemi dan baru kembali sekitar dua pekan lalu.
”Banyak murid perantauan. Di Merauke, mereka menumpang di rumah saudara. Ketika pandemi, Maret lalu, sekolah langsung berhenti. Mereka rupanya pulang kampung. Ada yang bilang memilih sekolah daring, tetapi tidak pernah mengerjakan tugas. Kampungnya 400 kilometer dari sini. Gurunya bingung, mau cari di mana,” tutur Irene.
Saat tahun ajaran baru, murid diberi pilihan belajar tatap muka dua kali sepekan dengan pemangkasan jam pelajaran atau belajar daring. Sekolah tatap muka dilakukan atas seizin Satgas Covid-19 kabupaten karena Merauke masih dalam zona merah. Dia pun harus mengambil risiko keluar rumah saat Covid-19 belum mereda.
”Ada siswa yang tidak mau sekolah tatap muka karena takut korona. Tapi, dia selalu update status di Whatsapp sedang jalan-jalan. Tugas tak dikerjakan. Jadi kerjaanku sekarang ngintip status WA anak-anak,” kata Irene, terbahak.
Zona merah menghambat komunikasi Danang dengan sejumlah muridnya, terutama yang tidak aktif dalam kegiatan PJJ. ”Sulit memprosesnya karena tidak bertemu langsung. Cuma lewat WA atau telepon, itu pun ada siswa yang tidak merespons. Di daerah tertentu sinyal sulit. Berkunjung ke daerah dilarang. Serba salah,” katanya.
Berbagai hambatan itu tak menyurutkan panggilan para pendidik ini untuk memastikan murid-muridnya bisa tetap belajar. Meskipun gemas, mereka tetap sabar melayani pertanyaan dari siswa yang belum paham atas suatu pelajaran. Mereka bergulat dengan kreasi demi kreasi agar para siswa betah di depan layar komputer dan tetap kembali pada hari berikutnya.
Ketua Program Studi Sarjana Psikologi Universitas Indonesia Lucia RM Royanto sepakat bahwa beban guru menjadi berlipat ganda. Persiapan guru lebih banyak, dari mencari materi, memberi tugas, membuat refleksi tugas, mengunggah di kelas virtual, mengunduh tugas satu per satu, memeriksanya, hingga menilai.
”Kalau dilakukan di kelas, sangat sederhana. Model sekarang membuat lelah,” katanya.
Terlebih sekarang terjadi boundary violation, artinya tidak ada batas waktu antara pekerjaan dan urusan pribadi. Waktu buat keluarga dikorbankan untuk rapat, koreksi, mempersiapkan materi, dan juga mengontrol siswa.
”Ada faktor ketakutan dari guru jika sasaran pembelajaran tidak tercapai. Apalagi jika guru tidak kreatif, dia hanya mendaringkan semua materi luring. Target tetap tinggi, guru frustrasi, murid depresi,” imbuh Lucia.
Di masa seperti ini, mau tak mau guru harus fleksibel, mau belajar, terbuka, dan membekali diri bagaimana cara masuk ke dunia siswa. ”Mau dibilang lost generation tidak apa-apa. Ini terjadi di seluruh dunia. Nanti akan jadi bagian dari sejarah anak-anak ini,” tegasnya.