Membangkitkan Rupa Kampung
Titik tolak gerakan kebangkitan kampung selalu lahir dari keresahan. Cerita-cerita kampung menjadi dramatis dan unik dalam melahirkan lumbung-lumbung kebudayaannya.
Kampung ibarat roh kota. Ragam upaya kreatif dengan semangat kebersamaan masyarakatnya membangkitkan rupa kampung, sekaligus rupa roh kota, rupa yang dipenuhi kesadaran ruang dan identitas menuju kehidupan yang makin bermartabat.
Melani Budianta (66), Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Senin (16/11//2020), menyebutkan deretan kampung kota dalam risetnya. Ada Kampung Gerendeng Pulo, Cimone, Markisa, Nambo, di wilayah Kota Tangerang.
Lalu, ada juga Kampung Kali Piket di Kabupaten Bekasi, Kampung Gedong Pompa di Jakarta Utara, Kampung Cikini-Kramat di Jakarta Pusat, serta Kampung Cempluk di Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kampung Cempluk semula wilayah desa yang kemudian terdesak pelebaran wilayah kota.
Hasil riset Melani ini dituangkan menjadi Pidato Kebudayaan yang diberi judul ”Lumbung Kebudayaan di Sepanjang Gang”, 10 November 2020. Acara diadakan rutin setiap tahun oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), bertepatan di Hari Pahlawan.
Di akhir pidato, Melani bertutur, tahun 2010 sampai sekarang muncul gerakan kebangkitan kampung dan desa. Dalam hal ini, ia khusus menyoroti gerakan kebangkitan kampung kota. Melalui ”commoning” ala kampung yang inklusif dan partisipatif, menurut Melani, ada keriaan memanfaatkan sumber daya lokal yang digali kembali. Keriaan itu dijadikan milik bersama sebagai ruang dan upaya hidup di tengah gempuran kapitalisme.
Istilah commoning kira-kira bermakna membangun commons atau lumbung bersama. Lumbung untuk ketahanan budaya. Lumbung untuk kelangsungan hidup masyarakat kampung.
Lumbung kebudayaan ini diekspresikan lewat apa saja. Melani menyebutkan, ekspresinya bahkan di sepanjang gang kampung. Bisa lewat mural atau grafiti di dinding-dinding rumah dan pagar, lewat tanaman-tanaman ditata, atau infrastruktur lain berdaya lokal kampung.
Di sisi lain, Melani masih menyimpan keprihatinan banyak tentang kampung kota yang terjebak kompleksitas persoalan. Ada jebakan modernisasi yang membiakkan individualisme, gentrifikasi yang sekadar mengalihkan wilayah kumuh untuk bisnis kawasan elite.
Kemudian komodifikasi kampung menjadikan masyarakat sebagai obyek, bukan subyek. Sampai pada persoalan penggusuran. Masih banyak kampung kota dengan kebangkitan yang sama sekali jauh menuju gerakan kampung bermartabat.
Cerita-cerita kampung
Titik tolak gerakan kebangkitan kampung selalu lahir dari keresahan. Cerita-cerita kampung menjadi dramatis dan unik dalam melahirkan lumbung-lumbung kebudayaannya.
Seperti cerita Komarudin di Kampung Piket, Desa Sukatenang, Kecamatan Sukawangi, Kabupaten Bekasi. Kampung ini awalnya suatu wilayah desa yang kian terdesak pelebaran kota.
”Berawal dari keprihatinan melihat kualitas pendidikan bagi anak-anak di bawah garis kemiskinan. Mereka banyak yang putus sekolah,” ujar Komarudin Ibnu Mikam (49), yang kemudian membuat Sekolah Alam Prasasti tanpa gedung kelas dan tanpa pungutan uang sekolah bagi peserta didiknya sejak tahun 2017.
Komarudin pun memelopori Jaringan Kampung (Japung) Nusantara Bekasi. Pada Januari 2020, menghimpun sekitar 200 pegiat kampung dalam festival KaliPiket.
Ia mendirikan Sekolah Alam Prasasti beratapkan langit dan rindangnya pepohonan. Kelas-kelas dijalankan di tempat teduh di pinggir Kali Piket atau di bawah pohon-pohon besar yang rindang. Ada pula saung-saung sederhana untuk kegiatan belajar dan mengajar.
”Kami bisa bahagia berjemur atau mandi matahari sambil belajar apa saja yang membuat kami bahagia. Toh, orang belajar tujuannya untuk mencapai kebahagiaan,” ujar Komarudin.
Pertama kali dibuka, Sekolah Alam Prasasti diikuti 11 warga belajar untuk pendidikan taman kanak-kanak. Istilah murid di sana diganti dengan warga belajar. Ketika mulai berdiri, tiga guru mengasuh mereka, meliputi seorang guru profesional, aktivis organisasi, dan uniknya, satu lagi seorang penyanyi dangdut.
Di tahun 2018 mulai masuk tiga warga belajar untuk pendidikan sekolah dasar (SD) dan tujuh warga belajar untuk sekolah menengah pertama (SMP). Kemudian terus berkembang hingga sekarang ada 13 warga belajar tingkat SD dan 12 warga belajar tingkat SMP.
Dilanjutkan tahun ini jenjang sekolah menengah atas (SMA) dengan 15 warga belajar. Selain itu, pendidikan beragama diberikan sebagai Taman Pendidikan Quran (TPQ) dengan jumlah murid sekarang mencapai 75 orang.
”Warga belajar kami kebanyakan murid putus sekolah. Untuk mendapatkan ijazah pendidikan, kami menginduk ke sekolah formal lain,” ujar Komarudin.
Seiring berjalannya waktu, Sekolah Alam Prasasti hingga sekarang memiliki sebanyak 82 warga belajar dengan 24 sukarelawan mengurusi sekolah itu.
Kisah lain dari Suherman, seorang ketua rukun tetangga (RT) di Kampung Cimone, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang. Dari keresahan soal kampungnya yang kumuh, Suherman seakan menyulapnya menjadi kampung yang tertata bersih dan indah. Akhirnya, warga menyebut sebagai Kampung Inovasi Cimone.
”Membangun kampung bukan anget-anget tahi ayam,” begitu ujar Suherman.
Suherman sejak 2017 getol mengajak warga bersih-bersih lingkungan. Mulai dari mengumpulkan dan mengelola sampah sampai pada merapikan lingkungan. Ada bangunan warga kurang mampu dibantu untuk dicat, bahkan dibikin mural yang cantik.
Lahan kosong yang telantar pun dibersihkan. Hingga suatu ketika pemilik lahan kosong yang sudah dibersihkan seluas 185 meter persegi itu ingin menjualnya.
Suherman berjuang agar lahan itu bisa menjadi ruang terbuka hijau untuk arena bermain anak-anak kampung. Tidak sia-sia, akhirnya Pemerintah Kota Tangerang bersedia membeli lahan itu untuk taman bermain anak-anak kampung. Jadilah, Kampung Inovasi Cimone kini kerap mengundang pengunjung untuk sekadar swafoto di lokasi-lokasi penuh mural dan bersih itu.
Perekat sosial
Menurut Melani Budianta, gerakan kebangkitan kampung sekaligus menumbuhkan perekat sosial. Suasana kerekatan masyarakat seperti ini begitu kental terasa di Kampung Gerendeng Pulo, yang juga diteliti Melani.
Kampung itu luasnya sekitar dua hektar di tengah Kota Tangerang, di pinggir Sungai Cisadane. Wilayahnya masih berada di Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang.
Ketika mengunjungi kampung itu, salah satu aktivis kampung, Hok Tjoan (46) atau akrab disapa Oce, segera mengajak berkeliling. Oce semenjak tahun 1990-an sudah merintis kegiatan menciptakan kali kecil atau parit yang membelah kampung itu. Parit ini bersih dan produktif untuk budidaya ikan.
Aktivisme ini menjadi perekat sosial. Warga kampung dipenuhi kesadaran ruang dan identitas dengan bahu-membahu menjaga lingkungan kampung itu.
Di sepanjang gang kampung terlihat mural di dinding-dinding rumah warga. Tidak sedikit rumah yang masih mempertahankan pagar hijau.
”Ini pojok rokok. Warga di sini tidak boleh merokok di dalam rumah,” ujar Oce, seraya menunjukkan bangunan seperti gardu ronda, tetapi diperuntukkan bagi warga yang ingin santai merokok. Di kampung kecil itu ada tiga gardu pojok rokok.
Oce mengajak ke rumah warga Im Nyo (74), yang akrab disapa Oma Iin. Oma Iin memiliki peran sentral bagi tetamu yang ingin menginap di kampung itu. Rumah sederhananya sering disebut sebagai homestay atau penginapan di kampung itu.
Oce mengajak pula ke rumah sinshe atau tabib dengan ramuan herbal yang bernama Ek Djin (60). Ek Djin menjadi salah satu sesepuh yang terlahir di kampung itu.
Kohesivitas atau kerekatan warga satu sama lain begitu terasa. Di masa pandemi Covid-19, warga saling mengingatkan untuk mengenakan masker. Suasana egaliter dan penuh keakraban tercipta. Sapaan Ketua RT Keng Sun, juga Ketua Rukun Warga (RW) Ali Chandra, menampakkan hal itu.
”Gerakan kebangkitan kampung tidak ubahnya menciptakan lumbung kebudayaan di tengah kampung. Ini lumbung pengetahuan yang layak dikunjungi siapa saja untuk belajar,” kata Melani.
Ia mengimbuhkan, gerakan kebangkitan kampung ini menawarkan sebuah terapi bagi kota yang mulai banyak terbelah segregasi dan hipermoralitas, serta neoliberal.